Enggan Dituding Penyebab Banjir Jakarta, Bupati Ajak Rawat 96 Setu di Bogor
A
A
A
BOGOR - Sering dituding jadi biang penyebab banjir di kawasan hilir (Jakarta), Bupati Bogor Ade Yasin berjanji merawat 96 setu di Kabupaten Bogor. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemulihan daerah tangkapan air.
"Setu Taman Sari ini merupakan satu dari 96 situ yang ada di Kabupaten Bogor, bayangkan kalau seluruhnya kita rawat semua. Insya Allah meminimalisir banjir. Bahkan banjir bisa kita kendalikan," kata Ade di hadapan ribuan warganya dalam kegiatan Bebersih Setu Aksi Cegah Banjir, di Desa/Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jumat (6/3/2020).
Ade mengaku bersama warga tak terima daerahnya sering disebut penyebab banjir. Sebab, lanjut dia, kalau seluruh pihak khususnya DKI Jakarta mau instrospeksi ada tiga alasan bisa banjir.
"Rido teu disalahkan (Mau enggak disalahkan)? Embungnya (enggak mau kan)? Selain tak mau disalahkan dan menyalahkan seharusnya pemerintah pusat kita ada kontribusi juga dalam mencegah banjir baik di Jakarta maupun di Bogor. Kenapa bisa banjir, karena permasalahan banjir di Bogor itu ada tiga, yaitu banjir air, banjir sampah dan banjir penduduk," ujarnya.
Penting diketahui tiga banjir tersebut berikut penyebabnya. Pertama, banjir air itu lebih disebabkan kurangnya perawatan situ-situ yang ada di Bogor ini."Sebab sebagian besar setu-setu, sebagai hulunya sungai banyak yang dangkal. Seperti setu Tamansari ini adalah hulu atau titik nolnya Sungai Ciapus yang mengalir ke Cisadane. Kalau airnya mampet, setunya meluap kemudian drainase buruk akhirnya banjir. Jadi kita ini harus mau merawatnya tak hanya di hilir saja, tapi dari hulu ke hilir," katanya.
Kemudian yang kedua, yaitu banjir manusia. Di Kabupaten Bogor ini sebagai daerah penyangga Ibu Kota kerap dijadikan sebagai daerah 'pelarian' bagi warga Jakarta yang permukimannya digusur."Ketika ada penggusuran di Jakarta, satu lokasi pemukiman digusur dijadikan taman, kemudian orang Jakarta itu pindahnya ke Bogor. Ini tak bisa dipungkiri, masa kita melarang," ujarnya.
Yang ketiga adalah banjir sampah, menurutnya dengan jumlah penduduk hampir 6 juta jiwa, maka volume sampah juga meningkat dan sulit dikendalikan. "Bayangkan jika satu orang menghasilkan sampah satu ons dikalikan jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang berjumlah hampir 6 juta jiwa. Berapa ribu ton sehari coba? Perlu diketahui saat ini sampah di Kabupaten Bogor tiap harinya menghasilkan 2.800 ton. Bayangkan juga kalau 6 juta penduduk membeli dan membuang sampah permen satu buah. Sehingga membutuhkan berapa truk untuk mengangkutnya," ujarnya.
Maka dari itu, kata dia, banjir sampah ini penting dan harus mendapat perhatian bersama dalam mengendalikannya. Tak hanya itu, pihaknya juga membutuhkan penanganan yang integral tiga alasan banjir ini.
"Ini harus terintegrasi tak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, makanya ketika hari ini bebersih situ mengangkut sampah kemudian sampahnya dikemanakan? Kalau ditumpuk kemudian terjadi hujan sampah terbawa air ke sungai, akan banjir lagi. Kalau seperti itu hanya memindahkan sampah, ini harus ada solusi," tegasnya.
Dia mengaku sering melontarkan kata pedas sebagai bentuk tak terima disebut wilayahnya sebagai penyebab banjir ketika rapat bersama Gubernur DKI, Kementerian dan Presiden. "Saya suka marah dan bilang bahwa banyaknya bangunan liar atau vila-vila di Puncak itu punya siapa, baik yang berizin maupun tak berizin, coba di Tamansari, Pamijahan ini juga banyak vila punya siapa?," tanyanya dan dijawab Jakarta oleh warganya.
