APDI Ungkap Kecurangan dan Kejanggalan di Berbagai TPS saat Pemilu

Jum'at, 19 April 2019 - 19:07 WIB
APDI Ungkap Kecurangan dan Kejanggalan di Berbagai TPS saat Pemilu
APDI Ungkap Kecurangan dan Kejanggalan di Berbagai TPS saat Pemilu
A A A
JAKARTA - Aliansi Penggerak Demokrasi Indonesia (APDI) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menginvestigasi berbagai pelanggaran dan kecurangan yang terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Para pelaku kecurangan dalam pemungutan suara harus segera diproses dan dijatuhi hukuman yang berat sesuai amanat undang-undang sehingga menimbulkan efek jera. Sebab Pemilu yang bersih akan dihormati dan diterima seluruh rakyat sekaligus disegani dunia.

Sebaliknya pemilu yang penuh dengan kecurangan hanya akan membuat rakyat tidak percaya kepada aparat dan penguasa. Merusak demokrasi. Selain itu dapat menimbulkan kondisi keamanan yang tidak stabil.

"Sebelum hari pencoblosan, kami bekerja sama dengan berbagai lembaga pemantau internasional mengirimkan banyak relawan pengamat atau observer, baik dari dalam maupun luar negeri untuk mengawasi proses jalannya pemungutan dan penghitungan suara saat hari pencoblosan. Kami mendapatkan laporan dari berbagai daerah terjadi kecurangan dan pelanggaran aturan yang dibiarkan oleh KPU, baik pusat maupun daerah," kata Ketua Umum APDI Wa Ode Nur Intan kepada wartawan, Jumat (19/4/2019).

Wa Ode yang didampingi Ketua Bidang Humas Eman Sulaeman Nasim, Ketua bidang jaringan dan Organisasi Suparlan, dan perwakilan pengamat (obeserver) dari manca negara antara lain Choi Sunhwa dari Korea Selatan, Aira Azhari dan Muhammad Faiz keduanya dari lembaga pemantau pemilu IDEAS Malaysia.

Adapun bentuk kecurangan yang mereka temukan antara lain terjadi pada kertas suara pemilihan presiden yang sudah tercoblos sebelum hari pencoblosan. Kasus yang paling mencolok adalah ditemukannya ratusan bahkan ribuan kertas suara pemilihan presiden dan anggota legislatif yang sudah dicoblos di salah satu ruko di Malaysia.

Pihak Bawaslu sudah mengadakan penyelidikan dan sudah meminta agar dilakukan pencoblosan ulang. Kecurangan lainnya adalah pembakaran kotak suara oleh orang tak dikenal di suatu daerah.

"Harusnya bukan hanya pencoblosan ulang. Duta Besarnya beserta aparatnya sebagai penanggung jawab juga diberikan hukuman yang seberat beratnya untuk menimbulkan efek jera. Sehingga pada pemilu berikutnya, meski anak Dubes yang jadi caleg atau Capres tidak ada lagi yang berani melakukan kecurangan. Peristiwa pencoblosan kertas suara Pilpres sebelum waktu pencoblosan itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Semuanya pasti dillakukan secara terencana oleh pihak-pihak pertentu yang dekat dengan salah satu paslon," papar Wa Ode Nur Intan.

Kecurangan lainnya adalah ketidak konsistenan pelaksana Pemilu dalam penggunaan E-KTP sebagai syarat boleh mencoblos. Di berbagai tempat pemungutan suara (TPS) terutama di kawasan apartemen, warga yang datang tanpa menggunakan kertas C5 atau C6, hanya menggunakan E-KTP boleh melakukan pencoblosan. Sementara di berbagai tempat lainnya, warga yang datang hanya dengan membawa E-KTP dilarang menggunakan hak suaranya untuk mencoblos.

Misalnya, di TPS 004 kelurahan Kedaung, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, sebanyak 30 orang dari suatu komunitas dilarang ikut Pemilu hanya karena tidak bawa surat C5. Padahal mereka membawa E-KTP yang masih berlaku. Di tempat lain, warga yang tidak jelas asal usulnya tidak memiliki surat C5 diperboleh ikut pencoblosan.

"Dimana letak keadilannya. Mengapa peraturannya tidak konsisten," ujar salah seorang anggota APDI asal Pamulang Tangerang Selatan, Siti Khodijah.

Pemantau Pemilu dari Malaysia, Aira Azhari yang melakukan pemantauan Pemilu di Kota Solo bersama pengurus APDI mengaku menemui banyak kejanggalan yang dilakukan oleh petugas TPS. Salah satunya adalah saat penghitungan jumlah suara yang masuk, pihak KPPS tidak melakukan penjumlahan secara tertulis di kertas C1.

