Benarkah RUU Omnibus Law Diperlukan untuk Mereformasi Birokrasi?
A
A
A
JAKARTA - Diskusi seri dua RUU Omnibus Law digelar HIMPUNI (Perhimpunan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia), empat pembicara hadir dalam diskusi tersebut.
Mereka adalah Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng, S.I.P., M.A.P.; Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum.; Staf Khusus Menteri Perhubungan Republik Indonesia Prof. Wihana Kirana Jaya; dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, S.Hut., M.E.
Bertempat di Kampus UGM SP, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, mereka memaparkan gagasannya untuk tema Penyederhanaan Perizinan Berusaha,Persyaratan Investasi, Kemudahan Berusaha.
Pada kesempatan pertama, Robert Na Endi Jaweng menjelaskan desain institusi negara saat ini belum terlalu mendukung perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, kemudahan perizinan untuk melakukan investasi.
Padahal, kata Endi, pemerintah telah menggagas OSS (Online Single Submission) sejak 2018 guna menyederhanakan proses perizinan. Hanya saja, sistem OSS pelaksanaannya cukup sulit karena hanya satu daerah saja yang mampu, yaitu Kabupaten Sidoarjo.
“Sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan investor. Sebab, negara ini menarik bagi investor untuk datang. Namun, ada kendala antara investor yang telah mengurus perizinan berinvestasi dengan realisasinya,” terang Edi lulusan Departemen Politik Pemerintahan FISIPOL UGM ini.
Penuturan Endi diperkuat dengan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sepanjang tahun lalu. Dari 190 kasus investasi yang mengalami hambatan, 32,6 persen di antaranya terkendala karena perizinan.
Karena itu, RUU Omnibus Law hadir untuk merombak pendekatan dalam pemberian izin. Walau begitu, Prof. Wihana Kirana Jaya menegaskan bahwa investasi bukan sekadar fungsi dari regulasi.
Sebab, Omnibus Law hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi yang hendak dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh kabinet Indonesia Maju.
Wihana berharap, RUU Omnibus Law mampu menjadi pengatur bagi Pemerintah, pasar, dan pengusaha. Hal itu agar tumpang tindih peraturan tidak terjadi, selain juga mengurangi biaya transaksi ekonomi.
Di tengah diskusi, moderator Prof. Ahmad Erani Yustika, memberikan intermeso soal banyaknya klausul perizinan yang mesti dipenuhi sebelum seorang investor memutuskan berinvestasi. Contohnya di sektor listrik, seorang investor mesti mengurus 250 perizinan.
“Di tengah pengurusan perizinan itu, banyak calon investor yang pingsan karena panjangnya aturan,” kata Erani.
Mereka adalah Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng, S.I.P., M.A.P.; Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum.; Staf Khusus Menteri Perhubungan Republik Indonesia Prof. Wihana Kirana Jaya; dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, S.Hut., M.E.
Bertempat di Kampus UGM SP, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, mereka memaparkan gagasannya untuk tema Penyederhanaan Perizinan Berusaha,Persyaratan Investasi, Kemudahan Berusaha.
Pada kesempatan pertama, Robert Na Endi Jaweng menjelaskan desain institusi negara saat ini belum terlalu mendukung perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, kemudahan perizinan untuk melakukan investasi.
Padahal, kata Endi, pemerintah telah menggagas OSS (Online Single Submission) sejak 2018 guna menyederhanakan proses perizinan. Hanya saja, sistem OSS pelaksanaannya cukup sulit karena hanya satu daerah saja yang mampu, yaitu Kabupaten Sidoarjo.
“Sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan investor. Sebab, negara ini menarik bagi investor untuk datang. Namun, ada kendala antara investor yang telah mengurus perizinan berinvestasi dengan realisasinya,” terang Edi lulusan Departemen Politik Pemerintahan FISIPOL UGM ini.
Penuturan Endi diperkuat dengan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sepanjang tahun lalu. Dari 190 kasus investasi yang mengalami hambatan, 32,6 persen di antaranya terkendala karena perizinan.
Karena itu, RUU Omnibus Law hadir untuk merombak pendekatan dalam pemberian izin. Walau begitu, Prof. Wihana Kirana Jaya menegaskan bahwa investasi bukan sekadar fungsi dari regulasi.
Sebab, Omnibus Law hanya bagian kecil dari reformasi birokrasi yang hendak dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan seluruh kabinet Indonesia Maju.
Wihana berharap, RUU Omnibus Law mampu menjadi pengatur bagi Pemerintah, pasar, dan pengusaha. Hal itu agar tumpang tindih peraturan tidak terjadi, selain juga mengurangi biaya transaksi ekonomi.
Di tengah diskusi, moderator Prof. Ahmad Erani Yustika, memberikan intermeso soal banyaknya klausul perizinan yang mesti dipenuhi sebelum seorang investor memutuskan berinvestasi. Contohnya di sektor listrik, seorang investor mesti mengurus 250 perizinan.
“Di tengah pengurusan perizinan itu, banyak calon investor yang pingsan karena panjangnya aturan,” kata Erani.
(zil)