Bahkan, dia menyindir warga Jakarta yang sudah membangun vila dan tinggal di Bogor membuang air kecil maupun besar ditambah sampahnya juga sebagai hal wajar jika hilir kena dampaknya. "Hampuranya cicingna, daharna, ki'ih na, mandina didieu, pas musim hujan dikirim deui kaditu impas mereun jadi Bogor teu salah (mohon maaf ya tinggalnya, makannya, buang airnya disini jadi ketika musim hujan dikirim lagi kesana/Jakarta seimbangkan, jadi enggak salah Bogor)," selorohnya.
Meski demikian, pihaknya enggan mempersoalkan itu, yang jelas harus ada upaya yang terintegrasi dalam menanggulangi bencana banjir ini dari hulu hingga hilir. "Jadi intinya kita semua harus bersama-sama menanggulangi banjir di ibu kota. Tahun ini sedikitnya di Bogor disuruh bikin waduk, meski dananya dari pusat, tapi kita merelakan sebagian tanahnya untuk pembangunan waduk," ujarnya.
Waduk itu yakni Sukamahi, Ciawi, Cibeet, Cijurey dan Narogong, itu semua membutuhkan lahan puluhan hektar. Pihaknya mengaku sudah dan sedang melakukan pembebasan tanahnya. "Di BNPB saat rapat saya keluarkan unek-unek. Saya bilang kenapa sih Bogor selalu diminta menanggulangi banjir ke hilir. Sementara ketika hilir diminta kontribusi apa saja yang siap dan sudah diberikan, itu tidak ada sama sekali. Kalau ada apa coba, tidak ada kan?," ungkapnya.
Maka dari itu, Ade menyampaikan jika memang Bogor diminta menangani banjir, hulu juga diperhatikan dengan serius. Sebab, banyak persoalan yang dihadapi di hulu juga terkait penanganan banjir di hilir ini. "Seperti warga yang menjual rumah, tanah dan sawahnya untuk pembangunan waduk juga harus diperhatikan, karena ini menimbulkan masalah sosial baru," ucapnya.
"Setu Taman Sari ini merupakan satu dari 96 situ yang ada di Kabupaten Bogor, bayangkan kalau seluruhnya kita rawat semua. Insya Allah meminimalisir banjir. Bahkan banjir bisa kita kendalikan," kata Ade di hadapan ribuan warganya dalam kegiatan Bebersih Setu Aksi Cegah Banjir, di Desa/Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jumat (6/3/2020).
Ade mengaku bersama warga tak terima daerahnya sering disebut penyebab banjir. Sebab, lanjut dia, kalau seluruh pihak khususnya DKI Jakarta mau instrospeksi ada tiga alasan bisa banjir.
"Rido teu disalahkan (Mau enggak disalahkan)? Embungnya (enggak mau kan)? Selain tak mau disalahkan dan menyalahkan seharusnya pemerintah pusat kita ada kontribusi juga dalam mencegah banjir baik di Jakarta maupun di Bogor. Kenapa bisa banjir, karena permasalahan banjir di Bogor itu ada tiga, yaitu banjir air, banjir sampah dan banjir penduduk," ujarnya.
Penting diketahui tiga banjir tersebut berikut penyebabnya. Pertama, banjir air itu lebih disebabkan kurangnya perawatan situ-situ yang ada di Bogor ini."Sebab sebagian besar setu-setu, sebagai hulunya sungai banyak yang dangkal. Seperti setu Tamansari ini adalah hulu atau titik nolnya Sungai Ciapus yang mengalir ke Cisadane. Kalau airnya mampet, setunya meluap kemudian drainase buruk akhirnya banjir. Jadi kita ini harus mau merawatnya tak hanya di hilir saja, tapi dari hulu ke hilir," katanya.
