Marak Isu Beras Plastik, Pakar IPB Ungkap Faktanya
Jum'at, 13 Oktober 2023 - 19:37 WIB
BOGOR - Pakar Institut Pertanian Bogor (IPB) University angkat suara terkait maraknya isu beras plastik di tengah masyarakat. Isu beras plastik dianggap hoaks dan tidak masuk akal.
"Sebagai peneliti, saya bisa memastikan bahwa yang diklaim sebagai beras plastik itu hoaks," ujar Pakar Teknologi Pangan IPB University, Prof Slamet Budijanto dalam keterangannya, Jumat (13/10/2023).
Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University itu menegaskan, semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Yang selama ini ada adalah biji plastik yang bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras.
"Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Jadi itu bukan beras, itu adalah butiran atau biji plastik," tandasnya.
Menurut dia, kalaupun ada yang membuat produk beras dari plastik, itu tidak masuk akal. Sebab, untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.
Harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang (recycle) saja sudah mencapai Rp20.000. Harga itu lebih mahal dibanding beras premium sekalipun yang saat ini kisaran harganya Rp15.000.
"Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal," ungkapnya.
Pada beberapa kasus, kata dia, dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai 'plasticizer' supaya tidak lengket dan lebih kompak beras analognya.
"Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan," tuturnya.
Kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran agar masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita.
"Di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena berpikir kritis menjadi penting," tutupnya.
Lihat Juga: Atang-Annida Dapat Dukungan Relawan Keluarga Alumni IPB, Dukung Bogor Nyaman untuk Semua
"Sebagai peneliti, saya bisa memastikan bahwa yang diklaim sebagai beras plastik itu hoaks," ujar Pakar Teknologi Pangan IPB University, Prof Slamet Budijanto dalam keterangannya, Jumat (13/10/2023).
Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University itu menegaskan, semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Yang selama ini ada adalah biji plastik yang bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras.
"Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Jadi itu bukan beras, itu adalah butiran atau biji plastik," tandasnya.
Menurut dia, kalaupun ada yang membuat produk beras dari plastik, itu tidak masuk akal. Sebab, untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.
Harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang (recycle) saja sudah mencapai Rp20.000. Harga itu lebih mahal dibanding beras premium sekalipun yang saat ini kisaran harganya Rp15.000.
"Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal," ungkapnya.
Pada beberapa kasus, kata dia, dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai 'plasticizer' supaya tidak lengket dan lebih kompak beras analognya.
"Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan," tuturnya.
Kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran agar masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita.
"Di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena berpikir kritis menjadi penting," tutupnya.
Lihat Juga: Atang-Annida Dapat Dukungan Relawan Keluarga Alumni IPB, Dukung Bogor Nyaman untuk Semua
(thm)
tulis komentar anda