DKI Minta Kemenkominfo Matikan Aplikasi Ojek Online
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk mematikan aplikasi ojek online. Pasalnya, DKI sulit mengatur keberadaan ojek online apabila aplikasi itu tidak dimatikan oleh Kemenkominfo.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta, Andri Yansyah mengatakan, permintaan Kemenhub agar Pemerintah Daerah (Pemda) mengatur ojek online dari segi ketertiban dan keamanan akan dikoordinasikan lebih lanjut kepada Kemenhub. Namun, sejak maraknya ojek online di Jakarta beberapa tahun lalu, pihaknya sudah memanggil pembisnis aplikasi ojek online agar menyediakan shelter khusus bukan di badan jalan dan membatasi rekruitment driver ojek online. Termasuk mematikan aplikasi driver ojek online yang kedapatan melanggar lalu lintas.
Sayangnya, lanjut Andri, permintaannya tersebut tidak digubris. Bahkan setelah menertibkan puluhan ribu ojek dengan penegakan tertib angkutan jalan, seperti memarkirkan di badan jalan atau bagian permukaan jalan, pebisnis aplikasi tetap saja menghiraukan permintaanya.
"Kami meminta agar Kemenhub berkoodrinasi dengan Kemenkominfo untuk mematikan aplikasi ojek online yang terkena penertiban. Itu satu satunya cara untuk menertibkan ojek online," kata Andri Yansyah saat dihubungi kemarin.
Andri menjelaskan, untuk penertiban ojek online jangka panjang, pihaknya saat ini tengah mengujicobakan One Karcis One Trip (OK Otrip) yang melayani masyarakat untuk menggunakan angkutan umum hingga pemukiman.
Uji coba yang berakhir pada 15 Juli itu, diharapkan Andri dapat berjalan sukses dan terintgerasi dengan moda Transportasi lainya pada 2020 mendatang. Sehingga, masyarakat dapat dengan mudah menggunakan angkutan umum yang aman, nyaman, murah dan tepat waktu.
"Peningkatan layanan angkutan umum merupakan harga mati untuk mengatasi perkembangan ojek online ataupun angkutan online roda empat," tegasnya.
Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan sudah menduga bila seluruh angkutan aplikasi yang berada di luar aturan tapi dibiarkan akan menjadi masalah terus menerus.
"Ini dampak dari ketidaktegasan pemerintah. Bahaya kalau terus dibiarkan akan lebih sulit seperti yang terjadi saat ini untuk mengatasinya," ungkapnya.
Sedari awal beroperasinya ojek online, lanjut Shafruhan, pemerintah tidak bereaksi dengan alasan dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang melakukan pembiaran itu.
Padahal, kata Shafruhan, roda dua bukan angkutan umum yang jelas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Lalu lintas dan angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 lantaran rawan kecelakaan.
"Ojek dulu itu di lingkungan, setelah jadi online malah liar kemana-mana dan bahkan mematikan mikrolet dan bajaj. kami tidak permasalahan aplikasi-nya, tapi roda duanya," tegasnya.
Maka itu, Shafruhan meminta Menhub Budi Karya mengundurkan diri karena tidak tegas dalam mengatur angkutan online. "Ini dampak dari ketidaktegasan pemerintah. Bahaya kalau terus dibiarkan akan lebih sulit seperti yang terjadi saat ini untuk mengatasinya," ungkapnya.
Sedari awal beroperasinya ojek online, lanjut Shafruhan, pemerintah tidak bereaksi dengan alasan dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang melakukan pembiaran itu.
Padahal, kata Shafruhan, roda dua bukan angkutan umum yang jelas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Lalu lintas dan angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 lantaran rawan kecelakaan.
"Ojek dulu itu dilingkungan, setelah jadi online malah liar kemana-mana dan bahkan mematikan mikrolet dan bajaj. Kami tidak permasalahan aplikasinya, tapi roda duanya," tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung mengatakan, pemerintah tidak akan bisa menertibkan ojek, baik konvensional ataupun beraplikasi. Termasuk aplikasi layanan roda empat seperti Uber, Grab dan sebagainya. Sebab, kata dia, maraknya pengguna ojek dilatarbelakangi oleh tidak adanya angkutan umum yang melayani sesuai konsep manajemen Transportasi yang layak. Dimana, masyarakat bisa dilayani dengan aman, nyaman, mudah dan tepat waktu. Artinya, pemerintah tidak akan bisa menertibkan angkutan ojek sebelum bisa mewujudkan manajemen transportasi tersebut.
"Jadi harusnya pemerintah mengadopsi teknologi dan mempercepat pembangunan moda transportasi yang terintegrasi hingga ke wilayah lingkungan. Sebelum itu dilakukan, izinkan saja mereka beroperasi," ungkapnya.
Selain itu, Ellen juga meminta agar pemerintah lebih baik mengizinkan sementara operasional angkutan umum yang tidak diakomodir Undang-Undang tetapi dibutuhkan masyarakat. Sebab, apabila merevisi undang-undang dengan mamasukan roda dua menjadi angkutan umum sangat mengancam keselamatan. Terlebih, 70% kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kendaraan roda dua.
