Dahulu, Nama Tangerang Itu Ternyata Tangeran Tanpa Huruf G di Belakang
Kamis, 25 Maret 2021 - 05:30 WIB
JAKARTA - Tangerang, nama ini tentunya tak asing lagi di telinga masyarakat. Tangerang yang masuk menjadi bagian Provinsi Banten ini terbagi tiga yakni, Kota Tangerang , Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan .
Kota yang berbatasan dengan DKI Jakarta ini tumbuh dengan pesat mulai dari permukiman, perdagangan, industri dan jasa. Tak banyak yang tahu bagaimana asal muasal nama Tangerang. SINDOnews pun mencoba merangkum asal usul nama Tangerang tersebut.
Dilansir dari tangerangkota.go.id, pada pertengahan Abad XV di masa Kolonialisme Belanda, Sultan Banten mengangkat tiga Aria/Maulana yang merupakan kerabat jauh Sultan dari Kerjaaan Sumedang Larang yakni, Yudhanegara, Wangsakara dan Santika.
Kegiatannya bertugas untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap VOC yang menerapkan praktik monopolinya. Pada perjuangannya ketiga Maulana tersebut membangun benteng pertahanan yang disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah "Benteng" atau "Bentengan".
Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng. Saat ini sisa bangunan "Bentengan" tersebut berada di beberapa titik di bawah permukaan air Sungai Cisadane yang semakin melebar.
Nama Tangerang berasal dari sebutan masyarakat sekitar terhadap bangunan tugu dengan tinggi kira-kira 2,5 meter yang didirikan Pangeran Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, pada tanggal 5 Sapar tahun Wawu (1654 Masehi) yang terletak sekitar 500 meter di tepi barat bantaran Sungai Cisadane tepatnya di Gardu Gede yang kini dikenal dengan nama Kampung Gerendeng.
Fungsi tugu tersebut adalah sebagai pembatas atau penanda wilayah kekuasaan Kesultanan Banten di sebelah barat Sungai Cisadane dengan wilayah yang dikuasi VOC di sebelah timur. Atas dasar fungsinya tersebut, masyarakat menyebut tugu dan daerah itu dengan sebutan "Tetengger" atau "Tanggeran" yang berarti "penanda".
Pasca penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten tanggal 17 April 1684, Belanda sepenuhnya menguasai wilayah "Tanggeran". Dalam penguasaannya, tentara Belanda juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng.
Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut "Tangeran" dengan "Tangerang". Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
Kota yang berbatasan dengan DKI Jakarta ini tumbuh dengan pesat mulai dari permukiman, perdagangan, industri dan jasa. Tak banyak yang tahu bagaimana asal muasal nama Tangerang. SINDOnews pun mencoba merangkum asal usul nama Tangerang tersebut.
Dilansir dari tangerangkota.go.id, pada pertengahan Abad XV di masa Kolonialisme Belanda, Sultan Banten mengangkat tiga Aria/Maulana yang merupakan kerabat jauh Sultan dari Kerjaaan Sumedang Larang yakni, Yudhanegara, Wangsakara dan Santika.
Kegiatannya bertugas untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap VOC yang menerapkan praktik monopolinya. Pada perjuangannya ketiga Maulana tersebut membangun benteng pertahanan yang disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah "Benteng" atau "Bentengan".
Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng. Saat ini sisa bangunan "Bentengan" tersebut berada di beberapa titik di bawah permukaan air Sungai Cisadane yang semakin melebar.
Nama Tangerang berasal dari sebutan masyarakat sekitar terhadap bangunan tugu dengan tinggi kira-kira 2,5 meter yang didirikan Pangeran Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, pada tanggal 5 Sapar tahun Wawu (1654 Masehi) yang terletak sekitar 500 meter di tepi barat bantaran Sungai Cisadane tepatnya di Gardu Gede yang kini dikenal dengan nama Kampung Gerendeng.
Fungsi tugu tersebut adalah sebagai pembatas atau penanda wilayah kekuasaan Kesultanan Banten di sebelah barat Sungai Cisadane dengan wilayah yang dikuasi VOC di sebelah timur. Atas dasar fungsinya tersebut, masyarakat menyebut tugu dan daerah itu dengan sebutan "Tetengger" atau "Tanggeran" yang berarti "penanda".
Pasca penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten tanggal 17 April 1684, Belanda sepenuhnya menguasai wilayah "Tanggeran". Dalam penguasaannya, tentara Belanda juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng.
Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut "Tangeran" dengan "Tangerang". Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
(hab)
Lihat Juga :
tulis komentar anda