Beragam Nama Jakarta Sejak Tahun 397 hingga Sekarang

Jum'at, 08 April 2022 - 18:02 WIB
loading...
A A A
Pada 1619, VOC dipimpin Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India.

Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum.

Sementara, suku-suku dari etnis pendatang pada zaman kolonialisme Belanda membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Tak heran di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, serta Manggarai.
Baca juga: Pangkostrad Mendadak Dicopot kala Jakarta Mencekam: Kisah Kegentingan 98

Jakaruta Tokubetsu Shi/Djakarta (1942–1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Jakarta (1945-sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin gubernur.

Yang menjadi gubernur pertama adalah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat Soemarno.

Dalam waktu 5 tahun penduduk Jakarta berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional (Monas). Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara.

Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup” bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk seperti banjir dan kemacetan.

Sumber: jakarta.go.id; pinterpandai.com
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1486 seconds (0.1#10.140)