Mahasiswa Unpam Tangsel Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

Jum'at, 11 Oktober 2024 - 08:56 WIB
loading...
Mahasiswa Unpam Tangsel...
Mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Universitas Pamulang (FAM Unpam) dan Antifasis Tangerang menggelar aksi unjuk rasa di Bunderan Pamulang, Kamis (10/10/2024). Mereka menolak pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Universitas Pamulang (FAM Unpam) dan Antifasis Tangerang menggelar aksi unjuk rasa di Bunderan Pamulang, Kamis (10/10/2024). Mereka menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto .

Perwakilan FAM Unpam, Job Silitonga, menyatakan, pihaknya tegas menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Mereka menilai kepemimpinan Soeharto selama Orde Baru penuh dengan kontroversi.

"Ada berbagai tragedi pelanggaran HAM di era Orde Baru, seperti penghilangan paksa dan pembunuhan aktivis. Demokrasi dibungkam, dan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi ciri khas pemerintahannya," katanya. Menurut Job, krisis moneter yang melanda Indonesia juga merupakan dampak dari kebijakan yang diambil Soeharto.



Dalam aksi damai tersebut, para demonstran membentangkan spanduk yang bertuliskan "Tolak Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto". Penolakan ini mencerminkan suara mahasiswa yang merasa bahwa Soeharto tidak layak mendapatkan pengakuan tersebut.

Sementara itu, di lokasi lain, sejumlah pegiat HAM menggelar Aksi Kamisan ke-835 di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan tuntutan yang sama. Mereka meminta pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.

Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebelumnya diajukan oleh pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat dipimpin oleh Bambang Soesatyo. Usulan tersebut muncul bersamaan dengan penyerahan dokumen penghapusan nama Soeharto dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang berisi tentang penyelenggara negara yang bersih dari KKN. MPR berpendapat bahwa langkah tersebut memberikan kepastian hukum bagi Soeharto.

Aksi protes dari mahasiswa dan pegiat HAM ini menunjukkan bahwa isu pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto masih menjadi perdebatan panas di masyarakat, dengan banyak pihak yang menuntut agar sejarah diakui dengan seimbang dan adil.



Untuk diketahui, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perintah untuk Menyelenggarakan yang Bersih Tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Keputusan itu disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Periode 2019-2024, yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024).

"Terkait dengan penyebutan nama Mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata pria yang akrab disapa Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, keputusan itu dilandasi atas adanya usulan dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Kemudian, MPR RI menggelar rapat gabungan pada 23 September 2024. Hasilnya mencabut nama Soeharto dari TAP tersebut. Kendati demikian, Bamsoet mengatakan, TAP MPR itu secara yuridis masih berlaku. Hanya saja, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal itu telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

"MPR sepakat untuk menjawab surat tersebut sesuai dengan etika dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di mana status hukum TAP MPR nomor 11 tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh tap MPR nomor 1/R 2003," katanya.

Sekadar informasi, Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN bagi pejabat negara termasuk Presiden Soeharto, dan para kroninya. TAP itu diteken pada 13 November oleh MPR di bawah pimpinan Harmoko.

"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia," demikian bunyi TAP tersebut.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1294 seconds (0.1#10.140)