Pusat-Daerah Harus Satu Jalan Tangani Bencana Banjir
A
A
A
JAKARTA - Ribuan warga masih terjebak banjir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) hingga tadi malam. Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terus berulang membuat program penanggulangan serta penanganan banjir tak pernah tuntas.
Di tengah bencana besar saat ini publik justru disuguhi adanya silang pendapat antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam penanggulangan banjir. Basuki menilai banjir di Jakarta juga dipengaruhi revitalisasi di Sungai Ciliwung yang tak kunjung beres.
Sejak 2018, revitalisasi ini mandek lantaran terkendala pembebasan lahan. Dari target 33 km lahan yang bakal dibebaskan, hingga kini baru tercapai 16 km saja. Program pembuatan dinding turap beton pada sisi sungai sedalam hingga 12 meter ini telah digulirkan sejak 2012 atau lima tahun sebelum Anies Baswedan menjabat sebagai gubernur.
Selain Kementerian PUPR, proyek ini juga diprakarsai oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWCC) dan juga Pemerintah Provinsi DKI. Target normalisasi adalah mengembalikan lebar Ciliwung menjadi 35-50 meter. Harapannya jika sewaktu-waktu ada kiriman air besar dari wilayah hulu, hal itu tidak sampai meluap dan menimbulkan banjir.
Tak hanya itu, di atas meja, pemerintah pusat dan DKI juga sudah bersepakat membuat sodetan Ciliwung, tepatnya di kawasan Bidara Cina ke Kanal Banjir Timur. Namun proyek yang dimulai 2013 dan ditarget selesai 2015 ini tak kunjung rampung. Kisruh pembebasan lahan hingga masuk ranah hukum membuat pembebasan berlarut-larut hingga kini.
Di sisi lain Anies lebih menitikberatkan penanggulangan bencana dengan konsep naturalisasi dan mendorong pembuatan bendungan di kawasan hulu seperti Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Dengan konsep naturalisasi sebagaimana dikuatkan lewat Peraturan Gubernur DKI Nomor 31/2019, Anies memperbanyak ruang terbuka hijau untuk meningkatkan kapasitas tampungan, pengendali banjir sekaligus konservasi.
Dia menilai program ini lebih diterima masyarakat lantaran tanpa ada penggusuran lahan. Dalam naturalisasi, penataan Ciliwung tidak lagi menggunakan turap beton seperti revitalisasi, tetapi diganti bronjong batu kali di sisi sungai. Tak hanya itu, sepanjang sisi sungai juga ditanami pohon.
“Kalau dua bendungan itu selesai, volume air yang masuk ke pesisir bisa dikendalikan. Selama kita membiarkan air mengalir begitu saja, selebar apa pun sungainya, volume air akan luar biasa," ujar Anies, Rabu (1/1).
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi kemarin mendesak agar Pemprov DKI melanjutkan normalisasi Ciliwung. Menurutnya, sungai yang menyempit saat ini harus diperbesar dan disediakan jalan inspeksi di sisi masing-masing untuk mengatasi pendangkalan.
"Kali yang dulunya lebar itu kan sekarang menyempit karena banyak bangunan. Masalah ini sudah ada dari gubernur sebelumnya. Tapi kalau nggak fokus ya nggak beres-beres. Jadi harus di normalisasi," kata Prasetyo saat meninjau banjir di Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Penanganan Bencana Lemah
Selain soal penanggulangan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo pada rapat koordinasi (rakor) kemarin juga mengakui belum ada sinergi dalam koordinasi penanganan banjir yang dilakukan kementerian maupun lembaga pemerintah.
Kondisi ini membuat evakuasi maupun penyaluran bantuan terhadap korban terhambat dan membutuhkan waktu lama. Rakor akhirnya memutuskan penanganan bencana di bawah kendali langsung wali kota sebagai komandan satuan tugas (incident commander).
Komisi V DPR kemarin mempertanyakan akurasi data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengenai potensi daerah rawan banjir. Berdasarkan data Prakiraan Daerah Potensi Banjir Dasarian I dan II Januari 2020 yang dirilis BMKG di situs resminya, tidak ada potensi banjir besar di Jabodetabek, bahkan DKI aman dari banjir.
Lemahnya mitigasi ditambah adanya ketidaksinkronan penanganan di lapangan ini memprihatinkan. Selain masyarakat luas yang tak henti menjadi korban, banjir di Jakarta dan sekitarnya seolah ancaman yang terus menghantui sampai waktu yang tak bisa ditentukan.
