Orang Tua Berperan Penting Cegah Anak Terlibat Tawuran Pelajar
A
A
A
JAKARTA - Tawuran yang terjadi di Tangerang hingga menyebabkan satu pelajar tewas di bacok itu sejatinya hal yang biasa. Sebab, tawuran itu sudah terjadi sejak dahulu. Hanya saja, saat ini tawuran di kalangan pelajar keraap menimbulkan korban jiwa.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Musni Umar mengatakan, sejatinya, aksi tawuran yang kerap terjadi di kalangan pelajar itu merupakan hal yang biasa. Pasalnya, tawuran itu sudah terjadi sejak dahulu. Hanya saja, pada zaman sekarang ini, aksi tawuran di kalangan remaja kerap menimbulkan korban.
"Saya sendiri prihatin dengan tawuran di Tangerang itu yang sampai memakan satu korban akibat penggunaan sajam dalam tawuran itu. Ada tiga hal yang harus diperhatikan, tiga faktor ini menjadi penyebab terjadinya tawuran," ujarnya saat dihubungi Sindonews, Senin (6/4/2015).
Pertama, kata Musni, faktor yang membuat para pelajar itu melakukan tawuran adalah lingkunganya. Jika saat di rumah dan di sekolah dia sering bergaul dengan orang-orang yang kerap melakukan tindakan agresif. Dia pun akan ikut melakukan tindakan yang agresif pula. (Baca: Tawuran, Pelajar Ini Sekarat dengan Pedang Menancap di Wajah)
"Apalagi kalau dia berada di kalangan orang yang sering berbuat agresif. Dia cenderung akan melakukan hal yang sama pula. Tidak terkecuali melakukan tindak destruktif yang merugikan dia ataupun orang lainnya. Dari situ, muncul anggapan tawuran itu hal yang biasa dilakukan," terangnya.
Kedua, tuturnya, dari segi psikologisnya. Anak yang masih duduk di bangku sekolah itu cenderung memiliki kepribadian yang labil. Saat dirinya mendapatkan pernyataan yang bersifat provokasi, dia cenderung meresponnya dengan sikap agresifnya pula.
"Di tempatnya bermain di kalangan sekolah, bisa saja dia itu di ledek oleh teman-temannya. Akibatnya, dia berusaha tampil heroik agar diakui teman-temannya dengan cara ikut tawuran. Padahal, mereka itu penakut, tapi untuk memberanikan dirinya, dia bawa senjata atau peralatan lainnya," tuturnya.
Ketiga, ucap Musni, para pelajar itu sejatinya tidak dapat mengontrol dirinya saat berada di tempat kerumunan, seperti tawuran. Saat tawuran pecah, mereka cenderung melakukan perbuatannya berdasarkan apa yang dilihatnya, bukan berdasarkan pemikirannya.
"Itu di sebut dengan teori kerumunan. Saat berkerumun tawuran, mereka tidak dapat mengontrol dirinya. Akibatnya, mereka pun melakukan kegiatan tawuran dengan tanpa disadarinya. Termasuk menggunakan peralatan yang di bawanya itu untuk melukai orang lain," jelasnya.
Maka itu, ungkap Musni, perlu adanya kerjasama antara orang tua siswa, pihak sekolah, pihak kepolisian, dan masyarakat untuk mengurangi adanya tindak tawuran tersebut. Seperti melakukan razia secara rutin yang dilakukan oleh pihak kepolisian di jalanan dengan mendatangi perkumpulan anak remaja yang sedang nongkrong di pinggiran jalan.
"Orang tua pun harus terus berkoordinasi dengan sekolah. Usai jam sekolah, ternyata anaknya belum sampai rumah, dia harus pantau anaknya di mana dan sedang apa nih, nih bisa sampai belum pulang," paparnya.
Musni pun menambahkan, selain itu, perlu adanya pengajaran akan kontrol diri pada diri siswa, sehingga, saat tawuran terjadi, siswa tersebut dapat berpikir kalau tindakan yang dilakukannya itu dapat membahayakan dia dan orang lainnya.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Musni Umar mengatakan, sejatinya, aksi tawuran yang kerap terjadi di kalangan pelajar itu merupakan hal yang biasa. Pasalnya, tawuran itu sudah terjadi sejak dahulu. Hanya saja, pada zaman sekarang ini, aksi tawuran di kalangan remaja kerap menimbulkan korban.
"Saya sendiri prihatin dengan tawuran di Tangerang itu yang sampai memakan satu korban akibat penggunaan sajam dalam tawuran itu. Ada tiga hal yang harus diperhatikan, tiga faktor ini menjadi penyebab terjadinya tawuran," ujarnya saat dihubungi Sindonews, Senin (6/4/2015).
Pertama, kata Musni, faktor yang membuat para pelajar itu melakukan tawuran adalah lingkunganya. Jika saat di rumah dan di sekolah dia sering bergaul dengan orang-orang yang kerap melakukan tindakan agresif. Dia pun akan ikut melakukan tindakan yang agresif pula. (Baca: Tawuran, Pelajar Ini Sekarat dengan Pedang Menancap di Wajah)
"Apalagi kalau dia berada di kalangan orang yang sering berbuat agresif. Dia cenderung akan melakukan hal yang sama pula. Tidak terkecuali melakukan tindak destruktif yang merugikan dia ataupun orang lainnya. Dari situ, muncul anggapan tawuran itu hal yang biasa dilakukan," terangnya.
Kedua, tuturnya, dari segi psikologisnya. Anak yang masih duduk di bangku sekolah itu cenderung memiliki kepribadian yang labil. Saat dirinya mendapatkan pernyataan yang bersifat provokasi, dia cenderung meresponnya dengan sikap agresifnya pula.
"Di tempatnya bermain di kalangan sekolah, bisa saja dia itu di ledek oleh teman-temannya. Akibatnya, dia berusaha tampil heroik agar diakui teman-temannya dengan cara ikut tawuran. Padahal, mereka itu penakut, tapi untuk memberanikan dirinya, dia bawa senjata atau peralatan lainnya," tuturnya.
Ketiga, ucap Musni, para pelajar itu sejatinya tidak dapat mengontrol dirinya saat berada di tempat kerumunan, seperti tawuran. Saat tawuran pecah, mereka cenderung melakukan perbuatannya berdasarkan apa yang dilihatnya, bukan berdasarkan pemikirannya.
"Itu di sebut dengan teori kerumunan. Saat berkerumun tawuran, mereka tidak dapat mengontrol dirinya. Akibatnya, mereka pun melakukan kegiatan tawuran dengan tanpa disadarinya. Termasuk menggunakan peralatan yang di bawanya itu untuk melukai orang lain," jelasnya.
Maka itu, ungkap Musni, perlu adanya kerjasama antara orang tua siswa, pihak sekolah, pihak kepolisian, dan masyarakat untuk mengurangi adanya tindak tawuran tersebut. Seperti melakukan razia secara rutin yang dilakukan oleh pihak kepolisian di jalanan dengan mendatangi perkumpulan anak remaja yang sedang nongkrong di pinggiran jalan.
"Orang tua pun harus terus berkoordinasi dengan sekolah. Usai jam sekolah, ternyata anaknya belum sampai rumah, dia harus pantau anaknya di mana dan sedang apa nih, nih bisa sampai belum pulang," paparnya.
Musni pun menambahkan, selain itu, perlu adanya pengajaran akan kontrol diri pada diri siswa, sehingga, saat tawuran terjadi, siswa tersebut dapat berpikir kalau tindakan yang dilakukannya itu dapat membahayakan dia dan orang lainnya.
(ysw)