21 Rumah Sakit di Kota Bogor Alami Kelangkaan Oksigen dan Obat-obatan
loading...
A
A
A
BOGOR - Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim menyebutkan hingga saat ini 21 rumah sakit di wilayahnya masih mengalami kelangkaan oksigen dan obat-obatan.
Maka dari itu, kata dia, bantuan dari sejumlah pihak sangat dibutuhkan untuk mengatasi kelangkaan oksigen dan obat akibat lonjakan pasien Covid-19.
"Jadi dengan kelangkaan dan kesulitan distribusi atau pasokan mengakibatkan penurunan kapasitas daya tampung. Sehingga mengakibatkan banyak orang melakukan isolasi mandiri," ungkap Dedie saat menerima bantuan 20 unit Oxygen Concentrator dari BNPB, Jumat (16/7/2021).
Tonton Video: Penimbun Tabung dan Regulator Oksigen Tertangkap, Raup Keuntungan Rp 300 Juta Sebulan
Di luar itu, tak hanya berbicara oksigen, Dedie juga menyebut saat ini timbul permasalahan baru, yakni ketersediaan obat - obatan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor meminta secara khusus kepada para penegak hukum untuk mencari kemana sebetulnya obat-obatan tersebut.
"Jangan sampai ada yang menimbun. Jika sampai terjadi penimbunan, harus segera ditindak. Karena masyarakat dalam kondisi darurat tidak bisa menunggu dan harus ada ketegasan dari aparat," terang Dedie.
Di RSUD, kata Dedie, obat-obatan ini didistribusikan langsung dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Akan tetapi fakta yang terjadi, jika masyarakat yang mempunyai resep dan mencari ke apotek, justru tidak ditemukan obat yang dimaksud.
Jangan sampai juga, ada masyarakat yang membeli hanya untuk persediaan. Sedangkan kedaruratannya tidak tertangani karena tidak tersedia. Hal serupa terjadi di semua rumah sakit.
"Ada 21 rumah sakit di Kota Bogor yang saat ini membutuhkan oksigen dan obat-obatan. Saya pikir pemerintah pusat dan daerah komitmen untuk membantu semaksimal mungkin keselamatan masyarakat, tetapi jangan ada oknum-oknum yang bermain. Dalam kondisi ini, kita tidak bisa mentolerir orang orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan," tegasnya.
Dedie mengatakan, kebutuhan oksigen di RSUD Kota Bogor setidaknya lebih dari 4,8 ton per hari. Itu semua untuk menangani pasien Covid-19 di sana. Di RSUD juga diperlukan sebanyak 210 tabung berukuran enam meter kubik.
Sementara itu, Direktur Utama (Dirut) RSUD Kota Bogor, Ilham Chaidir, menggambarkan, pasien Covid-19 dengan gejala berat rata - rata perlu pemakaian oksigen hampir 5 ton per hari. Karena memang, oksigen menjadi salah satu penanganan yang paling penting.
"Kemudian karena obat-obatan terbatas kita ada sekitar 200 lebih pasien atas rujukan dari rumah sakit yang pasiennya dalam kondisi sangat berat. Sehingga kebutuhan oksigennya bukan lagi 5 liter per menit, melainkan sudah minimal 15 liter per menit," jelas Ilham.
Tentu dalam hal ini, pemakaian oksigen setiap harinya menjadi semakin banyak. Selain itu, para pasien covid ini juga sangat membutuhkan obat-obatan yang bisa mencapai 16 tablet obat setiap hari selama 5 hari untuk satu pasien.
"Sekarang dengan tidak ketersediaan obat ini, tentu kebutuhannya sangat banyak sekali. Karena obat-obatan ini tidak terpenuhi, terpaksa kami memakai plasma konvalesen. Ini pun sangat lambat dalam mencari para pendonor. Mungkin bagi para penyintas bisa mendonorkan darahnya sehingga kita lebih mudah menolong orang," katanya.
Maka dari itu, kata dia, bantuan dari sejumlah pihak sangat dibutuhkan untuk mengatasi kelangkaan oksigen dan obat akibat lonjakan pasien Covid-19.
"Jadi dengan kelangkaan dan kesulitan distribusi atau pasokan mengakibatkan penurunan kapasitas daya tampung. Sehingga mengakibatkan banyak orang melakukan isolasi mandiri," ungkap Dedie saat menerima bantuan 20 unit Oxygen Concentrator dari BNPB, Jumat (16/7/2021).
Tonton Video: Penimbun Tabung dan Regulator Oksigen Tertangkap, Raup Keuntungan Rp 300 Juta Sebulan
Di luar itu, tak hanya berbicara oksigen, Dedie juga menyebut saat ini timbul permasalahan baru, yakni ketersediaan obat - obatan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor meminta secara khusus kepada para penegak hukum untuk mencari kemana sebetulnya obat-obatan tersebut.
"Jangan sampai ada yang menimbun. Jika sampai terjadi penimbunan, harus segera ditindak. Karena masyarakat dalam kondisi darurat tidak bisa menunggu dan harus ada ketegasan dari aparat," terang Dedie.
Di RSUD, kata Dedie, obat-obatan ini didistribusikan langsung dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Akan tetapi fakta yang terjadi, jika masyarakat yang mempunyai resep dan mencari ke apotek, justru tidak ditemukan obat yang dimaksud.
Jangan sampai juga, ada masyarakat yang membeli hanya untuk persediaan. Sedangkan kedaruratannya tidak tertangani karena tidak tersedia. Hal serupa terjadi di semua rumah sakit.
"Ada 21 rumah sakit di Kota Bogor yang saat ini membutuhkan oksigen dan obat-obatan. Saya pikir pemerintah pusat dan daerah komitmen untuk membantu semaksimal mungkin keselamatan masyarakat, tetapi jangan ada oknum-oknum yang bermain. Dalam kondisi ini, kita tidak bisa mentolerir orang orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan," tegasnya.
Dedie mengatakan, kebutuhan oksigen di RSUD Kota Bogor setidaknya lebih dari 4,8 ton per hari. Itu semua untuk menangani pasien Covid-19 di sana. Di RSUD juga diperlukan sebanyak 210 tabung berukuran enam meter kubik.
Sementara itu, Direktur Utama (Dirut) RSUD Kota Bogor, Ilham Chaidir, menggambarkan, pasien Covid-19 dengan gejala berat rata - rata perlu pemakaian oksigen hampir 5 ton per hari. Karena memang, oksigen menjadi salah satu penanganan yang paling penting.
"Kemudian karena obat-obatan terbatas kita ada sekitar 200 lebih pasien atas rujukan dari rumah sakit yang pasiennya dalam kondisi sangat berat. Sehingga kebutuhan oksigennya bukan lagi 5 liter per menit, melainkan sudah minimal 15 liter per menit," jelas Ilham.
Tentu dalam hal ini, pemakaian oksigen setiap harinya menjadi semakin banyak. Selain itu, para pasien covid ini juga sangat membutuhkan obat-obatan yang bisa mencapai 16 tablet obat setiap hari selama 5 hari untuk satu pasien.
"Sekarang dengan tidak ketersediaan obat ini, tentu kebutuhannya sangat banyak sekali. Karena obat-obatan ini tidak terpenuhi, terpaksa kami memakai plasma konvalesen. Ini pun sangat lambat dalam mencari para pendonor. Mungkin bagi para penyintas bisa mendonorkan darahnya sehingga kita lebih mudah menolong orang," katanya.
(thm)