"Kami melakukan pemantauan di Kecamatan Pasar Kliwon, Kelurahan Baluarti, Kota Surakarta. Di salah satu TPS, jumlah perolehan suara Capres 01 dan 02 tidak dijumlahkan. Saat kami tanyakan, petugas TPS nya mengaku tidak mau berdebat. Malah meminta kami menanyakan hal tersebut kepada KPU. Setelah Kejadian itu, ketika kami meninggalkan TPS tersebut kami dibuntuti oleh dua orang lelaki berkemeja putih. Ketika Kami photo, mereka memalingkan muka," papar Aira Azhari yang dibenarkan rekan observernya Diana Fathur.

Observer Pemilu asal IDEAS Malaysia mengaku melakukan pemantauan kegiatan pencoblosan Pilpres dan Pileg salah satunya di TPS yang disediakan di Lembaga Pemasayarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur. Meskipun pelaksanaan pencoblosan berjalan lancar, namun Muhammad Faiz menyesalkan, jarak antara nara pidana dan petugas Lapas terlalu dekat. Hampir tidak ada jarak. Sedangkan pengamanannya pun terlihat longgar.

Kejanggalan lainnya, dia mengaku menemui satu orang napi yang tidak diperbolehkan mengikuti pencoblosan dengan alasan tidak mendapat surat C6. Padahal Napi tersebut memiliki E KTP.

"Selain di TPS yang berlokasi di Lapas Cipinang, Saya juga melakukan pemantauan antara lain di TPS 169 dan 168 kelurahan Mustika Jaya Bekasi, Jawa Barat. Saya merasa aneh mengapa kotak suara saat pencoblosan tidak dikunci. Sementara di TPS lain saya melihat dikunci," papar Muhammad Faiz.

Pemantau dari Korea Selatan Choi Sunhwa yang melakukan pemantauan di TPS tempat Jokowi memilih, di wilayah Gambir, mengaku sangat menyayangkan, kotak suara terbuat dari kardus. Menurut Choi, bagaimanapun kotak suara dari kertas berjenis kardus tetap rawan. Selain mudah hancur terkena air juga mudah dibongkar.

Pelanggaran dan kecurangan lainnya adalah diperbolehkannya warga di luar negeri yang memilih hanya dengan menggunakan pasport, bukan menggunakan surat C6. Akibatnya, banyak pemilih yang menunggu lama dan memiliki surat C6 kehabisan kertas suara. Peristiwa kehabisan kertas suara ini ternyata tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga di dalam negeri.

"Kami minta, untuk keberlangsungan demokrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, KPU segera memberikan penjelasan yang jujur dan obyektif kepada publik. Mengapa di berbagai daerah dan di luar negeri terdapat begitu banyak kertas suara pemilihan Presiden yang sudah tercoblos sebelumnya," tegas Ketua Bidang Humas APDI Eman Sulaeman Nasim.

Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI ) ini menilai, pemilu kali ini adalah Pemilu yang terburuk sejak reformasi 1998, sekaligus juga Pemilu ter rumit. Selain Kecurangan demi kecurangan terus terjadi tanpa ada pemberian sangsi bagi pelaku kecurangan. Aparat penegak hukum seakan berpihak kepada mereka yang sedang berkuasa. Akibatnya oknum aparat sipil negara (ASN) yang melakukan kecurangan semakin hari semakin leluasa membuat kerusakan dan kecurangan.

Namun demikian, pemilu ini juga dinilai terumit. Hal ini karena pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif disatukan sekaligus.

"Jika Pemilu ini berlangsung dengan jujur dan baik, bangsa Indonesia dari pendukung capres manapun akan menerima hasil keputusan KPU. Namun jika Pemilu diwarnai dengan kecurangan, namun KPU dan Bawaslu nya diam saja, maka KPU dan Bawaslu tidak akan dihargai oleh salah satu pendukung capres yang dirugikan. Akibatnya Pemilu yang sudah dibiayai dengan sangat mahal oleh rakyat Indonesia ini menjadi tidak ada artinya. Semoga itu tidak terjadi," papar Eman..

Karena itu, APDI meminta, Bawaslu dan KPU serta dewan kehormatan penyelenggara pemilu atau DKPP bekerja dengan sebaik baiknya. Periksa semua aparat yang bertugas di Pemilu ini. Mulai dari KPU maupun Bawaslu. Jika terjadi kecurangan, maka siapapun yang melakukan kecurangan segera dijatuhi hukuman.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0098 seconds (0.1#10.140)