Tali Air Jadi Penyebab Munculnya Genangan Air di Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta memastikan genangan di wilayahnya hanya bertahan hingga 30 menit setelah hujan turun. Salah satu penyebab genangan akibat minimnya tali air. Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Juaini mengatakan, berdasarkan evaluasi dari hujan yang terjadi beberapa hari belakangan ini, salah satu penyebab genangan akibat minimnya tali air.
Akibat dari itu, air yang tergenang dari jalan tersendat masuk saluran lantaran tali airnya minim. "Ya, paling lama 20 menit sudah surut. Itu karena tali airnya kecil. Saya sudah minta Dinas Bina Marga untuk menambah tali air tersebut," kata Juaini di Gedung DPRD DKI Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, selama musim kemarau, pihaknya terus melakukan pengerukan saluran air baik yang mikro maupun makro. Bahkan, petugas menemukan hampir 200 kilo kulit kabel di satu titik saluran yaitu di Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk memastikan saluran tersebut saling terhubung dan cukup menampung debit air hujan.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, sedikitnya ada 30 genangan yang secara terus-menerus terjadi dengan berbagai macam permasalahannya. Kasus ini banyak terjadi di daerah bantaran sungai dan proyek pembangunan.
Untuk di daerah proyek pembangunan, ada beberapa saluran yang terputus akibat terpasang tiang pancang dan itu sudah diantisipasi dengan saluran baru di sekitar lokasi yang terputus tersebut. "Sudah kita antisipasi dengan saluran baru di lokasi yang sudah terputus itu. Mudah-mudahan dengan antisipasi saluran yang terputus, genangan sudah mulai berkurang atau bahkan tidak ada," ungkapnya.
Kepala Dinas Bina Marga Harri Nugroho mengaku sudah menginstruksikan petugas di lima wilayah untuk menginventarisasikan tali air yang menyebabkan genangan. Apabila ditemukan, dia meminta segera diperbanyak. Kendati demikian, Harri membantah bila dikatakan minimnya tali air menjadi penyebab genangan.
"Kami sudah menugaskan petugas untuk membersihkan tali air yang tersumbat sampah ataupun hal lainnya yang menyebabkan genangan," pungkasnya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menuturkan, genangan yang timbul ketika hujan lokal turun sudah terjadi sejak lama dan penanganannya hanya bersifat parsial.
Padahal untuk menangani genangan harus dari dasarnya, yakni memiliki rencana induk drainase, sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap. Dia berharap camat dan lurah sebagai garda terdepan dengan pendampingan dari Dinas Sumber Daya Air menginventarisasikan kembali drainase untuk dibuatkan rencana induknya.
"Selama ini perbaikan saluran hanya berdasarkan jumlah titik genangan tahun sebelumnya. Sifat air itu berpindah ke tempat rendah. Jadi kalau drainase A diperbaiki, drainase D tidak karena tidak tergenang, ketika hujan keesokannya datang, drainase D ini tergenang," paparnya.
Sampai saat ini, kata Nirwono, Jakarta tidak memiliki rencana induk saluran air. Padahal sejak 10–15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, pihaknya sudah mendorong Dinas Sumber Daya Air untuk membuat rencana induk saluran air.
Dalam penyusunan rencana induk saluran air itu dibuat bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas, yang mana kondisi drainase terbagi tiga ruangan, yakni kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon, dan serat optik. Kanan untuk pipa air bersih dan gas sehingga tidak ada lagi bongkar-pasang saluran air dan trotoar serta tumpang tindih utilitas di drainase.
Menurut Nirwono, belum adanya rencana induk saluran air itu bukan lantaran tidak adanya dana, melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI untuk membentuk badan koordinasi 12 instansi, sebab dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kaveling masing-masing. Misalnya saja dalam membongkar trotoar, perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Bina Marga.
Kemudian bila ada tanaman, bersentuhan dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Begitu di bawah halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO), perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Perhubungan dan Transportasi. Belum lagi kabel PLN, pipa gas, dan sebagainya. “Selama ini dalam rapat oke, tetapi pelaksanaannya berbenturan kewenangan. Ini juga harus dibenahi," ujarnya.
