Kalkulasi Rasional Dalam Aksi Kejahatan

Senin, 12 Oktober 2020 - 08:02 WIB
loading...
Kalkulasi Rasional Dalam Aksi Kejahatan
Foto: dok/SINDOnews
A A A
Wiendy Hapsari
Kepala Litbang SINDO Media

Akhir September lalu (29/9/2020), publik dibuat geger dengan munculnya video kekerasan terhadap dua pemulung di wilayah Cikarang Kabupaten Bekasi. Dalam video yang sempat viral di media sosial tersebut, tampak kedua pelaku menghampiri korban yang sedang terlelap dan langsung menghantam keduanya dengan mengunakan balok kayu.

Tak berhenti sampai di situ, aksi kekerasan kemudian berlanjut dengan perampasan barang-barang milik korban. Aksi sadis tersebut menyebabkan satu pemulung tewas sementara rekannya yang lain mengalami luka parah. Tak perlu menunggu lama, dalam beberapa hari saja sejak peristiwa itu terjadi, pihak kepolisian sukses mengungkap kasus ini. (Baca: inilah Pintu-pintu Surga untuk Perempuan)

Dua pelaku, yakni P(49) dan K (43) ditangkap tim gabungan Polda Metro Jaya dan Polres Metro Bekasi di wilayah Jakarta Barat. Keduanya sempat mencoba melarikan diri saat penangkapan yang membuat polisi terpaksa melumpuhkan kedua pelaku dengan menembakan timah panas ke kaki mereka. Dari tangan pelaku, polisi mengamankan sejumlah barang bukti.

Pada saat video kasus ini viral di media sosial, berbagai komentar pun ramai mewarnai jagad dunia maya. Dalam postingan di media sosial, banyak warganet yang membuat prediksi bahwa kejahatan ini adalah murni perampokan karena dalam CCTV terlihat jelas pelaku merampas barang-barang korban yang sudah tidak berdaya.

Sebaliknya banyak juga warganet yang menduga bahwa aksi ini bukan semata-mata dilatarbelakangi motif ekonomi, melainkan terselip juga unsur dendam di dalamnya mengingat aksi pelaku yang terlihat sangat membabi buta terhadap para korbannya. Nyatanya dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa pelaku yang juga merupakan seorang pemulung ini mengaku membunuh karena pernah sakit hati dengan ucapan korban.

Seperti diungkap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, bahwa pelaku tersinggung dengan ucapan korban saat berlangsung tawar menawar harga penjualan gerobak. "Pada saat itu dia mau menjual gerobaknya seharga Rp100.000 tetapi saat itu ditawar Rp50.000 oleh korban. Ada satu kalimat yang keluar yang tidak diterima oleh tersangka," ujar Yusri.

Namun, ada temuan mencengangkan dari hasil pemeriksaan bahwa ternyata aksi ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh pelaku. ”Tersangka S telah beraksi empat kali di Kabupaten Bekasi, dan satu kali di Kota Bekasi,” ungkap Yusri seperti dilansir dari situs Sindonews.com. (Baca juga: Pilkada di Masa Pandemi, Perlu Ada Jaminan dari Penyelenggaran Pemilu)

Fakta lain yang tak kalah membuat publik bergidik adalah dalam setiap aksinya, ternyata pelaku memiliki modus yang sama, yakni sengaja mengincar para pemulung yang berada di jalan serta memanfaatkan kelemahan korban yang tengah tertidur. Temuan mengenai ‘korban incaran’ inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut.

Terlebih, sebelum kasus ini terkuak banyak pihak yang mempertanyakan mengapa pelaku mengincar korban yang berprofesi sebagai seorang pemulung yang di mata umum dianggap bukan sasaran tepat jika pelaku memang mengharapkan keuntungan besar secara ekonomi.

Dari kaca mata Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory), pada dasarnya keputusan untuk melakukan kejahatan ada di tangan pelaku kejahatan, di mana keputusan tersebut diambil dengan melihat sejumlah pertimbangan. Menurut teori ini, pelaku akan melihat sejumlah faktor pertimbangan yang menurut versinya paling rasional dan membawa manfaat maksimal bagi dirinya.

