Tahun 2050, Jakarta Terancam Banjir Besar
A
A
A
JAKARTA - Kota Jakarta disebut terancam dua banjir besar yakni, banjir rob dan luapan dari 13 sungai di Ibu Kota. Pembangunan tanggul fase A dipercaya dapat mengantisipasi Jakarta dari ancaman banjir besar tersebut.
Pakar perkotaan dan lingkungan dari Universitas Indonesia Rudy Tambunan menjelaskan, letak Jakarta yang dibatasi Sungai Cisadane di sisi barat dan Sungai Citarum di sisi timur. Sementara di bagian selatan terdapat hulu Ciliwung dan utara hulu serta 12 sungai lainnya.
Kondisi ini kemudian membuat endapan dan sedimen membentuk dari Teluk Jakarta. Sebab aliran itu berasal dari Cisadane, Citarum dibandingkan aliran 13 sungai kecil. Batas garis pantai kemudian semakin menjorok ke daratan akibat perubahan arus musiman yang mengikis pantai karena belum terbentuk tanggul.
"Bila diperparah dengan air pasang laut, menyebabkan daratan di utara Jakarta semakin terendam," kata Rudy, Kamis, 23 Maret 2017 kemarin.
Sementara di bagian daratan Jakarta, lapisan geologi yang lebih muda dan penggunaan air tanah berlebihan menciptakan pemampatan dengan begitu, air dari permukaan tak masuk ke laut.
Muka tanah yang rendah inilah yang berpotensi menjadi tempat genangan air (rob). Dalam studi sebuah penelitian berjudul 'Indonesia : A
Vulnerable Country in the Face of Climate Change' yang dirilis Global Majority Journal Juni 2010 juga mengingatkan dampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu, intensitas hujan, permukaan air laut, dan ancaman pangan.
Dalam studi itu, Indonesia mengalami perubahan iklim yang membuat intensitas curah hujan naik dari 2-3% per tahun. Membuat wilayah Indonesia terancam banjir parah. Sebagian contoh, Jakarta sempat mengalami banjir parah Februari 2007 lalu akibat curah hujan yang tinggi.
Saat itu, banjir melanda 80% wilayah dan melumpuhkan transportasi Jakarta. Banjir pun merendam lebih dari 70.000rumah dan memaksa 420-440.000 warga mengungsi.
Sementara rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta naik sebesar 0,57 sentimeter per tahun. Celakanya, kondisi ini juga dibarengi dengan penurunan permukaan daratan rata-rata 0,8 sentimeter per tahun.
Lain halnya, Studi Institut Teknologi Indonesia di Bandung yang dikutip Bank Pembangunan Asia menyebutkan permukaan air laut naik antara 0,25; 0,57; dan 1 sentimeter per tahun. Daerah utara Jakarta yang akan terendam banjir rob pada 2050 akan berkisar 40,45, dan 90 kilometer persegi. Cakupan wilayah yang terendam rob tersebut akan semakin luas jika penurunan permukaan daratan lebih dalam.
Rudy menuturkan, pembangunan tanggul fase A adalah rekomendasi studi Jakarta Coastal Defence Strategy tahun 2012 untuk mengatasi banjir besar pada 2050 bersamaan pasang air laut sebagaimana terjadi pada 2002, 1996, dan 1976.
"Tanggul pantai perlu karena pembangunan tanggul antar-polder di pantai belum terpadu, terutama di 10 muara sungai," katanya. Pembangunan tanggul merupakan program yang digagas pemerintah dan biaya pembangunannya diatasi bersama pemerintah dan pengembang 17 pulau reklamasi.
"Jadi yang membangun tanggul bukan pengembang," ungkap Rudy.
Dia mengingatkan, keterlibatan masyarakat dalam pembenahan DAS dan wilayah pantai sangat diperlukan. Pengembangan dan revitalisasi wilayah di Jakarta seharusnya berbasis komunitas.
Aktivis lingkungan Emmy Hafild mengatakan, Jakarta akan tenggelam jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah terpadu. Pembangunan tanggul raksasa yang dibarengi dengan pengaturan pemakaian air tanah di daratan akan menyelesaikan banjir rob dari laut.
Adapun reklamasi 17 pulau yang digagas pemerintah merupakan salah satu cara untuk membiayai pembangunan tanggul. "Pembangunan tanggul membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak mungkin dibebankan kepada anggaran negara," kata dia.
