Jadi Korban Mafia Tanah, Guru Besar IPB Kirim Surat Keadilan ke Presiden Prabowo
Rabu, 30 Oktober 2024 - 13:50 WIB
JAKARTA - Guru Besar IPB Prof Ing Mokoginta mengirim surat terbuka permintaan keadilan kepada Presiden Prabowo Subianto. Dia telah menjadi korban mafia tanah .
“Tanah dan hak kami dirampas mafia tanah, tapi negara diam saja. Karena itu, kami menjadi pengemis keadilan,” ujar Mokoginta dalam keterangannya, Rabu (30/10/2024).
Menurut dia, seorang profesor yang harusnya dapat kehormatan, namun tidak untuk Guru Besar IPB Prof Ing Mokoginta malah menjadi pengemis keadilan selama 7 tahun.
Dia menuturkan semua lini peradilan sudah ditempuh dari Pengadilan Tata Usaha Negara sampai Pengadilan Negeri dan hasilnya Pengadilan memenangkan hak kami. Anehnya, dia tidak mendapatkan kemanfaatan dan keadilannya.
“Kami tidak bisa menguasai tanah tersebut dan kami hanya bisa melihat tanah kami dikuasai mafia tanah. Hingga sekarang kami sudah di tahap laporan polisi. Empat LP selama 5 tahun di Polda Sulut dengan 5 Kapolda tidak bisa memberikan kepastian dan keadilan kepada kami,” ungkap Mokoginta.
Dua tahun lalu tepatnya Agustus 2022 ada secercah harapan kembali muncul. Laporan polisi Nomor LP/541/XII/2020/SULUT/SPKT ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani Unit III Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri dan Laporan Polisi Nomor LP/460/IX/SULUT/SPKT juga ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani Subdit IV Dittipidum Bareskrim Polri.
Dia mengatakan, berbagai alasan muncul dari penyidik yang menangani laporan polisi. Penyidik Unit III Subdit II Dittipidum beralasan tidak memiliki anggaran untuk keberangkatan karena anggaran belum disetujui.
“Apakah harus dari anggaran pribadi saya baru perkara ini bisa berjalan, kemudian Penyidik Unit I Subdit IV Dittipidum sudah memanggil 3 ahli dan seluruh saksi, namun juga tidak memberikan kepastian,” ucap Mokoginta.
“Di umur saya yang ke 80 tahun ini saya hanya berharap mendapatkan tujuan hukum itu. Apakah saya harus pasrah dan hingga akhir hayat saya tidak pernah melihat keadilan itu,” sambungnya.
“Tanah dan hak kami dirampas mafia tanah, tapi negara diam saja. Karena itu, kami menjadi pengemis keadilan,” ujar Mokoginta dalam keterangannya, Rabu (30/10/2024).
Menurut dia, seorang profesor yang harusnya dapat kehormatan, namun tidak untuk Guru Besar IPB Prof Ing Mokoginta malah menjadi pengemis keadilan selama 7 tahun.
Dia menuturkan semua lini peradilan sudah ditempuh dari Pengadilan Tata Usaha Negara sampai Pengadilan Negeri dan hasilnya Pengadilan memenangkan hak kami. Anehnya, dia tidak mendapatkan kemanfaatan dan keadilannya.
“Kami tidak bisa menguasai tanah tersebut dan kami hanya bisa melihat tanah kami dikuasai mafia tanah. Hingga sekarang kami sudah di tahap laporan polisi. Empat LP selama 5 tahun di Polda Sulut dengan 5 Kapolda tidak bisa memberikan kepastian dan keadilan kepada kami,” ungkap Mokoginta.
Dua tahun lalu tepatnya Agustus 2022 ada secercah harapan kembali muncul. Laporan polisi Nomor LP/541/XII/2020/SULUT/SPKT ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani Unit III Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri dan Laporan Polisi Nomor LP/460/IX/SULUT/SPKT juga ditarik ke Bareskrim Polri yang ditangani Subdit IV Dittipidum Bareskrim Polri.
Dia mengatakan, berbagai alasan muncul dari penyidik yang menangani laporan polisi. Penyidik Unit III Subdit II Dittipidum beralasan tidak memiliki anggaran untuk keberangkatan karena anggaran belum disetujui.
“Apakah harus dari anggaran pribadi saya baru perkara ini bisa berjalan, kemudian Penyidik Unit I Subdit IV Dittipidum sudah memanggil 3 ahli dan seluruh saksi, namun juga tidak memberikan kepastian,” ucap Mokoginta.
“Di umur saya yang ke 80 tahun ini saya hanya berharap mendapatkan tujuan hukum itu. Apakah saya harus pasrah dan hingga akhir hayat saya tidak pernah melihat keadilan itu,” sambungnya.
(jon)
tulis komentar anda