Pengusaha Industri Rokok Siapkan Upaya Non-litigasi soal Perda KTR Bogor

Kamis, 12 Maret 2020 - 14:52 WIB
Pengusaha Industri Rokok Siapkan Upaya Non-litigasi soal Perda KTR Bogor
Pengusaha Industri Rokok Siapkan Upaya Non-litigasi soal Perda KTR Bogor
A A A
BOGOR - Setelah gugatan pedagang tradisional atau judisial review terhadap tentang Peraturan Daerah (Perda) No 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ditolak Mahkamah Agung (MA) pertengahan Februari lalu. Sejumlah elemen khususnya dari kalangan serikat pekerja serta industri rokok kembali berupaya mementahkannya.

Pasalnya, Perda KTR di Kota Bogor salah satu bentuk regulasi yang cukup ekesesif (melampaui kebiasaan atau ketentuan). Maka dari itu, kalangan pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja (FSP) Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (RTMM)-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) bersama sejumlah mitra industri rokok diantaranya Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) akan tetap mencari solusi terbaik.

"Kita berkumpul disini bersama mitra industri rokok, serikat mewakili pekerjanya, untuk mencari solusi yang terbaik, tapi realitasnya kalau kita ngomong Perda KTR, khususnya di Kota Bogor sudah sangat eksesif. Jadi kelihatannya, kalau memang litigasi (judicial review) sudah tak digubris, ya nonlitigasi akan kita tempuh," ungkap Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto A.S dalam diskusi Ngopi dan Ngebul Bareng Tim Advokasi Industri Hasil Tembakau (IHT) di Bogor, Kamis (12/03/2020).

Dalam diskusi yang fokus mengangkat tema menyikapi kebijakan dan regulasi pemerintah tentang cukai yang berdampak pada Industri dan Pekerja RTMM itu, menurutnya sangat penting diketahui karena sudah banyak dampak negatif dari kebijakan atau regulasi pemerintah. (Baca: Polemik Perda KTR, Pemkot Bogor Dinilai Hanya Kejar Target)

"Tapi kita juga berpikir pada industri lain, makanan minuman juga. Kita sudah dengar tadi tentang keresahan para pelaku usaha dan pekerja tentang kenaikan cukai. Jujur kita tak antiregulasi, regulasi apapun, tapi dengan catatan pastikan pemerintah bertanggungjawab dan siap jangan membuat industri menjadi berhadapan dengan ketidakpastian dan stabilitas terganggu," katanya.

Dia mengaku sudah disampaikan berulangkali bahwa negara tidak bertanggung jawab dalam membuat regulasi dalam hal ini tidak menyiapkan solusinya. "Kalau ngomong tentang aturan dan kebijakan harus disiapkan sudah di analisis A sampai Z dampak dan seterusnya. Yang kita lihat tidak ada tanggung jawabnya. Contoh yang rokok ini paling fatal, buktinya dari 7.000 turun jadi 700 pabrik mungkin sudah enggak ada yang jalan. Saya yakin 2020 ini, enggak ada yang jalan. Itu contoh atau fakta yang sangat fatal dalam kurun waktu enam tahun," ungkapnya.

Begitupula dengan kebijakan menyangkut minuman, lanjut dia, jika aturan pengendalian konsumsi gula dikeluarkan dengan dan tanpa tanggung jawab, maka akan habis. "Mohon maaf pekerja itu juga rakyat Indonesia yang jadi tanggungjawab pemerintah juga. Kita sedang menyatukan antara industri dengan pekerja, sudah memperingatkan pemerintah bahwa jumlah pekerja yang tergabung dalam FSP RTMM ini, jumlahnya 61.000 lebih, belum pabrik rokok yang tak memiliki serikat pekerja," katanya.