Banjir di Jakarta adalah bagian sejarah panjang yang tak henti berulang. Sederet data lapangan untuk pencegahan maupun penanggulangan juga telah lama dikumpulkan. Demikian pula program yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah berikut dana pendukung mencapai miliaran rupiah juga berulang kali diluncurkan.
Namun di lapangan, nyatanya program tak mudah untuk dijalankan. Potensi banjir yang bakal menerjang Jabodetabek pada pergantian 2019 ke 2020 sebenarnya juga telah lama diketahui. Bahkan pada Juni 2019 silam pemerintah pusat dengan kementerian dan lembaga terkait telah menggelar rakor untuk mengantisipasi bencana ini.
Sejumlah kalangan mendorong pemerintah pusat dan daerah segera duduk bersama untuk membuat solusi yang komprehensif atas penanggulangan dan penangan bencana. Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, mustahil musibah banjir bisa diminimalkan. “Tanpa kerja sama pemerintah pusat dan daerah, rakyatlah yang lagi-lagi akan kembali menjadi korban," sebutnya.
Ketua DPR Puan Maharani juga meminta agar bencana banjir di Jabodetabek segera diatasi melalui koordinasi dan komunikasi antarinstansi terkait. “Tidak malah saling melempar tanggung jawab dan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat,” tegas mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui pentingnya kerja sama pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu penanganan akan lebih komprehensif. "Saya ingin agar kerja sama itu dibangun pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga semuanya bisa tertangani dengan baik," kata dia.
Namun Jokowi menekankan untuk memprioritaskan proses evakuasi terhadap korban banjir. "Keselamatan keamanan masyarakat harus didahulukan. Nanti urusan penanganan banjir secara infrastrukturnya akan kita bicarakan setelah penanganan evakuasi selesai," ucapnya.
Mengenai solusi bersama untuk menangani banjir, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga siap memberikan masukan ke pemerintah pusat. Namun butuh waktu untuk mencari solusi jangka panjang penanganan banjir yang melanda hingga Jakarta itu. "Tidak di momen sekarang karena butuh waktu secara keilmuan, ketenangan, harus bahas hal-hal engineering," ujarnya saat mengunjungi lokasi banjir di Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor kemarin.
Mantan Wakil Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah juga menilai masalah Jakarta, khususnya banjir dan macet, lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur. Tapi kalau keduanya bersatu tentu masalah tersebut akan cepat teratasi.
Di tengah bencana besar saat ini publik justru disuguhi adanya silang pendapat antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam penanggulangan banjir. Basuki menilai banjir di Jakarta juga dipengaruhi revitalisasi di Sungai Ciliwung yang tak kunjung beres.
Sejak 2018, revitalisasi ini mandek lantaran terkendala pembebasan lahan. Dari target 33 km lahan yang bakal dibebaskan, hingga kini baru tercapai 16 km saja. Program pembuatan dinding turap beton pada sisi sungai sedalam hingga 12 meter ini telah digulirkan sejak 2012 atau lima tahun sebelum Anies Baswedan menjabat sebagai gubernur.
Selain Kementerian PUPR, proyek ini juga diprakarsai oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWCC) dan juga Pemerintah Provinsi DKI. Target normalisasi adalah mengembalikan lebar Ciliwung menjadi 35-50 meter. Harapannya jika sewaktu-waktu ada kiriman air besar dari wilayah hulu, hal itu tidak sampai meluap dan menimbulkan banjir.
Tak hanya itu, di atas meja, pemerintah pusat dan DKI juga sudah bersepakat membuat sodetan Ciliwung, tepatnya di kawasan Bidara Cina ke Kanal Banjir Timur. Namun proyek yang dimulai 2013 dan ditarget selesai 2015 ini tak kunjung rampung. Kisruh pembebasan lahan hingga masuk ranah hukum membuat pembebasan berlarut-larut hingga kini.
Di sisi lain Anies lebih menitikberatkan penanggulangan bencana dengan konsep naturalisasi dan mendorong pembuatan bendungan di kawasan hulu seperti Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Dengan konsep naturalisasi sebagaimana dikuatkan lewat Peraturan Gubernur DKI Nomor 31/2019, Anies memperbanyak ruang terbuka hijau untuk meningkatkan kapasitas tampungan, pengendali banjir sekaligus konservasi.
Dia menilai program ini lebih diterima masyarakat lantaran tanpa ada penggusuran lahan. Dalam naturalisasi, penataan Ciliwung tidak lagi menggunakan turap beton seperti revitalisasi, tetapi diganti bronjong batu kali di sisi sungai. Tak hanya itu, sepanjang sisi sungai juga ditanami pohon.
