Warga Bakal Hadang Eksekusi Lahan oleh UIN Jakarta
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Sejumlah warga yang bermukim di Jalan Puri Intan, RT04 RW17, Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan (Tangsel), diminta segera mengosongkan rumah tinggalnya. Sebab, pihak Kampus UIN Jakarta bakal segera mengeksekusi pada Kamis 12 Desember 2019.
Rumah-rumah warga itu berdiri di atas lahan seluas sekira 6.000 meter. Mereka tinggal di sana turun-temurun sejak tahun 1978. Disebutkan, surat-menyurat lengkap dimiliki, bahkan hingga surat tagihan listrik, PBB, tertera atas nama pemilik.
Salah satu warga yang menjadi korban penggusuran itu adalah Damaria. Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada niatan dari pihak UIN Jakarta bernegosiasi langsung dengan mereka. Padahal jika dilakukan, bisa menjadi titik temu bagi klaim masing-masing pihak atas kepemilikan lahan itu.
"Kita sangat berharap, pihak UIN tidak arogan. Mau membuka diri dengan bertemu langsung dengan kami. Kami sangat setuju kalau lahan itu akan dipakai untuk perluasan kampus, tapi kita bicara dulu bagaimana mencari solusi terbaik," terangnya saat mengadukan kejadian itu ke DPRD Tangsel, Senin 9 Desember 2019.
Sebelumnya, eksekusi serupa telah dilakukan pula terhadap beberapa titik pemukiman yang diklaim milik UIN Jakarta. Tak ayal setiap kali terjadi penggusuran, para warga spontan memberi perlawanan hingga menyebabkan benturan fisik.
"Karena waktu itu sudah mendapat surat eksekusi dari kejaksaan sebanyak 3 kali kepada 7 Kepala Keluarga (KK), sedangkan yang terdampak mencapai 255 KK. Lalu saya berinisiatif mengadukan hal ini ke DPRD Kota Tangsel untuk mendorong penundaan eksekusi. Eksekusi tidak boleh terjadi sampai ada mufakat," jelas Damaria.
Kisruh saling klaim kepemilikan lahan itu terjadi sejak tahun 2011 lalu. Warga yang bermukim di area itu, menolak untuk pindah meski Pengadilan Negeri Tangerang hingga Mahkamah Agung memenangkan pihak Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pengguna barang dan UIN Jakarta sebagai kuasa pengguna barang.
Menurut Damaria, sejumlah warga membeli lahan yang dijadikan tempat tinggal itu kepada Yayasan Muslim Islam Ichsan (YPMII) sejak tahun 1970 hingga 1983. Semua berkas administrasi pembelian mereka kantungi. Masalah pun muncul, saat Ketua YPMII Syarief Soegirwo bersengketa dengan Kemenag.
"Jadi eksekusi ini dasar hukumnya putusan pidana Ketua YPMII Syarief Soegirwo, padahal yayasn tempat kami membeli itu sudah dibubarkan sejak tahun 1994. Syarief Soegirwo sudah ditahan dan meninggal dunia, asetnya disita oleh negara. Tapi kami ini kan korban, yang membeli dengan sah lahan itu," ucapnya.
Dilanjutkan Damaria, warga makin kesal karena cara-cara pengosongan lahan itu menggunakan teror melalui massa Ormas. Bahkan kata dia, intimidasi di lapangan sering memantik terjadinya keributan antar warga dan Ormas tersebut.
"Ini cara-cara yang sudah di luar nalar, menekan kami dengan ormas pesanan, mengintimidasi. Kami umumnya yang tinggal di sana sudah tua renta, tak pantas diperlakukan demikian. Banyak cara yang lebih bijak, harusnya pihak Kemenag dalam hal ini UIN Jakarta bertemu mencari jalan keluarnya," tambahnya.
Warga khawatir, jika tak ada titik temu untuk bermusyawarah sebelum eksekusi tanggal12 Desember nanti, dapat menyebabkan aksi penolakan di lokasi. Jika demikian, pihak UIN dianggap yang paling bertanggung jawab manakala ada gesekan fisik saat eksekusi berlangsung.
"Kami tetap akan berupaya memertahankan sesuatu yang menjadi hak kami. Pihak UIN harus membuka diri, kami ini korban maka perlakukan lah kami sebagaimana mestinya," ungkapnya.
Pihak UIN Jakarta sendiri belum mau memberikan keterangan resmi atas adanya penolakan warga terhadap proses eksekusi nanti. Beberapa pihak yang dihubungi mengatakan, akan berdiskusi terlebih dahulu dengan kuasa hukum guna memastikan pelaksanaan eksekusi tanggal 12 Desember 2019.
