Hilangnya norma di perkotaan, picu seks bebas

Minggu, 12 Januari 2014 - 12:49 WIB
Hilangnya norma di perkotaan, picu seks bebas
Hilangnya norma di perkotaan, picu seks bebas
A A A
Sindonews.com - Kehidupan di kota - kota besar seperti Jakarta, membuat gaya hidup bebas menjadi hal yang lumrah. Dengan dalih ranah privasi, membuat masyarakat perkotaan tak sedikit yang melegalkan gaya hidup seks bebas.

Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan banyak penyebab semakin maraknya seks bebas. Ia membenarkan masalah itu terus berkembang di wilayah perkotaan di Indonesia.

"Mengapa? Karena pola hidup di perkotaan sama sekali berbeda dengan di desa, tak ada norma yang benar-benar cukup kuat untuk mengikat. Perilaku seseorang tak mungkin benar-benar diawasi sepenuhnya bila ia hidup di kota yang identik penduduk yang padat, sangat beragam, ketat kesibukannya," jelasnya di Depok, Minggu (12/01/2014).

Devie mencontohkan suatu kasus misalnya ada tetangga pria di sebuah rumah kost di pusat kota membawa wanita ke kamarnya.

"Apakah kita punya nyali untuk menegurnya? Saya tak bermaksud mengatakan bahwa kita keliru kalau tidak menegurnya, yang mau saya katakan, inilah kehidupan kota. Kita takut untuk mencampuri urusan orang lain, orang lain enggan untuk mencampuri urusan kita," ungkapnya.

Dunia orang yang tinggal bersebelahan kamarnya pun bisa sama sekali lain, pekerjaannya bisa berbeda jauh. "Kalau yang satu kasir, yang lain bisa jadi penipu, amat beda dengan di pedesaan," jelas penulis buku 69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan ini.

Ada ungkapan dari seorang warga daerah yang menceritakan hidupnya di Jakarta ke keluarganya di kampung, urusanmu ya urusanmu, urusanku ya urusanku. Menurut Devie hal ini menunjukan gambaran telanjang kehidupan di kota.

Kondisi ini ditambah dengan keterpaparan remaja terhadap budaya yang melazimkan praktik seks bebas.

Sebelum menyampaikan solusi, kata Devie, perlu diidentifikasi sebenarnya apa dampak hubungan seks pranikah.

"Konsekuensinyalah yang sangat berbahaya. Remaja yang mesti membina keluarga di saat mereka belum siap memiliki risiko broken home yang lebih tinggi. Belum lagi, bagaimana dengan pendidikan mereka? Ini berpotensi menciptakan the lost generation," kata dosen Vokasi UI ini.

Aborsi pun malah lebih berbahaya, berisiko bagi kesehatan bahkan keselamatan jiwa sang pelaku aborsi. Belum lagi risiko penyakit menular. Remaja punya kecenderungan melakukan hubungan seksual tanpa mengindahkan risiko-risiko.

"Sebenarnya tak boleh diremehkan ini. Solusi yang pertama perlu dilakukan pertama-tama adalah menetapkan batasan-batasan legal yang gamblang kapan hubungan seksual diperkenankan. Jangan hanya membiarkan lagi sekadar tabu atau norma masyarakat yang berperan dalam mencegah hubungan seksual pranikah," tutupnya.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5063 seconds (0.1#10.140)