Menkumham Didemo Warga, Apa Benar Tanjung Priok Wilayah Kriminal?

Senin, 27 Januari 2020 - 09:28 WIB
Menkumham Didemo Warga, Apa Benar Tanjung Priok Wilayah Kriminal?
Menkumham Didemo Warga, Apa Benar Tanjung Priok Wilayah Kriminal?
A A A
JAKARTA - Iqrak SulhinKriminolog Departemen Kriminologi Fisip Universitas IndonesiaMINGGU lalu, Menteri Hukum dan HAM membuat pernyataan yang mengudang demonstrasi warga. Dalam sebuah acara, Yasonna Laoly berbicara tentang hubungan kejahatan dengan daerah kumuh di kawasan Tanjung Priok. Beliau akhirnya meminta maaf atas pernyataan tersebut. Namun, apakah pernyataan Yasonna itu salah?

Bila melihat statistik Polda Metro Jaya, dari pemberantasan premanisme di tahun 2019, tercatat jumlah kasus yang ditetapkan menjadi tersangka tertinggi ada di wilayah Resort Jakarta Utara (30 tersangka) kemudian wilayah Resort Jakarta Barat (26 tersangka). Pada tahun 2018, untuk kasus yang sama, jumlah yang ditahan terbanyak di wilayah Resort Jakarta Utara (55 orang), diikuti Resort Jakarta Selatan (52 orang). Oleh karena masuk dalam wilayah utara Jakarta, data Resort Pelabuhan Tanjung Priok perlu pula diperhatikan. Di tahun 2019, tersangka premanisme berjumlah 7 orang. Sedangkan di tahun 2018 jumlah tersangka adalah sebanyak 33 orang. (Baca juga: Diserbu Warga, Menteri Yassona Minta Maaf Soal Tanung Priok Kriminal)

Sedangkan berdasarkan Operasi Ketupat Jaya saat Ramadhan dan Idul Fitri 2019 lalu, kejahatan dan gangguan keamanan ketertibantertinggi ada di Jakarta Pusat 45 kasus (naik 50% dari tahun 2018) diikuti Jakarta Utara 36 kasus (naik 71% dari tahun 2018).

Data tersebut tentu dapat diragukan validitasnya, karena hanya didasarkan atas operasi pemolisian. Jumlah peristiwa sesungguhnya bisa jadi lebih banyak dari yang berhasil di data. Namun demikian, satu hal yang dapat disimpulkan adalah, benar bahwa peristiwa premanisme dan gangguan keamanan ketertiban tertinggi terjadi di wilayah Jakarta Utara.

Wilayah Kota dan Kejahatan
Berbagai studi tentang kejahatan di perkotaan memang diawali oleh analisis terhadap faktor kewilayahan dan demografis, khususnya kemiskinan. Studi-studi ini berkembang sejak akhir tahun 1920-an di Amerika Serikat, dalam konteks perkembangan awal kota-kota besar di negara tersebut. Salah satu studi yang paling dikenal dalam kriminologi adalah Concentric Zone Theory yang diperkenalkan oleh Ernest Burgess tahun 1925 berdasarkan amatannya terhadap kota Chicago.

Di dalam teorinya, Burgess menjelaskan bahwa kejahatan adalah peristiwa yang banyak ditemukan di wilayah yang dekat dengan apa yang disebutnya sebagai ‘loop’. Loop adalah pusat awal kota dan tempat bagi industri berat pada awalnya, dan merupakan sebuah daya tarik bagi migrasi. Oleh karena terciptanya kebutuhan tempat tinggal yang murah, berkembanglah zona transisi yang persis berbatasan langsung dengan ‘loop’. Disebut transisi karena berada di antara pusat kegiatan dengan permukiman kelas menengah dan atas.

Heterogennya penduduk di zona transisi, mengakibatkan terjadinya disorganisasi sosial, di mana standar nilai perilaku menjadi kabur, instrumen pengendalian sosial relatif tidak berfungsi, hingga terjadi konflik. Status sebagai tempat permukiman kelas bawah, di mana sumber daya ekonomi menjadi sesuatu yang sangat penting namun sangat terbatas, pilihan-pilihan melakukan cara-cara ilegal kemudian muncul.Sosiolog Robert K Merton menyebutnya sebagai inovasi, di mana kejahatan adalah tipe adaptasi individual dalam mencapai tujuan ekonominya. Walter Miller, menambahkan, di dalam area ini terpelihara apa yang disebutnya sebagai lower class culture, sesuatu yang kriminogenik.
Kritik Teoritik
Dalam perkembangannya, teori-teori tentang kejahatan di perkotaan tersebut masih banyak digunakan hingga saat ini. Namun bukan tanpa kritik, baik langsung maupun tidak. Teori-teori tersebut seperti memberikan stigma bahwa komunitas kelas bawah, adalah komunitas yang kriminogenik. Bila melihat bahwa secara kualitatif sejumlah wilayah di utara Jakarta bukanlah wilayah komunitas dengan pendapatan tinggi, dan kejahatan memang lebih banyak terjadi di Jakarta Utara, namun tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa komunitas yang tinggal di sana adalah kriminal.