Akibat dari itu, air yang tergenang dari jalan tersendat masuk saluran lantaran tali airnya minim. "Ya, paling lama 20 menit sudah surut. Itu karena tali airnya kecil. Saya sudah minta Dinas Bina Marga untuk menambah tali air tersebut," kata Juaini di Gedung DPRD DKI Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, selama musim kemarau, pihaknya terus melakukan pengerukan saluran air baik yang mikro maupun makro. Bahkan, petugas menemukan hampir 200 kilo kulit kabel di satu titik saluran yaitu di Fatmawati, Jakarta Selatan, untuk memastikan saluran tersebut saling terhubung dan cukup menampung debit air hujan.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, sedikitnya ada 30 genangan yang secara terus-menerus terjadi dengan berbagai macam permasalahannya. Kasus ini banyak terjadi di daerah bantaran sungai dan proyek pembangunan.
Untuk di daerah proyek pembangunan, ada beberapa saluran yang terputus akibat terpasang tiang pancang dan itu sudah diantisipasi dengan saluran baru di sekitar lokasi yang terputus tersebut. "Sudah kita antisipasi dengan saluran baru di lokasi yang sudah terputus itu. Mudah-mudahan dengan antisipasi saluran yang terputus, genangan sudah mulai berkurang atau bahkan tidak ada," ungkapnya.
Kepala Dinas Bina Marga Harri Nugroho mengaku sudah menginstruksikan petugas di lima wilayah untuk menginventarisasikan tali air yang menyebabkan genangan. Apabila ditemukan, dia meminta segera diperbanyak. Kendati demikian, Harri membantah bila dikatakan minimnya tali air menjadi penyebab genangan.
"Kami sudah menugaskan petugas untuk membersihkan tali air yang tersumbat sampah ataupun hal lainnya yang menyebabkan genangan," pungkasnya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menuturkan, genangan yang timbul ketika hujan lokal turun sudah terjadi sejak lama dan penanganannya hanya bersifat parsial.
Padahal untuk menangani genangan harus dari dasarnya, yakni memiliki rencana induk drainase, sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap. Dia berharap camat dan lurah sebagai garda terdepan dengan pendampingan dari Dinas Sumber Daya Air menginventarisasikan kembali drainase untuk dibuatkan rencana induknya.
"Selama ini perbaikan saluran hanya berdasarkan jumlah titik genangan tahun sebelumnya. Sifat air itu berpindah ke tempat rendah. Jadi kalau drainase A diperbaiki, drainase D tidak karena tidak tergenang, ketika hujan keesokannya datang, drainase D ini tergenang," paparnya.
Sampai saat ini, kata Nirwono, Jakarta tidak memiliki rencana induk saluran air. Padahal sejak 10–15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, pihaknya sudah mendorong Dinas Sumber Daya Air untuk membuat rencana induk saluran air.
Dalam penyusunan rencana induk saluran air itu dibuat bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas, yang mana kondisi drainase terbagi tiga ruangan, yakni kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon, dan serat optik. Kanan untuk pipa air bersih dan gas sehingga tidak ada lagi bongkar-pasang saluran air dan trotoar serta tumpang tindih utilitas di drainase.
Menurut Nirwono, belum adanya rencana induk saluran air itu bukan lantaran tidak adanya dana, melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI untuk membentuk badan koordinasi 12 instansi, sebab dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kaveling masing-masing. Misalnya saja dalam membongkar trotoar, perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Bina Marga.
Kemudian bila ada tanaman, bersentuhan dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Begitu di bawah halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO), perbaikan saluran bersentuhan dengan Dinas Perhubungan dan Transportasi. Belum lagi kabel PLN, pipa gas, dan sebagainya. “Selama ini dalam rapat oke, tetapi pelaksanaannya berbenturan kewenangan. Ini juga harus dibenahi," ujarnya.
(don)