Pembunuhan Dalam Keluarga, Mengapa Terjadi?

Senin, 03 Februari 2020 - 09:06 WIB
Pembunuhan Dalam Keluarga, Mengapa Terjadi?
Pembunuhan Dalam Keluarga, Mengapa Terjadi?
A A A
JAKARTA - Sejak dua bulan terakhir ini kita disuguhi berita-berita yang menyesakkan dada. Berita yang dimaksud adalah tentang anak membunuh orang tua. Lokasinya beragam di seluruh Indonesia.

Ada anak (yang sebenarnya sudah masuk kategori dewasa) membunuh ibu kandung karena tidak senang ditegur. Ada pula anak menikam ibunya yang sudah renta karena tidak diberi uang. Begitu juga ada anak yang berduel dengan bapak kandung dan tentu saja sang bapak akhirnya menyerah di tangan darah dagingnya sendiri.

Mengapa berita-berita itu menyesakkan dada, karena hampir tidak bisa dibayangkan terjadi di mukabumi, khususnya masyarakat Indonesia. Membunuh orang tua, kandung pula, bukankah itu suatu kejahatan yang tak terbayangkan beratnya. Apa pun alasannya, sungguh tiada pemaaf yang setara jika pelakunya adalah anak sendiri.

Mengingat hal itu sudah menjadi fakta dan bahkan terhitung sering terjadi, maka mau tak mau kita harus membahasnya. Khususnya Bidang Studi Kriminologi juga perlu membahas hal yang muskil secara logika tersebut sebagai suatu fakta sosial. Apa sebenarnya penyebab umumnya? Apa pencetus umumnya? Bagaimana mengatasinya?

Pertama secara teori, pembunuhan oleh anggota keluarga ini dapat dimasukkan dalam tipologi intimate murder atau pembunuhan oleh dan terhadap orang yang intim, yakni anggota keluarga. Fenomena serupa juga disebut family homicide jika pembunuhan berlangsung tanpa perencanaan dan lebih karena suatu perkelahian atau duel yang bersifat spontan.

Walau tidak bisa digeneralisasi kan atau pun diambil suatu kesimpulan, terlihat bahwa kasus-kasus kejahatan pembunuhan dalam keluarga itu terjadi pada keluarga miskin atau kurang mampu. Karena anak walau telah berusia dewasa, namun tidak bekerja alias pengangguran atau minimal bekerja hanya serabutan. Bisa diduga pula bahwa pendidikan formal anak selaku pelaku pembunuhan tidaklah tinggi.

Jika fakta-fakta itu merepresentasikan yang lebih besar, kombinasi antara pendidikan rendah serta sosial ekonomi yang juga rendah bisa dianggap sebagai baseline atau batas bawah terkait kekerasan dalam keluarga tersebut. Pendidikan yang rendah dan kemiskinan menjadikan orang tua terlihat lemah di mata anak. Orang tua yang kebetulan dalam kasus-kasus pembunuhan di atas juga sudah berusia tua, dilihat sebagai objek yang mudah untuk diagresi.

Namun, kelihatannya tidak hanya itu. Sebab, jika hanya itu, bisa tak terbayangkan prevalensi dari fenomena mengerikan ini, mengingat masih besar sekali elemen masyarakat Indonesia dengan profil demikian. Kita selanjutnya bisa melihat faktor pencetus dari pembunuhan tersebut sebagai berikut.

Semua pembunuhan yang dilakukan anak dalam keadaan emosi bisa juga dikatakan kalap, dengan senjata tajam yang di miliki atau terdapat dalam rumah keluarga itu sendiri. Pelaku membunuh dengan modus amat sederhana, dan pada akhirnya, tidak atau tidak bisa melarikan diri jauh sehingga dengan mudah ditangkap dan diminta pertanggungjawaban pidananya.

Selain pencetus, yakni emosi tak terkendali, pencetus lain yang hampir selalu ada adalah keterdesakan ekonomi. Keterdesakan di sini tidak harus berarti situasi butuh uang yang luar biasa, namun sepenuhnya dikaitkan dengan persepsi pelaku itu sendiri perihal seberapa mendesak pemenuhan dari hal tertentu yang dianggapnya penting.

Dari kasus yang baru-baru saja terjadi, sang anak meminta uang untuk berjudi dan membeli minuman keras. Di satu pihak terdesak, dipihak lain orang tua tidak mau atau tidak mampu memberi uang. Maka itu, marah pun memuncak dan agresi lalu mendesak untuk disalurkan kepada objek yang kembali pada penjelasan di atas, dipersepsi sebagai lemah.

Pencetus terakhir adalah pengaruh obat atau alkohol. Secara umum, obat atau alkohol memang menurunkan kesadaran. Pada tingkat tertentu, bukan hanya kesadaran yang terganggu, tetapi juga kendali atas perilaku-perilaku yang tidak senonoh, ekstrem, atau membahayakan diri sendiri. Hal-hal yang tak mungkin dilakukan pada kondisi sadar menjadi mungkin pada kondisi tidak sadar.

Secara viktimologis, hal yang penting diperhatikan terkait pembunuhan dalam keluarga adalah siapa sebenarnya yang menderita dalam hal ini? Apakah anak sebagai pelaku akan puas dan bahagia melihat orang tuanya roboh di tangannya sendiri? Atau justru pada dasarnya pelaku adalah juga korban atas tindakannya sendiri. Dia melakukan tetapi dia juga yang menjadi korban.

Konsepsi victimless crimes atau kejahatan tanpa korban kemudian secara terbatas bisa dikenakan pada kasus-kasus semacam ini. Pelakunya sendiri korbannya, selain korban orang tua itu sendiri tentunya, mengingat bisa dipastikandirinya akan tidak tenang, di -kejar-kejar oleh rasa bersalahtelah mem bunuh orang tuasendiri.

Bisa diramalkan, tidak semuapelaku dapat mampu keluardari tekanan mental ini. Bagiyang tidak kuat, diperkirakanpula situasinya akan mem buruk,karena stres yang dialami akanmenjadi depresi dan selanjutnyabisa mengarah pada psikotisme.Kegilaan, dengan demikian, bukan sesuatu yang mustahil terjadi pada pelaku pembunuhan dalam keluarga.

Secara umum, para sosiolog mengatakan situasi keluarga belah atau pecah (torn-apartfamily) dewasa ini menghantui banyak keluarga. Mengapa bisa terpecah, tak lain karena faktor-faktor eksternal keluarga yang semakin kuat menarik pilar-pilar keutuhan keluarga itu sendiri. Tarikan kebutuhan ekonomi, gaya hidup, kebutuhan seksual, hingga pemenuhan kegemaran sesaat, dewasa ini amat kuat menggoyang keutuhan keluarga.

Di pihak lain, keluarga bukan lagi menjadi acuan utama (primaryreferral) bagi banyak orang. Anak muda yang mengalami kelelahan emosional (karena kalah secara sosial), apalagi yang telah kalah secara struktural (sehingga harus hidup miskin), tidak menjadikan rumah dan orang tuanya sebagai tempat berlabuh. Teman permainan, teman minum, teman judi, dan sebagainya, kemungkinan menjadi alternatif lebih menarik. Seiring dengan itu, orang tua (demikian pula adik atau kakak) dianggap sebagai penghalang kemauannya.

Jika anggapan itu yang timbul, maka kemauan mengagresi mulai dari agresi verbal hingga fisik, tinggal menunggu waktu dan giliran.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6773 seconds (0.1#10.140)