Ini Penyebab Fenomena Kegerahan yang Dialami Masyarakat Jabodetabek
Selasa, 26 Mei 2020 - 16:45 WIB
JAKARTA - Cuaca wilayah Jabodetabek beberapa hari terakhir memang sedikit lebih panas dari biasanya. Hal ini membuat banyak masyarakat mengeluhkan kegerahan. Terkait dengan adanya fenomena tersebut, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan tentang fenomena gerah secara meteorologis.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal mengatakan, penyebab dari 'kegerahan' saat ini adalah karena suhu udara yang panas disertai dengan kelembapan udara tinggi menyatakan jumlah uap air yang terkandung pada udara. "Semakin banyak uap air dalam udara, maka akan semakin lembap udara tersebut, dan apabila suhu meningkat akibat pemanasan matahari langsung karena berkurangnya tutupan awan, suasana akan lebih terasa gerah," kata Herizal melalui pesan tertulis, Selasa (26/5/2020).
Berdasarkan laporan pencatatan meteorologis, suhu maksimum udara (umumnya terjadi pada siang atau tengah hari) di Indonesia dalam lima hari terakhir ini berada dalam kisaran 34-36°C. Di Jabodetabek, pantauan suhu maksimum tertinggi terjadi di Soekarno/Hatta 35°C, Kemayoran 35°C, Tanjung Priok 34,8°C, dan Ciputat 34,7°C. (Baca: Kajian Tim BMKG dan UGM, Cuaca Bisa Pengaruhi Pandemi Covid-19)
Menurut Herizal, fenomena udara gerah sebenarnya adalah fenomena biasa pada saat memasuki musim kemarau. Untuk Jabodetabek, periode April-Mei adalah bulan-bulan di mana suhu udara secara statistik berdasarkan data historis memang cukup tinggi. "Bahkan perkembangan musim kemarau hingga pertengahan Mei 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 35% wilayah zona musim (ZOM) sudah memasuki musim kemarau," ujarnya.
Untuk itu, Herizal mengimbau masyarakat supaya tidak panik dengan suasana gerah yang terjadi, tetapi tetap perlu menjaga kesehatan dan stamina sehingga tidak terjadi dehidrasi dan iritasi kulit. "Banyak minum dan makan buah segar sangat dianjurkan, termasuk memakai tabir surya. Sehingga tidak terpapar langsung sinar matahari yang berlebih dan lebih banyak berdiam dirumah pada saat pemberlakuan PSBB," ucapnya.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal mengatakan, penyebab dari 'kegerahan' saat ini adalah karena suhu udara yang panas disertai dengan kelembapan udara tinggi menyatakan jumlah uap air yang terkandung pada udara. "Semakin banyak uap air dalam udara, maka akan semakin lembap udara tersebut, dan apabila suhu meningkat akibat pemanasan matahari langsung karena berkurangnya tutupan awan, suasana akan lebih terasa gerah," kata Herizal melalui pesan tertulis, Selasa (26/5/2020).
Berdasarkan laporan pencatatan meteorologis, suhu maksimum udara (umumnya terjadi pada siang atau tengah hari) di Indonesia dalam lima hari terakhir ini berada dalam kisaran 34-36°C. Di Jabodetabek, pantauan suhu maksimum tertinggi terjadi di Soekarno/Hatta 35°C, Kemayoran 35°C, Tanjung Priok 34,8°C, dan Ciputat 34,7°C. (Baca: Kajian Tim BMKG dan UGM, Cuaca Bisa Pengaruhi Pandemi Covid-19)
Menurut Herizal, fenomena udara gerah sebenarnya adalah fenomena biasa pada saat memasuki musim kemarau. Untuk Jabodetabek, periode April-Mei adalah bulan-bulan di mana suhu udara secara statistik berdasarkan data historis memang cukup tinggi. "Bahkan perkembangan musim kemarau hingga pertengahan Mei 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 35% wilayah zona musim (ZOM) sudah memasuki musim kemarau," ujarnya.
Untuk itu, Herizal mengimbau masyarakat supaya tidak panik dengan suasana gerah yang terjadi, tetapi tetap perlu menjaga kesehatan dan stamina sehingga tidak terjadi dehidrasi dan iritasi kulit. "Banyak minum dan makan buah segar sangat dianjurkan, termasuk memakai tabir surya. Sehingga tidak terpapar langsung sinar matahari yang berlebih dan lebih banyak berdiam dirumah pada saat pemberlakuan PSBB," ucapnya.
(hab)
tulis komentar anda