Begini Gaya Pacaran Jaman Kompeni
A
A
A
Zaman dahulu, remaja yang berpacaran dijaga ketat oleh calon mertua. Bersalaman dengan pacar merupakan hal yang melampaui batas waktu itu.
Lain dulu lain, sekarang, saat ini remaja berpacaran merupakan hal yang biasa. Namun tidak pada zaman dahulu dimana, masyarakat masih menjunjung nilai sosial yang tinggi.
Pada awal abad ke-19, Museum Gajah yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat mungkin menyimpan kenangan manis bagi orangtua.
Dulunya, warga sekitar menyebutnya Gedung Jodoh. Maklum, pada setiap hari Minggu disini para remaja menjadikannya lokasi nongkrong untuk mencari pasangan.
Para remaja jaman dulu, berpenampilan semenarik mungkin untuk memikat lawan jenisnya. Tentunya, wanita akan berdandan ala noni Belanda dengan baju terusan berumbai dan rambut tergulung rol.
Sementara, jejakanya berdandan dengan rambut berminyak dan berjambul. Sementara, celananya menggunakan model cutbray dengan bagian paha mengetat dan bagian bawah melebar. Untuk atasan kemeja sedikit ketat dan kancing atas terbuka.
Pacaran tempo dulu tak perlu keluar banyak uang karena sedikit sekali restoran. Kafe dan mal juga belum ada sehingga remaja mencari lokasi pacaran di depan museum Gajah atau di lapangan Gambir (sekarang Monas).
Namun untuk lebih serius meminang pujaan hati, pemuda dulu perlu perjuangan keras. Pemuda harus berani main ke rumah si gadis pujaan, kalau dulu namanya ngelancong. Peraturan jaman dulu untuk ngelancong sangat ketat, tidak seperti sekarang.
Dulu, pemuda ngelancong (sekarang apel) ke rumah si gadis tidak akan bisa langsung menemui pujaan hatinya. Pria hanya boleh ditemani oleh calon mertuanya saat ngelancong.
Si gadis hanya boleh bertemu dengan calon suaminya dengan mengintip dari celah-celah jendela di sebelah dalam pintu rumah. Sementara si perjaka tetap tinggal di beranda luar sambil sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela.
Karenanya ada jejaka yang nekat memilih duduk di bawah jendela. Sewaktu ayah si gadis lengah atau keluar rumah sebentar, sang jejaka memasukkan jari-jarinya ke cela-celah jendela.
Tentu saja disambut si gadis. Dan, keduanya merasa sukses bisa bersalaman dan remesan jari di malam itu. Ngelancong yang dilakukan tiap malam itu tidak boleh berlarut-larut.
Biasanya tidak lebih dua bulan. Kemudian ayah si gadis minta pada calon mantu supaya orangtuanya datang meminang putrinya.
Lain dulu lain, sekarang, saat ini remaja berpacaran merupakan hal yang biasa. Namun tidak pada zaman dahulu dimana, masyarakat masih menjunjung nilai sosial yang tinggi.
Pada awal abad ke-19, Museum Gajah yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat mungkin menyimpan kenangan manis bagi orangtua.
Dulunya, warga sekitar menyebutnya Gedung Jodoh. Maklum, pada setiap hari Minggu disini para remaja menjadikannya lokasi nongkrong untuk mencari pasangan.
Para remaja jaman dulu, berpenampilan semenarik mungkin untuk memikat lawan jenisnya. Tentunya, wanita akan berdandan ala noni Belanda dengan baju terusan berumbai dan rambut tergulung rol.
Sementara, jejakanya berdandan dengan rambut berminyak dan berjambul. Sementara, celananya menggunakan model cutbray dengan bagian paha mengetat dan bagian bawah melebar. Untuk atasan kemeja sedikit ketat dan kancing atas terbuka.
Pacaran tempo dulu tak perlu keluar banyak uang karena sedikit sekali restoran. Kafe dan mal juga belum ada sehingga remaja mencari lokasi pacaran di depan museum Gajah atau di lapangan Gambir (sekarang Monas).
Namun untuk lebih serius meminang pujaan hati, pemuda dulu perlu perjuangan keras. Pemuda harus berani main ke rumah si gadis pujaan, kalau dulu namanya ngelancong. Peraturan jaman dulu untuk ngelancong sangat ketat, tidak seperti sekarang.
Dulu, pemuda ngelancong (sekarang apel) ke rumah si gadis tidak akan bisa langsung menemui pujaan hatinya. Pria hanya boleh ditemani oleh calon mertuanya saat ngelancong.
Si gadis hanya boleh bertemu dengan calon suaminya dengan mengintip dari celah-celah jendela di sebelah dalam pintu rumah. Sementara si perjaka tetap tinggal di beranda luar sambil sebentar-sebentar mengintip ke arah jendela.
Karenanya ada jejaka yang nekat memilih duduk di bawah jendela. Sewaktu ayah si gadis lengah atau keluar rumah sebentar, sang jejaka memasukkan jari-jarinya ke cela-celah jendela.
Tentu saja disambut si gadis. Dan, keduanya merasa sukses bisa bersalaman dan remesan jari di malam itu. Ngelancong yang dilakukan tiap malam itu tidak boleh berlarut-larut.
Biasanya tidak lebih dua bulan. Kemudian ayah si gadis minta pada calon mantu supaya orangtuanya datang meminang putrinya.
(ysw)