DPRD Jakarta Minta PAM Jaya Tunda Kenaikan Tarif Air Bersih

Senin, 20 Januari 2025 - 21:10 WIB
loading...
DPRD Jakarta Minta PAM...
Anggota Komisi B DPRD Jakarta Francine Widjojo meminta PAM Jaya menunda pemberlakuan tarif baru layanan air, terutama di rumah susun (hunian). Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi B DPRD Jakarta Francine Widjojo meminta Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya) menunda pemberlakuan tarif baru layanan air, terutama di rumah susun (hunian). Belum ada urgensi kenaikan tarif air PAM Jaya pada tahun 2025.

Apalagi sejak tahun 2017 PAM Jaya selalu untung. Tertinggi di tahun 2023 untung Rp1,2 triliun, dan tahun 2024 membagikan dividen Rp62 miliar ke Pemprov Jakarta selaku 100 persen pemegang saham PAM Jaya.



Untuk tingkat kebocoran air atau Non Revenue Water sejak tahun 2017 sangat tinggi, selalu berkisar 42-46 persen. Selain karena banyaknya penolakan dari warga rumah susun kalangan menengah dan masyarakat berpenghasilan rendeh (MBR), dasar hukum keputusan kenaikan tarif air bersih masih dapat diperdebatkan.

Francine mengingatkan bahwa peraturan telah mendefinisikan air minum sebagai air yang siap diminum dan memenuhi syarat kesehatan yaitu Pasal 1 angka (5) UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air dan Pasal 1 angka (2) PP 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

”Dengan banyaknya pro dan kontra saat ini ditambah lagi juga dengan dasar hukumnya terutama terkait tarif air minum dibandingkan dengan air bersih, seharusnya sih PAM Jaya belum bisa menerapkan kenaikan tarif dan sebaiknya ditunda dulu di 2025 ini,” ujar Francine seusai beraudiensi dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia di DPRD Jakarta, belum lama ini.

Secara aturan, sebenarnya yang bisa diterapkan PAM Jaya adalah kenaikan tarif air minum, bukan air bersih. Sebab, PAM Jaya adalah perusahaan air minum bukan air bersih. Cuma karena selama ini banyak warga Jakarta masih menikmati tarif air bersih saja. Jadi terkait tarif itu harusnya dibedakan antara air minum dengan air bersih.

Sebenarnya kenaikan tarif yang diatur dalam Keputusan Gubernur nomor 730 tahun 2024 itu terkait dengan tarif air minum, sehingga PAM Jaya seharusnya menaikkan tarif air minum terhadap pelanggan-pelanggan yang sudah menerima layanan air minum. Informasi layanan air minum itu sudah, terutama yang sambungan pipa baru. Sudah ada beberapa, tapi belum semuanya.

”Tadi kami sudah mendengar keluhan dari anggota P3RSI yang terdiri dari pengurus-pengurus PPPSRS dan pengelola rumah susun ternyata terdapat beberapa permasalahan, misalnya tadi terkait dengan meter kubik pemakaian (air bersih), karena rata-rata pemakaian penghuni apartemen itu tidak sampai 10 meter kubik,” ujar pegiat Jakarta Ramah Hewan ini.

Sehingga, tidak adil jika warga rumah susun atau apartemen dipukul rata dikenakan tarif batas atas pemakaian lebih dari 20 meter kubik dengan pemberlakuan tarif progresif.

Francine juga menyoroti instalasi yang sudah terpasang gedung bertingkat, khususnya di rumah susun. Ternyata pipa itu selama ini penyambungan sampai dengan unit-unit sudah dibangun oleh pengembang dan perawatannya sendiri yang membutuhkan biaya besar ditanggung PPPSRS dengan menggunakan dana gotong-royong Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL)

”Jika dikaitkan dengan target Jakarta 2030 yang seharusnya 100 persen (dapat layanan) air minum dari PAM Jaya. Lantas bagaimana nanti kelanjutannya kalau misalnya ternyata pipa-pipa di dalam apartemen ini, apakah sudah memenuhi standar untuk bisa (penggunaan) air minum atau harus diganti? Kalau misalnya harus diganti ini tanggung jawab siapa?” kata Francine.

Ketua Umum DPP P3RSI Adjit Lauhatta menyesalkan terbitnya peraturan Penerapan Tarif Baru Layanan Air Bersih dari PAM Jaya yang tidak masuk akal. Pasalnya, dalam tabel layanan baru yang menempatkan rumah susun sebagai apartemen merupakan hunian sama gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan yang tarifnya sebesar Rp21.500 per meter kubik.

”Terkait hal tersebut kami perlu penjelasan, apa dasar PAM Jaya penetapan golongan apartemen/rumah susun disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan? Padahal fungsi dan peruntukannya berbeda. Apartemen atau rumah susun adalah hunian, sedangkan lainnya untuk komersial,” ujar Adjit di DPRD Jakarta.

Jadi sangat tidak pas, jika rumah susun (apartemen) yang memiliki fungsi dan peruntukkan sebagai hunian dikategorikan/digolongkan sama dengan gedung bertingkat untuk bisnis seperti perkantoran, trade center, dan kondominium (service apartement).

Atas hal tersebut, P3RSI mengusulkan kata apartemen dirincian jenis pelanggan gedung bertingkat tinggi komersial/apartemen/kondominium/pusat perbelanjaan dihilangkan. Selanjutnya, gedung bertingkat yang fungsi dan peruntukkannya sebagai hunian lebih tepat digolongkan sebagai rumah susun.

Adjit juga menekankan akibat kenaikan tarif air bersih ini yang mencapai 71 persen, beban yang ditanggung pemilik dan penghuni rumah susun makin berat dengan kenaikan tarif air bersih dari Rp12.500 menjadi Rp21.500. Padahal, PPPSRS dalam hal ini warga rumah susun masih menanggung perawatan instalasi air bersih di gedungnya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.

”Sangat ironis, kalau pemerintah dalam hal ini Pemprov Jakarta mendorong agar kalangan MBR tinggal di rumah susun, tapi setelah tinggal kok kami malah dikenakan tarif air bersih paling tinggi. Harusnya Pemprov Jakarta dan PAM Jaya peka dengan situasi ekonomi kalangan menengah dan MBR saat ini,” kata Adjit.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1677 seconds (0.1#10.24)