Jadi sekali lagi, lanjut dia, sikap FSP RTMM-SPSI akan tegas kepada pemerintah dengan tetap mengedepankan persuasif. "Tapi jangan salahkan kita kalau ada sesuatu diluar kendali FSP RTMM. Sebab sudah banyak sekali dampak negatif kalau kita ungkap semuanya. Baik dari kesiapan dan tanggung jawab pemerintah, belum lagi prilaku birokrasi, yang kadangkala regulasi dijadikan alat bargaining. Kami akan berperan secara maksimal, kami bekerjasama dengan asosiasi," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama Sekjen GAPPRI, Willem Petrus Riwu mengaku pihaknya menepis jika para pelaku industri rokok seluruhnya itu kaya raya.
"Coba silakan sebut tujuh saja yang kayak itu siapa, paling sanggup sebut hanya empat. Untuk menyebut 700 pasti sudah tak sanggup lagi, jadi kadang itu statemen hanya bikin gaduh saja," katanya.

Dia menuturkan, berbagai dampak telah dirasakan akibat adanya regulasi yang dikeluarkan pemerintah secara sepihak. Menurutnya sejak Januari ini sudah turun 37% cukainya."Siap-siap saja kedepannya, jadi yang namanya tarif cukai dinaikan itu pendapatan negara akan jatuh. Sebab cukai tinggi, pemerintah tidak akan mencapai target penerimaan pendapatannya. Memang itu nanti, tapi Januari saja sudah kelihatan," tuturnya

Bahkan pihaknya juga mempertanyakan ada apa dibalik rencana revisi PP 109 itu ada agenda apa, siapa agennya. Pihaknya sudah mengetahui datanya apa. Maka dari itu, pihaknya tetap meminta pemerintah untuk membatalkan sejumlah regulasi yang merugikan, diantaranya rencana revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Berbagai upaya sudah dilakukan diantaranya dengan cara berkomunikasi secara intensif. Bahkan kita sudah melayangkan surat dan sudah masuk. Kita bilang lebih kepada banyak kegiatan komunikasi dalam merumuskan kebijakan, meskipun pemerintah dilarang berkomunikasi dengan industri," katanya.

Maka dari itu pihaknya mendukung FSP RTMM-SPSI agar terus berupaya memberikan masukan kepada pemerintah dalam merumuskan sebuah kebijakan menyangkut industri hasil tembakau. "Tapi gimana itu sudah Perpres dan masuk dalam RPJM. Maka dari itu pihaknya meminta untuk berhenti dulu lah (revisi), itukan sudah tak benar, kaji lagi dengan analisis terkait untung ruginya, lalu tujuan, masalah dan solusi apa. Itu harus clear dulu, agar kita damai (tak gaduh)," ungkapnya.

Sekadar diketahui Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan gugatan hak uji materi (judicial review) terhadap Perda Nomor 10 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dilayangkan kelompok pedagang tradisional. Dalam gugatan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mengatasnamakan pedagang rokok itu, MA telah menerbitkan amar putusan tolak permohonan di di laman https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/ pada 17 Februari 2020.

Menanggapi hal itu, Wali Kota Bogor Bima Arya menilai, ditolaknya gugatan uji materi yang dilayangkan pada 5 Desember 2019 lalu dan tercatat dengan Nomor Perkara 4P/HUM/2020 merupakan hal yang positif dan dimaknai sebagai upaya pengendalian tembakau dan gerakan hidup sehat yang sudah sesuai dengan konstitusi serta aturan yang ada.

"Ini juga berkat dukungan yang masif dari berbagai pihak dalam proses gugatan ini. Hal ini juga membuat kami lebih bersemangat Kota Bogor akan terus bergerak menuju kota yang ramah keluarga dan layak bagi anak," ujar Bima.

Dukungan yang dimaksud Bima datang dari Non Government Organization (NGO), aktivis anti-rokok, konsultan hukum dan daerah lain yang memiliki Perda KTR. "Artinya, banyak pihak yang juga mendukung penegakan Perda KTR di Kota Bogor ini, banyak pihak yang sudah mulai peduli tentang gerakan hidup sehat dan banyak pihak yang prihatin dengan angka perokok pemula yang menurut survei yada di usia 12,8 tahun," ucapnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6301 seconds (0.1#10.140)