Remaja Putri Membunuh Terinspirasi Film, KPAI: Orang Tua Harus Awasi Tontonan Anak

Minggu, 08 Maret 2020 - 13:53 WIB
Remaja Putri Membunuh...
Remaja Putri Membunuh Terinspirasi Film, KPAI: Orang Tua Harus Awasi Tontonan Anak
A A A
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memminta orang tua aktif mengawasi tontonan anak. Film yang mengandung kekerasan telah menginspirasi pembunuhan yang dilakukan seorang remaja putri NF (15) terhadap bocah 6 tahun di kawasan Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, film maupun audio visual memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan perilaku anak. “Anak adalah peniru ulung dari apa yang dia lihat langsung di lingkungannya atau dia lihat melalui tayangan di televisi dan film,” ujar Retno, Minggu (8/3/2020). (Baca: Terobsesi dari Film, Remaja Habisi Nyawa Bocah 6 Tahun di Sawah Besar)

Retno mengingatkan pentingnya pendampingan orang tua terhadap tontonan anak-anak. “Audio visual itu daya pengaruhnya ke anak tinggi. Apalagi kalau anak menonton tanpa pendampingan dan edukasi orang dewasa. Mereka belum sepenuhnya paham duduk persoalan, pertimbangan belum matang, cenderung menelan mentah-mentah apa yang mereka tonton dan cenderung meniru apa yang mereka anggap keren,” tegasnya.

Terkait kasus pembunuhan itu, Retno mendorong agar pelaku mendapatkan rehabilitasi psikologi. Sebab kesalahan seorang anak tidak berdiri sendiri. Faktor lingkungan dan pola pengasuhan berpengaruh terhadap perilaku delinkuensi anak pelaku. (Baca juga: Siswi SMP Mengaku Puas Setelah Membunuh Bocah Berusia 6 Tahun)

“Karena anak biasanya menunjukkan tanda-tanda yang dapat dikenali ketika memiliki masalah. Misalnya, perilaku anak pelaku yang pernah menyakiti hewan, dari gambar-gambar yang dibuat anak pelaku, dan lain-lain. Andai orang dewasa di sekitar anak dapat memiliki kepekaan, si anak dapat dibantu rehabilitasi psikologinya, sehingga perilaku delinkuensinya dapat diatasi, bahkan dihilangkan,” tegasnya.

Delinkuensi adalah tingkah laku yang menyalahi norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sebagian besar anak-anak delinkuen berasal dari keluarga broken home. Hal ini sama dengan yang dialami pelaku pembunuhan. (Baca juga: Remaja Putri Bunuh Bocah, Kriminolog: Perlu Perlakuan Hukum yang Berbeda)

“Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak beruntung jelas membuahkan masalah psikologis personal dan penyesuaian diri yang terganggu pada diri anak-anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku delinkuen,” kata Retno.

Menurut Retno, lingkungan sekolah juga berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Jadi, seharusnya sekolah bisa memaksimalkan potensi anak yang pintar menggambar dan olahraga tenis, sehingga lebih tersalurkan ke arah yang positif.

“Sayangnya, potensi ini tidak dimaksimalkan oleh lingkungannya. Di sekolah misalnya, pihak sekolah, seperti wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK), semestinya juga memiliki kepekaan untuk menangkap perilaku delinkuen si anak sehingga dapat menolongnya untuk mendapatkan bantuan psikologis,” pungkas Retno.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1292 seconds (0.1#10.140)