Menurut Emmy, reklamasi merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap lingkungan Teluk Jakarta yang sudah rusak dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula. Keberadaan reklamasi diharapkan akan menciptakan ekosistem baru yang akan memperbaiki kondisi lingkungan.
Pakar perkotaan dan lingkungan dari Universitas Indonesia Rudy Tambunan menjelaskan, letak Jakarta yang dibatasi Sungai Cisadane di sisi barat dan Sungai Citarum di sisi timur. Sementara di bagian selatan terdapat hulu Ciliwung dan utara hulu serta 12 sungai lainnya.
Kondisi ini kemudian membuat endapan dan sedimen membentuk dari Teluk Jakarta. Sebab aliran itu berasal dari Cisadane, Citarum dibandingkan aliran 13 sungai kecil. Batas garis pantai kemudian semakin menjorok ke daratan akibat perubahan arus musiman yang mengikis pantai karena belum terbentuk tanggul.
"Bila diperparah dengan air pasang laut, menyebabkan daratan di utara Jakarta semakin terendam," kata Rudy, Kamis, 23 Maret 2017 kemarin.
Sementara di bagian daratan Jakarta, lapisan geologi yang lebih muda dan penggunaan air tanah berlebihan menciptakan pemampatan dengan begitu, air dari permukaan tak masuk ke laut.
Muka tanah yang rendah inilah yang berpotensi menjadi tempat genangan air (rob). Dalam studi sebuah penelitian berjudul 'Indonesia : A
Vulnerable Country in the Face of Climate Change' yang dirilis Global Majority Journal Juni 2010 juga mengingatkan dampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu, intensitas hujan, permukaan air laut, dan ancaman pangan.
Dalam studi itu, Indonesia mengalami perubahan iklim yang membuat intensitas curah hujan naik dari 2-3% per tahun. Membuat wilayah Indonesia terancam banjir parah. Sebagian contoh, Jakarta sempat mengalami banjir parah Februari 2007 lalu akibat curah hujan yang tinggi.
Saat itu, banjir melanda 80% wilayah dan melumpuhkan transportasi Jakarta. Banjir pun merendam lebih dari 70.000rumah dan memaksa 420-440.000 warga mengungsi.
Sementara rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta naik sebesar 0,57 sentimeter per tahun. Celakanya, kondisi ini juga dibarengi dengan penurunan permukaan daratan rata-rata 0,8 sentimeter per tahun.
Lain halnya, Studi Institut Teknologi Indonesia di Bandung yang dikutip Bank Pembangunan Asia menyebutkan permukaan air laut naik antara 0,25; 0,57; dan 1 sentimeter per tahun. Daerah utara Jakarta yang akan terendam banjir rob pada 2050 akan berkisar 40,45, dan 90 kilometer persegi. Cakupan wilayah yang terendam rob tersebut akan semakin luas jika penurunan permukaan daratan lebih dalam.
Rudy menuturkan, pembangunan tanggul fase A adalah rekomendasi studi Jakarta Coastal Defence Strategy tahun 2012 untuk mengatasi banjir besar pada 2050 bersamaan pasang air laut sebagaimana terjadi pada 2002, 1996, dan 1976.
"Tanggul pantai perlu karena pembangunan tanggul antar-polder di pantai belum terpadu, terutama di 10 muara sungai," katanya. Pembangunan tanggul merupakan program yang digagas pemerintah dan biaya pembangunannya diatasi bersama pemerintah dan pengembang 17 pulau reklamasi.
"Jadi yang membangun tanggul bukan pengembang," ungkap Rudy.
Dia mengingatkan, keterlibatan masyarakat dalam pembenahan DAS dan wilayah pantai sangat diperlukan. Pengembangan dan revitalisasi wilayah di Jakarta seharusnya berbasis komunitas.
Aktivis lingkungan Emmy Hafild mengatakan, Jakarta akan tenggelam jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah terpadu. Pembangunan tanggul raksasa yang dibarengi dengan pengaturan pemakaian air tanah di daratan akan menyelesaikan banjir rob dari laut.
Adapun reklamasi 17 pulau yang digagas pemerintah merupakan salah satu cara untuk membiayai pembangunan tanggul. "Pembangunan tanggul membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak mungkin dibebankan kepada anggaran negara," kata dia.
Menurut Emmy, reklamasi merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap lingkungan Teluk Jakarta yang sudah rusak dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula. Keberadaan reklamasi diharapkan akan menciptakan ekosistem baru yang akan memperbaiki kondisi lingkungan.
(whb)