Ini Kata KPAI Soal Keterlibatan Anak-anak di Kelompok Begal Motor
A
A
A
JAKARTA - Pelaku begal motor yang marak belakangan ini tidak hanya didominasi orang dewasa. Anak-anak di bawah usia 17 tahun pun di sejumlah daerah terlibat dalam tindak kriminalitas tersebut.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Susanto menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak menjadi pelaku kejahatan khususnya begal. Menurut Susanto, akhir-akhir ini kasus pembegalan makin kerap terjadi dan melibatkan anak-anak remaja.
Berdasarkan hasil kajian KPAI, lanjut Susanto, pemicu anak menjadi pelaku kasus begal bukan hanya dari faktor tunggal, namun banyak faktor. "Pertama, pengaruh dari teman-teman sebaya dan lingkungan sosial yang terbiasa melakukan kekerasan. Bahkan, dalam beberapa kasus dipicu karena iseng. Kemudian, mereka nyaman. Ada beberapa tanpa disadari itu melawan hukum. Tapi ada juga yang merasa melawan hukum, namun merasa tidak akan diproses," kata Susanto kepada Sindonews, Selasa (3/3/2015).
Faktor kedua, karena disfungsi keluarga. Anak yang lahir dari keluarga bermasalah berpotensi menimbulkan pribadi yang bermasalah. Minimal, tumbuh kembangnya kurang optimal. "Beberapa kasus yang terjadi, ternyata setelah ditelusuri, pelakunya adalah korban pola asuh. Sehingga, perkembangannya kurang optimal," ungkapnya.
Susanto menyampaikan, selanjutnya yaitu, cara berpikir instan dan labil. "Perilaku pembegalan adalah bagaimana mendapatkan sesuatu dengan cara instan. Ia ingin mendapatkan sepeda motor dengan instan," paparnya.
Kemudian, faktor akibat dari tindakan bullying. Berdasarkan hasil survei IRF tahun 2014, hampir di setiap sekolah terjadi bullying. Bahkan, di Taman Kanak-kanak pun sudah ada bibit bullying. "Sifat bullying baik psikis maupun verbal sangat mengganggu," katanya.
Faktor terakhir adalah akibat tontonan kekerasan. Karena, saat ini tontonan kekerasan sangat mudah didapatkan. Hal itu berkontribusi anak permisif dengan kekerasan.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil analisa, biasanya hasil dari tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak remaja digunakan untuk bersenang-senang dengan teman atau pacar. "Hasil begal biasanya untuk weekend. Untuk senang-senang dengan teman, pacar. Hal ini, menunjukan masalah begal menjadi momok dan masalah serius," jelasnya.
Susanto menegaskan, permasalahan begal pada anak, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal. Namun, perlu diselesaikan secara utuh. "Pemerintah perlu melakukan pemberdayaan keluarga bukan hanya faktor ekonomi, namun juga pengasuhan terhadap anak yang berkarakter. Karena, kasus-kasus yang ada di keluarga pada umumnya dipicu perspektif orang tua yang bias. Anak dianggap sebagai milik, sebagai invenstasi, bukan manusia yang utuh," imbuhnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Susanto menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak menjadi pelaku kejahatan khususnya begal. Menurut Susanto, akhir-akhir ini kasus pembegalan makin kerap terjadi dan melibatkan anak-anak remaja.
Berdasarkan hasil kajian KPAI, lanjut Susanto, pemicu anak menjadi pelaku kasus begal bukan hanya dari faktor tunggal, namun banyak faktor. "Pertama, pengaruh dari teman-teman sebaya dan lingkungan sosial yang terbiasa melakukan kekerasan. Bahkan, dalam beberapa kasus dipicu karena iseng. Kemudian, mereka nyaman. Ada beberapa tanpa disadari itu melawan hukum. Tapi ada juga yang merasa melawan hukum, namun merasa tidak akan diproses," kata Susanto kepada Sindonews, Selasa (3/3/2015).
Faktor kedua, karena disfungsi keluarga. Anak yang lahir dari keluarga bermasalah berpotensi menimbulkan pribadi yang bermasalah. Minimal, tumbuh kembangnya kurang optimal. "Beberapa kasus yang terjadi, ternyata setelah ditelusuri, pelakunya adalah korban pola asuh. Sehingga, perkembangannya kurang optimal," ungkapnya.
Susanto menyampaikan, selanjutnya yaitu, cara berpikir instan dan labil. "Perilaku pembegalan adalah bagaimana mendapatkan sesuatu dengan cara instan. Ia ingin mendapatkan sepeda motor dengan instan," paparnya.
Kemudian, faktor akibat dari tindakan bullying. Berdasarkan hasil survei IRF tahun 2014, hampir di setiap sekolah terjadi bullying. Bahkan, di Taman Kanak-kanak pun sudah ada bibit bullying. "Sifat bullying baik psikis maupun verbal sangat mengganggu," katanya.
Faktor terakhir adalah akibat tontonan kekerasan. Karena, saat ini tontonan kekerasan sangat mudah didapatkan. Hal itu berkontribusi anak permisif dengan kekerasan.
Dia menambahkan, berdasarkan hasil analisa, biasanya hasil dari tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak remaja digunakan untuk bersenang-senang dengan teman atau pacar. "Hasil begal biasanya untuk weekend. Untuk senang-senang dengan teman, pacar. Hal ini, menunjukan masalah begal menjadi momok dan masalah serius," jelasnya.
Susanto menegaskan, permasalahan begal pada anak, tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal. Namun, perlu diselesaikan secara utuh. "Pemerintah perlu melakukan pemberdayaan keluarga bukan hanya faktor ekonomi, namun juga pengasuhan terhadap anak yang berkarakter. Karena, kasus-kasus yang ada di keluarga pada umumnya dipicu perspektif orang tua yang bias. Anak dianggap sebagai milik, sebagai invenstasi, bukan manusia yang utuh," imbuhnya.
(whb)