Kemudian yang kedua, yaitu banjir manusia. Di Kabupaten Bogor ini sebagai daerah penyangga Ibu Kota kerap dijadikan sebagai daerah 'pelarian' bagi warga Jakarta yang permukimannya digusur."Ketika ada penggusuran di Jakarta, satu lokasi pemukiman digusur dijadikan taman, kemudian orang Jakarta itu pindahnya ke Bogor. Ini tak bisa dipungkiri, masa kita melarang," ujarnya.
Yang ketiga adalah banjir sampah, menurutnya dengan jumlah penduduk hampir 6 juta jiwa, maka volume sampah juga meningkat dan sulit dikendalikan. "Bayangkan jika satu orang menghasilkan sampah satu ons dikalikan jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang berjumlah hampir 6 juta jiwa. Berapa ribu ton sehari coba? Perlu diketahui saat ini sampah di Kabupaten Bogor tiap harinya menghasilkan 2.800 ton. Bayangkan juga kalau 6 juta penduduk membeli dan membuang sampah permen satu buah. Sehingga membutuhkan berapa truk untuk mengangkutnya," ujarnya.
Maka dari itu, kata dia, banjir sampah ini penting dan harus mendapat perhatian bersama dalam mengendalikannya. Tak hanya itu, pihaknya juga membutuhkan penanganan yang integral tiga alasan banjir ini.
"Ini harus terintegrasi tak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, makanya ketika hari ini bebersih situ mengangkut sampah kemudian sampahnya dikemanakan? Kalau ditumpuk kemudian terjadi hujan sampah terbawa air ke sungai, akan banjir lagi. Kalau seperti itu hanya memindahkan sampah, ini harus ada solusi," tegasnya.
Dia mengaku sering melontarkan kata pedas sebagai bentuk tak terima disebut wilayahnya sebagai penyebab banjir ketika rapat bersama Gubernur DKI, Kementerian dan Presiden. "Saya suka marah dan bilang bahwa banyaknya bangunan liar atau vila-vila di Puncak itu punya siapa, baik yang berizin maupun tak berizin, coba di Tamansari, Pamijahan ini juga banyak vila punya siapa?," tanyanya dan dijawab Jakarta oleh warganya.
Bahkan, dia menyindir warga Jakarta yang sudah membangun vila dan tinggal di Bogor membuang air kecil maupun besar ditambah sampahnya juga sebagai hal wajar jika hilir kena dampaknya. "Hampuranya cicingna, daharna, ki'ih na, mandina didieu, pas musim hujan dikirim deui kaditu impas mereun jadi Bogor teu salah (mohon maaf ya tinggalnya, makannya, buang airnya disini jadi ketika musim hujan dikirim lagi kesana/Jakarta seimbangkan, jadi enggak salah Bogor)," selorohnya.
Meski demikian, pihaknya enggan mempersoalkan itu, yang jelas harus ada upaya yang terintegrasi dalam menanggulangi bencana banjir ini dari hulu hingga hilir. "Jadi intinya kita semua harus bersama-sama menanggulangi banjir di ibu kota. Tahun ini sedikitnya di Bogor disuruh bikin waduk, meski dananya dari pusat, tapi kita merelakan sebagian tanahnya untuk pembangunan waduk," ujarnya.
Waduk itu yakni Sukamahi, Ciawi, Cibeet, Cijurey dan Narogong, itu semua membutuhkan lahan puluhan hektar. Pihaknya mengaku sudah dan sedang melakukan pembebasan tanahnya. "Di BNPB saat rapat saya keluarkan unek-unek. Saya bilang kenapa sih Bogor selalu diminta menanggulangi banjir ke hilir. Sementara ketika hilir diminta kontribusi apa saja yang siap dan sudah diberikan, itu tidak ada sama sekali. Kalau ada apa coba, tidak ada kan?," ungkapnya.
Maka dari itu, Ade menyampaikan jika memang Bogor diminta menangani banjir, hulu juga diperhatikan dengan serius. Sebab, banyak persoalan yang dihadapi di hulu juga terkait penanganan banjir di hilir ini. "Seperti warga yang menjual rumah, tanah dan sawahnya untuk pembangunan waduk juga harus diperhatikan, karena ini menimbulkan masalah sosial baru," ucapnya.
(whb)