“Kalau dua bendungan itu selesai, volume air yang masuk ke pesisir bisa dikendalikan. Selama kita membiarkan air mengalir begitu saja, selebar apa pun sungainya, volume air akan luar biasa," ujar Anies, Rabu (1/1).
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi kemarin mendesak agar Pemprov DKI melanjutkan normalisasi Ciliwung. Menurutnya, sungai yang menyempit saat ini harus diperbesar dan disediakan jalan inspeksi di sisi masing-masing untuk mengatasi pendangkalan.
"Kali yang dulunya lebar itu kan sekarang menyempit karena banyak bangunan. Masalah ini sudah ada dari gubernur sebelumnya. Tapi kalau nggak fokus ya nggak beres-beres. Jadi harus di normalisasi," kata Prasetyo saat meninjau banjir di Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Penanganan Bencana Lemah
Selain soal penanggulangan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo pada rapat koordinasi (rakor) kemarin juga mengakui belum ada sinergi dalam koordinasi penanganan banjir yang dilakukan kementerian maupun lembaga pemerintah.
Kondisi ini membuat evakuasi maupun penyaluran bantuan terhadap korban terhambat dan membutuhkan waktu lama. Rakor akhirnya memutuskan penanganan bencana di bawah kendali langsung wali kota sebagai komandan satuan tugas (incident commander).
Komisi V DPR kemarin mempertanyakan akurasi data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengenai potensi daerah rawan banjir. Berdasarkan data Prakiraan Daerah Potensi Banjir Dasarian I dan II Januari 2020 yang dirilis BMKG di situs resminya, tidak ada potensi banjir besar di Jabodetabek, bahkan DKI aman dari banjir.
Lemahnya mitigasi ditambah adanya ketidaksinkronan penanganan di lapangan ini memprihatinkan. Selain masyarakat luas yang tak henti menjadi korban, banjir di Jakarta dan sekitarnya seolah ancaman yang terus menghantui sampai waktu yang tak bisa ditentukan.
Banjir di Jakarta adalah bagian sejarah panjang yang tak henti berulang. Sederet data lapangan untuk pencegahan maupun penanggulangan juga telah lama dikumpulkan. Demikian pula program yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah berikut dana pendukung mencapai miliaran rupiah juga berulang kali diluncurkan.
Namun di lapangan, nyatanya program tak mudah untuk dijalankan. Potensi banjir yang bakal menerjang Jabodetabek pada pergantian 2019 ke 2020 sebenarnya juga telah lama diketahui. Bahkan pada Juni 2019 silam pemerintah pusat dengan kementerian dan lembaga terkait telah menggelar rakor untuk mengantisipasi bencana ini.
Sejumlah kalangan mendorong pemerintah pusat dan daerah segera duduk bersama untuk membuat solusi yang komprehensif atas penanggulangan dan penangan bencana. Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, mustahil musibah banjir bisa diminimalkan. “Tanpa kerja sama pemerintah pusat dan daerah, rakyatlah yang lagi-lagi akan kembali menjadi korban," sebutnya.
Ketua DPR Puan Maharani juga meminta agar bencana banjir di Jabodetabek segera diatasi melalui koordinasi dan komunikasi antarinstansi terkait. “Tidak malah saling melempar tanggung jawab dan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat,” tegas mantan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui pentingnya kerja sama pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu penanganan akan lebih komprehensif. "Saya ingin agar kerja sama itu dibangun pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga semuanya bisa tertangani dengan baik," kata dia.
Namun Jokowi menekankan untuk memprioritaskan proses evakuasi terhadap korban banjir. "Keselamatan keamanan masyarakat harus didahulukan. Nanti urusan penanganan banjir secara infrastrukturnya akan kita bicarakan setelah penanganan evakuasi selesai," ucapnya.
Mengenai solusi bersama untuk menangani banjir, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga siap memberikan masukan ke pemerintah pusat. Namun butuh waktu untuk mencari solusi jangka panjang penanganan banjir yang melanda hingga Jakarta itu. "Tidak di momen sekarang karena butuh waktu secara keilmuan, ketenangan, harus bahas hal-hal engineering," ujarnya saat mengunjungi lokasi banjir di Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor kemarin.
Mantan Wakil Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah juga menilai masalah Jakarta, khususnya banjir dan macet, lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur. Tapi kalau keduanya bersatu tentu masalah tersebut akan cepat teratasi.
(don)