"Besok saa saat eksekusi, nanti bisa wawancara langsung dengan tim tanah Kemenag," tutur Samsudin, Humas UIN Jakarta dikonfirmasi terpisah.
Rumah-rumah warga itu berdiri di atas lahan seluas sekira 6.000 meter. Mereka tinggal di sana turun-temurun sejak tahun 1978. Disebutkan, surat-menyurat lengkap dimiliki, bahkan hingga surat tagihan listrik, PBB, tertera atas nama pemilik.
Salah satu warga yang menjadi korban penggusuran itu adalah Damaria. Dia menerangkan, sampai saat ini belum ada niatan dari pihak UIN Jakarta bernegosiasi langsung dengan mereka. Padahal jika dilakukan, bisa menjadi titik temu bagi klaim masing-masing pihak atas kepemilikan lahan itu.
"Kita sangat berharap, pihak UIN tidak arogan. Mau membuka diri dengan bertemu langsung dengan kami. Kami sangat setuju kalau lahan itu akan dipakai untuk perluasan kampus, tapi kita bicara dulu bagaimana mencari solusi terbaik," terangnya saat mengadukan kejadian itu ke DPRD Tangsel, Senin 9 Desember 2019.
Sebelumnya, eksekusi serupa telah dilakukan pula terhadap beberapa titik pemukiman yang diklaim milik UIN Jakarta. Tak ayal setiap kali terjadi penggusuran, para warga spontan memberi perlawanan hingga menyebabkan benturan fisik.
"Karena waktu itu sudah mendapat surat eksekusi dari kejaksaan sebanyak 3 kali kepada 7 Kepala Keluarga (KK), sedangkan yang terdampak mencapai 255 KK. Lalu saya berinisiatif mengadukan hal ini ke DPRD Kota Tangsel untuk mendorong penundaan eksekusi. Eksekusi tidak boleh terjadi sampai ada mufakat," jelas Damaria.
Kisruh saling klaim kepemilikan lahan itu terjadi sejak tahun 2011 lalu. Warga yang bermukim di area itu, menolak untuk pindah meski Pengadilan Negeri Tangerang hingga Mahkamah Agung memenangkan pihak Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pengguna barang dan UIN Jakarta sebagai kuasa pengguna barang.
Menurut Damaria, sejumlah warga membeli lahan yang dijadikan tempat tinggal itu kepada Yayasan Muslim Islam Ichsan (YPMII) sejak tahun 1970 hingga 1983. Semua berkas administrasi pembelian mereka kantungi. Masalah pun muncul, saat Ketua YPMII Syarief Soegirwo bersengketa dengan Kemenag.
"Jadi eksekusi ini dasar hukumnya putusan pidana Ketua YPMII Syarief Soegirwo, padahal yayasn tempat kami membeli itu sudah dibubarkan sejak tahun 1994. Syarief Soegirwo sudah ditahan dan meninggal dunia, asetnya disita oleh negara. Tapi kami ini kan korban, yang membeli dengan sah lahan itu," ucapnya.
Dilanjutkan Damaria, warga makin kesal karena cara-cara pengosongan lahan itu menggunakan teror melalui massa Ormas. Bahkan kata dia, intimidasi di lapangan sering memantik terjadinya keributan antar warga dan Ormas tersebut.
"Ini cara-cara yang sudah di luar nalar, menekan kami dengan ormas pesanan, mengintimidasi. Kami umumnya yang tinggal di sana sudah tua renta, tak pantas diperlakukan demikian. Banyak cara yang lebih bijak, harusnya pihak Kemenag dalam hal ini UIN Jakarta bertemu mencari jalan keluarnya," tambahnya.
Warga khawatir, jika tak ada titik temu untuk bermusyawarah sebelum eksekusi tanggal12 Desember nanti, dapat menyebabkan aksi penolakan di lokasi. Jika demikian, pihak UIN dianggap yang paling bertanggung jawab manakala ada gesekan fisik saat eksekusi berlangsung.
"Kami tetap akan berupaya memertahankan sesuatu yang menjadi hak kami. Pihak UIN harus membuka diri, kami ini korban maka perlakukan lah kami sebagaimana mestinya," ungkapnya.
Pihak UIN Jakarta sendiri belum mau memberikan keterangan resmi atas adanya penolakan warga terhadap proses eksekusi nanti. Beberapa pihak yang dihubungi mengatakan, akan berdiskusi terlebih dahulu dengan kuasa hukum guna memastikan pelaksanaan eksekusi tanggal 12 Desember 2019.
"Besok saa saat eksekusi, nanti bisa wawancara langsung dengan tim tanah Kemenag," tutur Samsudin, Humas UIN Jakarta dikonfirmasi terpisah.
(mhd)