Pemprov DKI Jangan Diskriminatif Menata Angkutan Umum

Selasa, 23 Mei 2017 - 03:30 WIB
Pemprov DKI Jangan Diskriminatif Menata Angkutan Umum
Pemprov DKI Jangan Diskriminatif Menata Angkutan Umum
A A A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta diminta tidak mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif dalam menata transportasi angkutan umum. Kebijakan diskriminatif hanya akan membuat kemacetan di Jakarta tidak bisa terselesaikan.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo mengatakan, untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, Pemprov DKI harus menghindari kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dalam menata transportasi angkutan umum. Misalnya saja hanya membuka kesempatan kepada Transjakarta, Damri atau PPD dalam memfasilitasi mobilitas warga.

Menurutnya, apabila kebijakan itu tetap dipertahankan, persoalan kemacetan di Jakarta tidak bisa dihidnarkan. "Angkutan umum itu wajib didorong untuk atasi kemacetan. DKI harus memastikan semua kebijakan yang dikeluarkan untuk angkutan umum Jabodetabek tidak diskriminatif tetapi harus memberikan kesempatan siapa saja untuk bersaing dengan Transjakarta, Damri atau PPD," kata Agus Pambagyo dalam dialog publik berjudul "Tantangan Pemprov DKI Jakarta dalam Mewujudkan 40% Penggunaan Angkutan Umum Pada 2019" di Gedung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman, Senin, 22 Mei 2017 kemarin.

Agus melanjutkan, kebijakan tidak diskriminatif itu perlu dilakukan bersamaan dengan pembuatan rute ulang (re-routing) seluruh moda tranportasi di Jakarta. Sebab, moda transportasi Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) akan beroperasi kurang dari lima tahun sejak saat ini. Semua transportasi itu harus sudah terintegrasi agar transportasi lain mendapat kepastian rute.

Sehingga, tidak ada moda transportasi khususnya angkutan darat yang mendapatkan rute kering lantaran tidak ada kejelasan integrasi mana feeder dan mana soft feeder. Agus berharap agar DKI patuh dalam melaksanakan kebijakan pola transportasi makro, tidak tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang seperti rencana proyek pembangunan monorel.

"Kesemrawutan soal kemacetan saat ini tidak lepas dari lemahnya implementasi aturan Pemprov DKI. termasuk kebijakan integrasi angkutan umum Jabodetabek," ungkapnya.

Agus menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah telah membuat harga mobil LCGC (mobil murah dan ramah lingkungan) menjadi sangat murah dan diminati masyarakat. Sehingga kemacetan meningkat.

Selain itu, Pemprov DKI belum mempercepat implementasi ERP (Electronic Road Pricing) untuk pembayaran denda secara elektronik untuk menghindari pungli. Belum ada pula kebijakan terkait kepemilikan kendaraan (electronic registration identification) untuk penindakan.

Berdasarkan data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) jumlah kendaraan mobil di Jakarta saat ini sudah mencapai 4,39 juta unit dan motor sebanyak 13,08 juta unit. Jumlah itu bisa bertambah mengingat warga Bodetabek beraktivitas di Jakarta. Adapun jumlah total kendaraan di Jabodetabek sebanyak 24,89 juta unit.

BPTJ menargetkan 40% dari jumlah penduduk Jakarta yang saat ini mencapai 10,07 juta jiwa Jabodetabek menggunakan angkutan umum pada tahun 2019. Target itu masih jauh dari persentase eksisting pengguna angkutan umum Jakarta saat ini.

“Saat ini baru 5% warga Jakarta yang menggunakan Commuter Line dan Bus Rail Transit (BRT). Sementara pengguna angkot, bus kota dan ojek mencapai 5-10%," ujarnya.

Anggota DTKJ Sudaryatmo mengatakan, untuk mengatasi kemacetan di Jakarta itu perlu ada langkah-langkah untuk menjadikan mobilitas warga Jakarta menjadi efisien, baik dari segi biaya dan ekonomi, waktu tempuh dan mendukung kelestarian lingkungan hidup, dengan menjadikan angkutan umum sebagai tulang punggung.

Sayangnya, lanjut Sudaryatmo, pembangunan di Jakarta tidak sesuai dengan pertumbuhan kendaraan. Di mana, pertumbuhan jalan selama empat tahun hanya 111 km dari 6.866 km pada 2010 menjadi 6.955 km. "Saat ini warga Jakarta harus mengeluarkan belanja transportasi cukup tinggi, antara 20-35% dari total pengeluaran rumah. DKI harus mengutamakan moda transportasi yang mendukung keberlanjutan sebuah kota," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan dan Transpotasi DKI Jakarta Andri Yansyah menuturkan, untuk mencapai target 40% itu seluruh rute memang harus terlayani dengan baik, kendaraan sudah terintegrasi dan kesediaan infrastruktur yang mumpuni.

“Kami sudah lakukan re-routing semua tidak boleh berhimpitan. Baik itu bus kecil, sedang dan bus besar. Kami sudah melayani transportasi Jabodetabek sekitar 20%," ungkapnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9068 seconds (0.1#10.140)