494 Tahun Jakarta, Sudah Pantaskah Ibu Kota Bersepeda?
Selasa, 22 Juni 2021 - 13:57 WIB
JAKARTA - Jakarta, Ibu Kota Negara kini genap berusia 494 Tahun. Di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sepeda akan dijadikan moda transportasi utama setelah berjalan kaki.
Dalam konsep penataan transportasi yang dijalankan Gubernur Anies, pejalan kaki menjadi prioritas utama menata trasnportasi Ibu Kota. Setelah itu sepeda, kendaraan umum dan terakhir kendaraan pribadi. Pelebaran trotoar dilakukan untuk memfasilitasi pejalan kaki, begitupun jalur sepeda dan mengintergasikan moda transportasi umum.
Sayangnya, ditengah pembangnan jalur sepeda di kawasan Sudirman-Thamrin, konflik horizontal pesepeda terjadi. Apalagi, Gubernur Anies berencana menjadikan Jalan Layang Non Tol (JLNT) dan jalur non-sepeda Sudirman-Thamrin untuk pesepeda road bike.
Konflik tersebut berujung pada keinginan Kapolri Jenderal Listyo Sigit membongkar jalur sepeda permanen di kawasan Sudirman-Thamrin pasca-laporan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang beralasan jalur sepeda menyebabkan diskriminasi.
Lalu apakah Jakarta sudah pantas menjadi kota ramah sepeda diusia ke-494?
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga menjealaskan, pembangunan jalur sepeda sepanjang 63 kilometer saat ini merupakan sebuah awal yang bagus menuju kota ramah pesepeda. Namun tidak perlu ada pagar pembatas seperti yang ada di kawasan Sudirman-Thamrin saat ini.
Dia justru menyarankan agar dananya digunakan untuk membangun infrastrutur sepeda secara menyeluruh.
Nirwono menjelaskan, kota yang berkelanjutan, warganya lebih menggunakan transportasi publik ketimbang naik kendaraan pribadi.
Untuk mendorong warga beralih ke transportasi publik, fasilitas trotoar yang aman dan nyaman harus disediakan. Khususnya di sekitar stasiun, terminal, halte, ataupun Jembatan Penyebarangan Orang (JPO).
Dalam konsep penataan transportasi yang dijalankan Gubernur Anies, pejalan kaki menjadi prioritas utama menata trasnportasi Ibu Kota. Setelah itu sepeda, kendaraan umum dan terakhir kendaraan pribadi. Pelebaran trotoar dilakukan untuk memfasilitasi pejalan kaki, begitupun jalur sepeda dan mengintergasikan moda transportasi umum.
Sayangnya, ditengah pembangnan jalur sepeda di kawasan Sudirman-Thamrin, konflik horizontal pesepeda terjadi. Apalagi, Gubernur Anies berencana menjadikan Jalan Layang Non Tol (JLNT) dan jalur non-sepeda Sudirman-Thamrin untuk pesepeda road bike.
Konflik tersebut berujung pada keinginan Kapolri Jenderal Listyo Sigit membongkar jalur sepeda permanen di kawasan Sudirman-Thamrin pasca-laporan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang beralasan jalur sepeda menyebabkan diskriminasi.
Lalu apakah Jakarta sudah pantas menjadi kota ramah sepeda diusia ke-494?
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga menjealaskan, pembangunan jalur sepeda sepanjang 63 kilometer saat ini merupakan sebuah awal yang bagus menuju kota ramah pesepeda. Namun tidak perlu ada pagar pembatas seperti yang ada di kawasan Sudirman-Thamrin saat ini.
Dia justru menyarankan agar dananya digunakan untuk membangun infrastrutur sepeda secara menyeluruh.
Nirwono menjelaskan, kota yang berkelanjutan, warganya lebih menggunakan transportasi publik ketimbang naik kendaraan pribadi.
Untuk mendorong warga beralih ke transportasi publik, fasilitas trotoar yang aman dan nyaman harus disediakan. Khususnya di sekitar stasiun, terminal, halte, ataupun Jembatan Penyebarangan Orang (JPO).
tulis komentar anda