Beberapa pertimbangan diantaranya adalah berapa nilai yang bisa diperoleh dari aksinya tersebut, bagaimana dengan peluang keberhasilan pelaku dalam melakukan aksi kejahatan dan bagaimana risiko dari aksi kejahatan tersebut.

Jika dikaitkan dengan kasus ini, maka pelaku seperti sudah membuat kalkulasi rasional atas pilihan kejahatan yang dilakukannnya. Pertama terkait dengan kalkulasi pertimbangan besarnya keuntungan. Banyak komentar di media sosial yang mempertanyakan soal motif pelaku, kenapa tidak mengincar orang-orang yang tampak “berduit”, mengapa mengincar sesama pemulung? (Baca juga: Dua Sekolah di Solo Gelar Simulai Pembelajaran Tatap Muka)

Jika dikaitkan dengan elemen dari teori pilihan rasional, bisa jadi pelaku mungkin memang tidak memiliki ekspektasi terlalu tinggi atas hasil kejahatannya. “Asal cukup buat makan”, bagi pelaku hal itu sudah cukup memuaskan kebutuhannya. Pelaku juga berhitung secara rasional terkait dengan keterbatasan dan kemampuan diri yang ia miliki.

Jika pelaku melakukan kejahatan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar, otomatis pelaku harus mencari korban dari golongan lain. Namun konsekuensinya, golongan yang lebih tinggi kemungkinan memiliki saluran dan daya yang besar untuk melindungi diri dari kejahatan sehingga membuat ruang gerak pelaku menjadi terbatas.

Kedua adalah kalkulasi yang dikaitkan dengan peluang keberhasilan saat melakukan aksi kejahatan. Pilihan pelaku untuk mengincar korban yang juga sesama pemulung dianggapnya sebagai pilihan rasional karena pelaku sudah mengetahui ‘celah’ dari kehidupan sesama pemulung.

Ketersediaan informasi yang cukup soal target membuat peluang keberhasilan aksinya bisa lebih besar ketimbang pilihan korban yang sama sekali belum diketahui pelaku. Seperti juga dikatakan Clarke (1997), kejahatan dilakukan pelaku dengan menimbang secara rasional sejumlah faktor seperti keterbatasan, kemampuan diri, serta ketersediaan informasi terkait target. (Baca juga: Waspadai Tanda-tanda Awal Kanker Prostat Berikut Ini)

Dalam kasus ini, pelaku sudah mengenal korban serta mengetahui, mengamati sekaligus mempelajari kegiatan sehari-hari korban tanpa disadari oleh korban itu sendiri. Hasil belajar itulah yang kemudian digunakan pelaku sebagai strategi untuk mencari peluang agar tindak kejahatannya berhasil. Perilaku dan kebiasaan korban yang menetap di tempat-tempat rawan kejahatan serta minim pengawasan juga telah dibidik pelaku sehingga pelaku bisa leluasa melakukan aksinya.

Seperti dijelaskan dalam teori aktivitas rutin, kejahatan akan terjadi ketika tiga kondisi terpenuhi. Selain kehadiran pelaku yang memang sudah memiliki motivasi tertentu, ada target korban yang rentan dan memang cocok dengan kalkulasi yang sudah dibuat oleh pelaku. Aksi ini semakin tidak terkendali karena ketiadaan patroli di sekitar wilayah kejadian saat aksi tersebut berlangsung.

Selain itu elemen ketiga dari kalkulasi adalah faktor risiko. Pelaku mengaku bahwa aksi ini sudah dijalankannya berkali-kali. Hal ini menyiratkan bahwa pelaku mungkin merasa aksinya tidak menimbulkan dampak atau risiko yang sangat signifikan bagi dirinya, maka ia tidak perlu berpikir panjang lagi untuk mengulang kembali aksinya. (Lihat videonya: Pengelola Kantor Wajib Patuhi Protokol Kesehatan)

Kasus ini pada akhirnya menyiratkan perlunya strategi pencegahan kejahatan yang bersifat khusus terkait dengan kalkulasi rasional pelaku kejahatan. Dalam hal ini perlu ada sebuah strategi yang bisa mengubah situasi dan kondisi yang ada pada awalnya menguntungkan bagi pelaku tapi kemudian menjadi tidak rasional atau dirasa sulit bagi para pelaku, dengan demikian kejahatan pun urung dilakukan.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2241 seconds (0.1#10.140)