Wartawan vs pelajar, perlukah hukum berbicara?

Selasa, 20 September 2011 - 13:54 WIB
Wartawan vs pelajar, perlukah hukum berbicara?
Wartawan vs pelajar, perlukah hukum berbicara?
A A A
Sindonews.com - Bentrokan wartawan versus pelajar SMA 6 Bulungan, sangat disayangkan banyak pihak. Persoalan yang bermula dari ketidaksenangan pelajar mendapatkan peliputan dari wartawan ini pun menuai banyak tanggapan dari banyak pihak tersebut.

Dari pengamat pendidikan yang menyoroti karakter pelajar, alumni SMA 6 yang mengakui adanya kisah kekerasan yang turun temurun, Kementerian Pendidikan yang akan meninjau kembali status SMA 6 sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN), hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun gatal ikut memberikan komentarnya.

Apa kata Presiden menanggapi insiden fisik ini?

"Selesaikan dengan baik, hukum ditegakkan," tegas Presiden di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (20/9/2011).

Presiden meminta, penegakan hukum perlu dilakukan untuk menyelesaikan insiden di hari Senin 19 September 2011 ini. Penegakan perlu ditegakkan agar ada proses pembelajaran yang berharga.

Senada dengan Presiden, Ketua Komisi Hukum DPR Benny K Harman meminta polisi bertindak tegas terhadap siswa SMA 6 yang berlaku anarkistis terhadap wartawan. "Siapapun yang melakukan (kekerasan) harus ditangkap. Kalau berulang-ulang itu sudah pembiaran. Tidak boleh ada pembiaran oleh kepolisian," tegas Benny di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/9/2011).

Sebelumnya, pihak Kepolisian sudah berjanji akan menindak tegas pelajar SMA 6 yang melakukan penganiayaan terhadap wartawan. "Pelaku kekerasan akan ditindak, diproses sesuai dengan hukum," kata Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo usai rapat kabinet terbatas, Senin 19 September 2011.

Di tempat berbeda, Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Imam Sugianto juga tak berbeda jauh dengan Kapolri. Dia berjanji akan melakukan penindakan. "Siapapun yang melawan hukum akan kita tindak tegas," ujarnya kepada wartawan di Mapolres Jakarta Selatan, Senin 19 September 2011.

Sementara Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) berada di sikap yang sebaliknya. Berdasarkan pernyataan yang disebar AJI ke banyak wartawan melalui pesan singkatnya, persoalan ini tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum, walaupun terdapat unsur kekerasan dan penganiayaan.

"Kami hanya meminta Kepala Sekolah dan guru yang terlibat peristiwa ini untuk mendidik murid-muridnya agar memahami pentingnya kebebasan pers dan perlindungan terhadap kegiatan jurnalistik terutama pencarian dan penggalian informasi di lapangan," kata Ketua AJI Jakarta Wahyu Dhyatmika.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memilih menyoroti Kepala Sekolah SMA 6 yang harus bertanggungjawab atas insiden wartawan versus pelajar. Menurut Ketua KPAI Maria Ulfah, bentuk pertanggungjawaban kepala sekolah yakni mengklarifikasi kasus bentrokan tersebut.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Anshor mengatakan, dalam kasus bentrok antara wartawan dengan siswa SMA 6, maka sebagai pengelola harus bertanggung jawab. "Bisa saja saling berbagi dan bertemu dengan wartawan, dan juga minta maaf," ujarnya.

Mantan politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini setuju jika ada kesalahan dalam sistem pendidikan di SMA 6 Bulungan dan keluarga para pelajar bersangkutan. "Harus ditinjau kembali terkait pembentukan karakter siswa di rumah atau di sekolah," ujarnya.

Salah satu yang harus diusahakan sekolah agar kekerasan yang dilakukan siswa tidak menjadi kebiasaan adalah meningkatkan bimbingan konseling melalui guru Bimbingan Konseling (BK). Menurutnya, bimbingan dari guru BK tidak hanya dilakukan ketika siswa ada masalah, tapi juga ketika siswa belum memunyai masalah.

"Jadi guru BK harus proaktif konseling justru ketika anak lagi belum ada masalah karena itu bisa memotivasi potensi anak. Daripada atasi anak ketika anak sudah punya masalah," tutup Maria.

Bentrokan antara wartawan dan pelajar SMA 6 kemarin, bermula dari demo damai para wartawan yang memprotes kekerasan para pelajar terhadap jurnalis Trans7 yang sedang melakukan peliputan satu hari sebelumnya. Namun ketika para pelajar keluar gerbang, usai mengikuti ujian, terjadi saling ejek antara wartawan dengan para pelajar.

Emosi pelajar kembali tersulut saat para juru kamera televisi, dan fotografer mendokumentasikan mereka. Akibatnya, terjadi baku pukul antara pelajar dengan para wartawan yang berjumlah belasan ini. Insiden ini membuat tiga jurnalis mendapatkan luka parah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara juga dikabarkan tujuh pelajar mendapatkan luka-luka.

Banyak pihak mengakui jika karakter pelajar suka tawuran telah melekat dengan SMA 6 sejak puluhan tahun lalu. Salah seorang alumninya Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mengakui hal tersebut.

Mahfudz pun pernah dipaksa seniornya untuk berkelahi dengan siswa sekolah lain saat masuk ke SMAN 6 tahun 1981. "Tawuran di situ bagian dari tradisi yang terus ditradisikan. Dulu semester pertama saya sudah dikondisikan tawuran dengan SMAN 70, itu chauvinisme, faktor solidaritas," kata Mahfudz bercerita kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta.

Menurut Mahfudz, "ospek" terhadap siswa baru memang dilakukan dengan cara melibatkan para junior menguji nyali dengan berkelahi. Kebanyakan siswa baru yang masih polos pun, kata Mahfudz terpaksa harus mengikuti perintah para senior termasuk alumnus yang kerap berkunjung ke sekolah.

Jadi, masih perlukah hukum berbicara dalam menangani bentrokan wartawan versus pelajar SMU 6 Bulungan?

Editor: Hariyanto Kurniawan
Laporan: K Yudha Wirakusua & Ferdinan (okezone), Kholil Rokhman (Koran SI)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4733 seconds (0.1#10.140)