Pandangan kritis dalam kriminologi bergerak lebih makro di dalam memberikan kritik terhadap teori-teori tersebut. Realis kiri misalnya, menjelaskan bahwa kejahatan memang banyak dilakukan oleh kelas pekerja, namun harus disadari pula bahwa yang menjadi korban kejahatan dari yang mereka lakukan juga kelas pekerja. Analisi ini berkaitan dengan premis dasar dari kriminologi kritis awal yang melihat kejahatan tidak hanya sebagai indikator ketidakberuntungan secara ekonomi, namun lebih dari itu, kejahatan adalah indikator marjinalisasi dalam struktur sosial ekonomi.

Kritik lainnya, yang dalam perkembangannya menjadi salah satu teori yang paling banyak digunakan dalam menjelaskan kejahatan, diberikan oleh Marcus Felson. Kritik ini sebenarnya tidak ditujukan secara eksplisit terhadap teori-teori awal tersebut, namun asumsi-asumsinya jelas menentang asumsi concentric zone, disorganisasi sosial, dan lower class culture. Felson sebenarnya menyiratkan, bahwa dalam menjelaskan kejahatan, semestinya menghindari cara berfikir determinan. Bahwa ada faktor-faktor yang ajeg sebagai penyebab kejahatan.

Lebih jauh dijelaskannya, kejahatan adalah sebuah peristiwa yang terjadi karena variabel-variabel yang sangat situasional. Meskipun ada pengaruh faktor determinan, seperti katakanlah kemiskinan, namun tidak serta merta kejahatan dilakukan. Dua variabel lain yang turut menentukan adalah ada atau tidanya target dan kuat lemahnya penjagaan (dalam arti luas).Sederhananya, kejahatan adalah sebuah peristiwa yang tidak ajeg terjadi di tempat tertentu saja. Kejahatan dapat terjadi di manapun. Seseorang yang memiliki motivasi dalam melakukan kejahatan, bila dalam konteks ruang dan waktu tertentu, menemukan target dan di saat yang sama penjagaan minim.Inilah yang menyebabkan mengapa jumlah peristiwa kejahatan di perkotaan sebenarnya relatif tersebar merata.
Mengapa Utara Relatif Tinggi?
Pandangan kritis sebenarnya juga menegaskan bahwa tinggi rendahnya kejahatan yang tercatat dalam statistik kepolisian tidak terlepas dari sejauh mana sebuah wilayah selalu atau jarang menjadi objek pemolisian. Tingginya peristiwa kejahatan justru lebih banyak “disebabkan” oleh karena kepolisian lebih banyak memberikan “perhatian” kepada wilayah tertentu tersebut. Oleh karenanya, bila melihat data Polda Metro Jaya di awal tulisan ini, tinggi rendahnya sangat bergantung pada kinerja kepolisian itu sendiri.

Namun demikian, terlepas dari validitasnya, peristiwa kejahatan yang tinggi di wilayah utara tersebut tentu patut menjadi perhatian. Suka atau tidak, data formal kepolisian adalah satu-satunya data yang sementara ini dapat dijadikan patokan. Sebab belum ada survei korban menyeluruh di Jakarta sehingga dapat diketahui secara lebih objektif di mana kejahatan lebih banyak terjadi.

Oleh karenanya, dugaan bahwa kemiskinan, disorganisasi sosial, adanya “budaya kejahatan” yang terpelihara tepat perlu dipertimbangkan sebagai variabel penjelas. Hanya saja, yang diperlukan adalah cara pandang yang tidak deterministik dan lebih komprehensif dalam analisis.Ada kemungkinan, tingginya peristiwa kejahatan di wilayah utara itu justru disebabkan karena selama ini wilayah itulah yang tereksklusi dari pembangunan. Cenderung luput dari program-program pembangunan sosial.
Muhammad Mustofa, dalam pandangannya tentang Kriminologi Kesejahteraan secara sederhana menjelaskan, selama ini kita terlalu sibuk dengan penegakan hukum, sanksi atau penghukuman. Namun lupa bahwa mereka yang dijadikan objek penegakan hukum itu selama ini tidak diberikan kemampuan di dalam mencegah dirinya sendiri untuk tidak melakukan kejahatan. Mungkin pandangan yang terakhir inilah yang luput dari analisis Yasonna Laoly.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7291 seconds (0.1#10.140)