Cegah Banjir, Kenneth: Prioritaskan Early Warning System Curah Hujan, Jangan Manual

Kamis, 21 Oktober 2021 - 15:17 WIB
loading...
Cegah Banjir, Kenneth: Prioritaskan Early Warning System Curah Hujan, Jangan Manual
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth mendorong penanganan banjir di Ibu Kota benar-benar menerapkan teknologi. Foto: SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - JAKARTA - Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth mendorong penanganan banjir di Ibu Kota benar-benar menerapkan teknologi dan tidak sebatas meningkatkan kewaspadaan. Ia melihat saat ini DKI masih menggunakan cara-cara manual.

Menurut pria yang disapa Kent, penerapan early warning system dengan mengkombinasikan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) dari tingkat satuan kerja hingga perangkat RT, adalah jawaban. Hal ini penting agar Jakarta dapat meredam dampak banjir yang sering menimbulkan korban jiwa dan materi.

”Saya mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk mulai melakukan langkah taktis itu. Early warning system adalah jawaban. Penanggulangan banjir tidak bertumpu pada pengerukan lumpur sungai saja, yang nyatanya juga tidak maksimal. Ini kembali pada komitmen, mau atau tidak," ujar Kent dalam keterangannya, Kamis (21/10/2021).

Kent menilai, pengerukan lumpur sungai yang awalnya diharapkan dapat dimaksimalkan ternyata masih jauh dari harapan. Hal itu dikarenakan keterbatasan alat berat yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta, sehingga terkesan tambal sulam. Kent melihat Pemprov DKI belum konsen pada pemenuhan infrastruktur pendukung, apalagi bicara penerapan teknologi.

”Kalau deteksi dini penanganan banjir saja masih pakai ombrometer manual (alat ukur curah hujan), ya jelas tertinggal jauh dong. Di zaman 4.0 seperti sekarang ini cara seperti ini sangat tidak realistis dan tidak adaptif mengikuti perkembangan zaman. Penerapan teknologi harus mulai dilakukan,” terang politisi PDI Perjuangan itu.

Menurut Kent, Pemprov DKI tidak bisa hanya bertumpu pada keberadan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang bekerja memprediksi cuaca. DKI juga tidak bisa bergantung pada pengamatan manual menggunakan ombrometer.

”Sekali lagi, terapan teknologi harus diciptakan. Jangan juga hanya mengandalkan sumur resapan saja, sumur resapan itu cocok kalau digunakan untuk menggantikan fungsi wilayah yang tangkapan airnya semakin berkurang. Namun tidak bisa mengatasi permasalahan luapan air sungai," bebernya.

Kata Kent, terdapat tiga aspek yang memengaruhi banjir di DKI Jakarta. Pertama, hujan di hulu yang mengakibatkan banjir kiriman. Kedua,hujan di atas Jakarta (hujan lokal). Ketiga, kondisi air laut pasang naik yang menyebabkan aliran sungai tidak bisa masuk ke laut. Poin pertama dan kedua adalah fenomena meteorologi, sementara poin ketiga merupakan fenomena astronomi.

"Yang berbahaya adalah jika ketiga fenomena tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan, akibatnya banjir besar seperti yang terjadi pada awal tahun 2020 lalu," katanya.

Kent membeberkan, drainase di DKI Jakarta hanya bisa menampung 100-150 mm per hari. Tetapi yang terjadi pada awal Januari 2020 curah hujan yang turun mencapai 377 mm per hari. Drainase tidak mampu menampung air hujan sehingga tumpah ke jalan dan mengakibatkan banjir.

"Kalau kita siap secara teknologi, kita akan mampu menghitung berapa curah hujan yang akan turun per harinya dan bisa disandingkan dengan kesiapan volume drainase kita. Kita mau menanggulangi banjir ini tidak cukup hanya dalam konsep pembangunan infrastruktur saja, data itu penting. Jadi saat kita berbicara tidak terkesan asbun (asal bunyi)," ketus Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) PPRA Angkatan LXII itu.

Kent mengkritisi statemen Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakilnya Ahmad Riza Patria yang menyebut DKI telah mempersiapkan lokasi pengungsian untuk penanganan banjir. Ia menilai hal ini terkesan pasrah. ”Apa tidak ada strategi lain untuk menekan dampak banjir selain hanya menyiapkan tempat pengungsian saja. Kalau berbicara seperti itu, berarti sama saja mengangkat bendera putih dong," katanya.

Maka itu ia menyarankan agar membenahi upaya deteksi dini supaya Jakarta tidak keteteran lagi ketika musim hujan datang. Jangan lagi pakai ombrometer manual karena banyak kelemahannya, salah satunya frekuensi pengamatannya tidak intens dan jarang.

"Seharusnya menghitung curah hujan permenit tetapi dengan ombrometer ini bisa 1 atau 2 kali per hari. Kemudian karena pola pengamatannya manual, maka risiko salah baca juga tinggi, sehingga data yang didapat akan kurang akurat. Pola menghitung curah hujan dengan ombrometer ini masih menggunakan gelas plastik. Masa zaman sekarang ngukur curah hujan masih pakai gelas plastik,” beber Kent.

Kent meyakini anggaran DKI Jakarta dapat mem-back up hal-hal urgent seperti penanganan banjir, termasuk menggerakan perangkat dari kecamatan hingga RT sebagai upaya antisipasi banjir. Ketika sudah ada penerapan teknologi maka kolaborasi dengan unsur kecamatan, kelurahan, sampai dengan RT, harus berjalan.

"Beri insentif yang cukup untuk mereka yang bertugas. Ini namanya kolaborasi. Soal angggaran, APBD DKI itu tumpah ruah. Jadi pakai teknologi yang mutakhir supaya masalah banjir ini bisa teratasi di tahap awal, dan saya optimis jika Gubernur Anies bisa mengelola APBD dengan baik. Saya yakin semua masalah ini akan bisa teratasi,” paparnya.

Sejalan dengan itu, Kent juga berharap tiga aspek penanganan banjir di Jabodetabek baik secara teknis, ekologi hingga sosial, terus dimatangkan dan diselaraskan dengan kementerian terkait. Termasuk dengan daerah satelit penyangga Ibu Kota.

”Jangan sekadar hanya fokus pada antisipasi air yang datang dari hulu sampai hilir dan pembangunan infrastruktur saja. Tapi early warning system yang memadai harus menjadi skala prioritas. Ingat, sebentar lagi kita akan memasuki akhir tahun dan biasanya akan terjadi curah hujan yang tinggi di bulan Desember, Januari, dan Februari. Antisipasi konkret harus segera berjalan,” pungkas Kent.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1648 seconds (0.1#10.140)