"Kalau mau dibuat aturan acuanya ya undang-undang. Taksi online itu merupakan roda empat yang diakomodir undang-undang. Jadi undang-undang harus revisi dulu. Saya tidak setuju dengan revisi. Namun kami meminta selama beroperasi, layanan aplikasi ojek seperti Go-Jek dan Grab memberikan asurasni kepada pengemudi atau penumpangnya," pungkasnya.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta, Andri Yansyah mengatakan, permintaan Kemenhub agar Pemerintah Daerah (Pemda) mengatur ojek online dari segi ketertiban dan keamanan akan dikoordinasikan lebih lanjut kepada Kemenhub. Namun, sejak maraknya ojek online di Jakarta beberapa tahun lalu, pihaknya sudah memanggil pembisnis aplikasi ojek online agar menyediakan shelter khusus bukan di badan jalan dan membatasi rekruitment driver ojek online. Termasuk mematikan aplikasi driver ojek online yang kedapatan melanggar lalu lintas.
Sayangnya, lanjut Andri, permintaannya tersebut tidak digubris. Bahkan setelah menertibkan puluhan ribu ojek dengan penegakan tertib angkutan jalan, seperti memarkirkan di badan jalan atau bagian permukaan jalan, pebisnis aplikasi tetap saja menghiraukan permintaanya.
"Kami meminta agar Kemenhub berkoodrinasi dengan Kemenkominfo untuk mematikan aplikasi ojek online yang terkena penertiban. Itu satu satunya cara untuk menertibkan ojek online," kata Andri Yansyah saat dihubungi kemarin.
Andri menjelaskan, untuk penertiban ojek online jangka panjang, pihaknya saat ini tengah mengujicobakan One Karcis One Trip (OK Otrip) yang melayani masyarakat untuk menggunakan angkutan umum hingga pemukiman.
Uji coba yang berakhir pada 15 Juli itu, diharapkan Andri dapat berjalan sukses dan terintgerasi dengan moda Transportasi lainya pada 2020 mendatang. Sehingga, masyarakat dapat dengan mudah menggunakan angkutan umum yang aman, nyaman, murah dan tepat waktu.
"Peningkatan layanan angkutan umum merupakan harga mati untuk mengatasi perkembangan ojek online ataupun angkutan online roda empat," tegasnya.
Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan sudah menduga bila seluruh angkutan aplikasi yang berada di luar aturan tapi dibiarkan akan menjadi masalah terus menerus.
"Ini dampak dari ketidaktegasan pemerintah. Bahaya kalau terus dibiarkan akan lebih sulit seperti yang terjadi saat ini untuk mengatasinya," ungkapnya.
Sedari awal beroperasinya ojek online, lanjut Shafruhan, pemerintah tidak bereaksi dengan alasan dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang melakukan pembiaran itu.
Padahal, kata Shafruhan, roda dua bukan angkutan umum yang jelas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Lalu lintas dan angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 lantaran rawan kecelakaan.
"Ojek dulu itu di lingkungan, setelah jadi online malah liar kemana-mana dan bahkan mematikan mikrolet dan bajaj. kami tidak permasalahan aplikasi-nya, tapi roda duanya," tegasnya.
Maka itu, Shafruhan meminta Menhub Budi Karya mengundurkan diri karena tidak tegas dalam mengatur angkutan online. "Ini dampak dari ketidaktegasan pemerintah. Bahaya kalau terus dibiarkan akan lebih sulit seperti yang terjadi saat ini untuk mengatasinya," ungkapnya.
Sedari awal beroperasinya ojek online, lanjut Shafruhan, pemerintah tidak bereaksi dengan alasan dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang melakukan pembiaran itu.
Padahal, kata Shafruhan, roda dua bukan angkutan umum yang jelas tidak diakomodir dalam Undang-Undang Lalu lintas dan angkutan Jalan No 22 Tahun 2009 lantaran rawan kecelakaan.
"Ojek dulu itu dilingkungan, setelah jadi online malah liar kemana-mana dan bahkan mematikan mikrolet dan bajaj. Kami tidak permasalahan aplikasinya, tapi roda duanya," tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung mengatakan, pemerintah tidak akan bisa menertibkan ojek, baik konvensional ataupun beraplikasi. Termasuk aplikasi layanan roda empat seperti Uber, Grab dan sebagainya. Sebab, kata dia, maraknya pengguna ojek dilatarbelakangi oleh tidak adanya angkutan umum yang melayani sesuai konsep manajemen Transportasi yang layak. Dimana, masyarakat bisa dilayani dengan aman, nyaman, mudah dan tepat waktu. Artinya, pemerintah tidak akan bisa menertibkan angkutan ojek sebelum bisa mewujudkan manajemen transportasi tersebut.
"Jadi harusnya pemerintah mengadopsi teknologi dan mempercepat pembangunan moda transportasi yang terintegrasi hingga ke wilayah lingkungan. Sebelum itu dilakukan, izinkan saja mereka beroperasi," ungkapnya.
Selain itu, Ellen juga meminta agar pemerintah lebih baik mengizinkan sementara operasional angkutan umum yang tidak diakomodir Undang-Undang tetapi dibutuhkan masyarakat. Sebab, apabila merevisi undang-undang dengan mamasukan roda dua menjadi angkutan umum sangat mengancam keselamatan. Terlebih, 70% kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kendaraan roda dua.
"Kalau mau dibuat aturan acuanya ya undang-undang. Taksi online itu merupakan roda empat yang diakomodir undang-undang. Jadi undang-undang harus revisi dulu. Saya tidak setuju dengan revisi. Namun kami meminta selama beroperasi, layanan aplikasi ojek seperti Go-Jek dan Grab memberikan asurasni kepada pengemudi atau penumpangnya," pungkasnya.
(mhd)