Lelang Diulang, DKI Tak Bisa Pastikan Jalan Berbayar di Jakarta
A
A
A
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum dapat memastikan kapan sistem jalan berbayar atau Elektronik Road Pricing (ERP) diberlakukan. Penerapan tarif parkir mahal pun menunggu diberlakukannya ERP.
ERP sendiri merupakan sistem pengendalian lalu lintas yang harus dilakukan berbarengan dengan peningkatan tarif parkir dan peningkatan layanan angkutan umum sebagai instrumen untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Bahkan dalam instruksi Gubernur (Ingub) No 66 Tahun 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta agar Kepala Dinas Perhubungan melakukan peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum mulai 2019 dan menerapkan congestion pricing pada 2021.
Sebelum memberlakukan pada 2021, Kepala Dinas Perhubungan diminta menyiapkan rancangan peraturan daerah (Raperda) congestion pricing pada 2020.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo mengakui hal tersebut. Menurutnya, untuk mengatasi kemacetan dan mengurangi Polusi Udara harus memang harus meningkatkan Angkutan Umum, pemberlakuan jalan berbayar atau ERP dan Peningkatan tarif parkir. Namun, semuanya itu dilakukan secara bertahap.
"Congestion pricing itu ya ERP bagian dari tahapan ganjil-genap. Kami masih melakukan kajian soal itu. Targetnya nanti setelah kajian selesai," kata Syafrin Liputo saat dihubungi, Minggu 1 September 2019.
Syafrin menjelaskan, lelang ERP yang sudah mengerucut kepada tiga nama perusahaan terpaksa diulang sesuai arahan dari Kejaksaan Agung. Menurutnya, ada proses yang tidak sesuai dengan kaidah pengadaan barang jasa. Sayangnya dia tidak menyebutkan apa yang menjadi rekomendasi kejaksaan hingga akhirnya mengulang lelang tersebut.
Lelang, kata Syafrin, baru akan dilakukan kembali setelah kajian selesai dilakukan. Dia menyatakan kajian sendiri baru akan dilakukan tahun depan mengingat Anggaran perubahan sudah selesai dibahas. Kajian itu meliputi dokumen, termasuk di dalamnya perbaikan terhadap seluruh dokumen pengadaan.
Dia optimis jika ERP dapat diberlakukan lantaran sudah menjadi suatu kebutuhan untuk mengatasi kemacetan dan kualitas udara. "ERP dulu baru peningkatan tarif parkir," ungkapnya. (Baca Juga: Lelang Electronic Road Pricing Jakarta Masih Bermasalah
Adapun peningkatan tarif parkir, lanjut Syafrin, pihaknya juga sedang mengkajinya. Dalam peraturan Gubernur (Pergub) 31 Tahun 2017 menyebutkan bahwa tarif sekitar Rp5.000-10.000.
Sementara untuk jumlah kawasan pengendalian parkir sebanyak 441 yang terbagi dua, yaitu jalan golongan A dan B. Dari jumlah kawasan tersebut, pihaknya tengah mereview kawasan mana yang akan dikenakan tarif tinggi.
"Jalan golongan A itu jalan utama dan jalan golongan b itu kolektor. Kami sedang mereview-nya," pungkasnya. (Baca Juga: Maret 2019, Mobil Masuk Jakarta Bayar
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek BPTJ Bambang Prihartono berharap Pemprov DKI Jakarta segera menerapkan ERP lantaran sistem Ganjil Genap tidak bisa berlangsung lama. Dalam sistem rencana induk transportasi Jabotabek, 2018/2029, ERP di Jakarta dilakukan pada 2019 dan disusul oleh kota Tangerang, Bekasi, pada 2020. Sedangkan kota lainnya pada 2022 dan 2023.
"Jakarta harusnya sudah mulai mengimplementasikan ERP pada 2019," tegasnya. (Baca juga: Pemprov DKI Tunda Pelaksanaan Uji Coba Jalan Berbayar )
Diketahui, sejak lelang ERP dilakukan tanpa mencantumkan satu teknologi tertentu pada 22 Juli 2018 lalu, panitia lelang di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Jalan Berbayar Elektronik (JBE) telah mendapatkan tiga perusahaan peserta lelang yang memasuki tahap ujicoba tekhis dari Proof Of concept (POC) masing-masing penyedia. Di antaranya yakni Q-Free, Kapsch dan Bali tower. Namun, Q-free perusahaan tekhnologi asal Norwegia dan Kapsch perusahaan tekhnologi dari Swedia yang pernah mengujicobakan perangkat ERPpada 2014 di ruas jalan Sudirman dan Kuningan, Jakarta Selatan tiba-tiba mengundurkan diri.
Proses lelang di BLUD JBE yang berada dibawah Dinas perhubungan dilakukan dalam rangka efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk suatu kebijakan yang membutuhkan investasi besar, BLU diperbolehkan untuk melakukan lelang. Hal tersebut pun diatur dalam peraturan kementrian dalam negeri (permendagri) No 61 Tahun 2007.
Selain itu, lelang ERP yang rencana awalnya melalui lelang investasi di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dinilai terlalu lama. Bahkan, Pemprov DKI akan merugi bila lelang investasi dilakukan. Sebab, didalamnya mengatur kerjasama yang dimana intinya perusahaan swasta dapat membangun dan mengoperasikanya selama delapan-sepuluh tahun. Padahal, dalam dua tahun, modal invetasi pembangunan sistem ERP sebesar Rp 2,8 triliun sudah bisa bailk modal.
