Dua Wajah Anies di Pusaran Reklamasi

Selasa, 30 Juni 2020 - 07:44 WIB
loading...
A A A
Ditolak

Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Manuara Siahaan tak setuju dengan adanya reklamasi Ancol yang diizinkan Gubernur Anies. Menurut dia, rencana perluasan lahan di tempat wisata itu bisa dihentikan lantaran tidak ada urgensi yang dilihat pihaknya. “Bisa dihentikan itu (reklamasi Ancol). Kalau DPRD ini secara kolektif kolegial memandang itu melanggar hukum dan belum urgen saat ini, bisa saja (disetop),” kata Manuara, kemarin.

Dia mempertanyakan izin reklamasi yang diberikan Anies pada PT Pembangunan Jaya Ancol. Bahkan, dia menuding reklamasi Ancol kental dengan komersialisasi. “Ancol ini bisa dijadikan mainan bisnis properti. Salah satu bidang usahanya adalah properti. Bisa saja mungkin ada ekspansi untuk mengembangkan bisnis properti di samping bisnis hiburannya,” ujarnya. (Baca juga: Kemenkop Bikin Kolaborasi untuk Bantu Warung Tradisional)

Dia menganggap reklamasi Ancol tidak sesuai dengan janji kampanye Anies saat maju di Pilkada 2017 yang tidak setuju dengan reklamasi. “Iya, tidak sesuai janji. Penyelenggara pemerintahan itu harus konsisten. Akuntabilitas kebijakan publik itu yang utama. Jadi, jangan keluarkan kebijakan yang tidak dipertanggungjawabkan, tidak akuntabel,” kata Manuara.

Bangun 4.000 Rusun Nelayan

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Justin Andrian Untayana meminta Gubernur Anies dan pengembang proyek reklamasi kawasan Ancol membangun 4.000 unit rusun nelayan. Menurut dia, dalam Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020, diatur berbagai kewajiban yang harus dipenuhi pihak pengembang, seperti menyediakan utilitas hingga membangun ruang terbuka hijau (RTH). Pengembang juga wajib menyerahkan 5% atau sekitar 6 hektare lahan dari luas kotor daerah yang berhasil diperluas lebih kurang 35 hektare dan 120 hektare wajib diserahkan pada Pemprov DKI. (Baca juga: Tingkat Kesembuhan Pasien Covid-19 di Papua Meningkat)

“Wilayah Jakarta Utara masih terdapat ribuan warga Jakarta yang hidup di rumah tidak layak dan lingkungan tidak sehat. Oleh karena itu, menurut kami akan lebih baik apabila lahan 6 hektare itu digunakan untuk membangun permukiman nelayan,” ucap Justin, kemarin.

Menurut dia, kawasan permukiman nelayan tersebut bisa berupa kompleks terpadu yang di dalamnya terdapat unit rusun, pasar, sekolah, dan puskesmas. “Agar penggunaan lahan lebih efisien, maka permukiman tersebut sebaiknya berupa rumah susun (rusun). Kami perkirakan, di lahan 6 hektare bisa dibangun setidaknya 4.000 unit rusun. Dengan asumsi tiap tower memiliki 16 lantai dan luas unit rusun 50 meter persegi,” ungkapnya.

Agar tidak membebani APBD, kata Justin, Anies bisa memerintahkan pihak pengembang menyisihkan keuntungannya untuk membangun rusun nelayan. Caranya, memanfaatkan klausul “kontribusi tambahan” yang terdapat dalam Kepgub 237/2020 diktum keempat huruf b angka 3 yang berbunyi, “Kewajiban tambahan yang akan ditetapkan oleh Gubernur”. (Lihat videonya: Bantu Perekonimian Warga, Karang Taruna Gunung Kidul Dirikan Pasar Sedekah)

“Penggunaan klausul kontribusi tambahan merupakan diskresi gubernur. Kasarnya, suka-suka gubernur mau dipakai untuk apa. Oleh karena itu, urusannya sederhana karena hanya butuh political will. Jika gubernur mau, maka akan terwujud rusun untuk nelayan. Tapi, kalau gubernur tidak ada niat membantu rakyat, maka akan ada banyak alasan,” tuturnya. (Bima Setiyadi)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1668 seconds (0.1#10.140)