Untuk itu, BLUD JBE memilih agar lelang ERP dilakukan melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Nantinya, Perusahaan swasta yang memenangkan lelang akan ditayangkan di e-Katalog dan DKI siap bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Dalam kerjasama yang dilakukan, perusahaan swasta hanya berkewajiban membangun segala infrastrukturnya. Setelah selesai, DKI akan segera membayarnya melalui pinjaman Bank.
Lelang pun dilakukan pada Juli 2016 namun pada awal 2017, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempermasalahkan Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang hanya memuat penggunaan teknologi DSRC.
Revisi Pergub nomor 149 pun dilkaukan dengan menghilangkan kalimat teknologi DSRC. Sehingga, lelang yang sudah berjalan dengan tekhnologi DSRC sejak pertengahan tahun lalu terpaksa kembali diulang dengan menampung semua teknologi yang dipakai dalam ERP.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto pesimis ERP dapat dilaksanakan di Jakarta. Sebab, lebih dari lima tahun, proses penerapan ERP masih saja berkutik di lelang. Padahal ujicoba telah dilakukan.
"Lelang open tekhnologi mempersulit proses penentuan pemenang lelang. Satu-satunya teknologi yang digunakan ERP adalah DSRC. Tekhnologi lain itu baru dilakukan di jalan tol yang jelas berbeda dengan ERP. Bisa-bisa menjadi kelinci percobaan," ungkapnya.
Selain itu, kata leksmono, penerapan ERP tidak cukup dengan hanya melakukan pembangunan infrastrukturnya saja. Menurutnya, Pemprov DKI harus mempercepat pengintegrasian basis data kendaraan bermotor dengan kepolisian. Dengan begitu, kepemilikan kendaraan bisa jelas dan fungsi ERP bisa berjalan dengan maksimal.
"Salah satu pendukung operasional ERP, semua kendaraan harus sesuai data kepemilikan. Hal ini saja belum ada progresnya," ujarnya.
ERP sendiri merupakan sistem pengendalian lalu lintas yang harus dilakukan berbarengan dengan peningkatan tarif parkir dan peningkatan layanan angkutan umum sebagai instrumen untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Bahkan dalam instruksi Gubernur (Ingub) No 66 Tahun 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta agar Kepala Dinas Perhubungan melakukan peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum mulai 2019 dan menerapkan congestion pricing pada 2021.
Sebelum memberlakukan pada 2021, Kepala Dinas Perhubungan diminta menyiapkan rancangan peraturan daerah (Raperda) congestion pricing pada 2020.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo mengakui hal tersebut. Menurutnya, untuk mengatasi kemacetan dan mengurangi Polusi Udara harus memang harus meningkatkan Angkutan Umum, pemberlakuan jalan berbayar atau ERP dan Peningkatan tarif parkir. Namun, semuanya itu dilakukan secara bertahap.
"Congestion pricing itu ya ERP bagian dari tahapan ganjil-genap. Kami masih melakukan kajian soal itu. Targetnya nanti setelah kajian selesai," kata Syafrin Liputo saat dihubungi, Minggu 1 September 2019.
Syafrin menjelaskan, lelang ERP yang sudah mengerucut kepada tiga nama perusahaan terpaksa diulang sesuai arahan dari Kejaksaan Agung. Menurutnya, ada proses yang tidak sesuai dengan kaidah pengadaan barang jasa. Sayangnya dia tidak menyebutkan apa yang menjadi rekomendasi kejaksaan hingga akhirnya mengulang lelang tersebut.
Lelang, kata Syafrin, baru akan dilakukan kembali setelah kajian selesai dilakukan. Dia menyatakan kajian sendiri baru akan dilakukan tahun depan mengingat Anggaran perubahan sudah selesai dibahas. Kajian itu meliputi dokumen, termasuk di dalamnya perbaikan terhadap seluruh dokumen pengadaan.
Dia optimis jika ERP dapat diberlakukan lantaran sudah menjadi suatu kebutuhan untuk mengatasi kemacetan dan kualitas udara. "ERP dulu baru peningkatan tarif parkir," ungkapnya. (Baca Juga: Lelang Electronic Road Pricing Jakarta Masih Bermasalah
Adapun peningkatan tarif parkir, lanjut Syafrin, pihaknya juga sedang mengkajinya. Dalam peraturan Gubernur (Pergub) 31 Tahun 2017 menyebutkan bahwa tarif sekitar Rp5.000-10.000.
Sementara untuk jumlah kawasan pengendalian parkir sebanyak 441 yang terbagi dua, yaitu jalan golongan A dan B. Dari jumlah kawasan tersebut, pihaknya tengah mereview kawasan mana yang akan dikenakan tarif tinggi.
"Jalan golongan A itu jalan utama dan jalan golongan b itu kolektor. Kami sedang mereview-nya," pungkasnya. (Baca Juga: Maret 2019, Mobil Masuk Jakarta Bayar
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek BPTJ Bambang Prihartono berharap Pemprov DKI Jakarta segera menerapkan ERP lantaran sistem Ganjil Genap tidak bisa berlangsung lama. Dalam sistem rencana induk transportasi Jabotabek, 2018/2029, ERP di Jakarta dilakukan pada 2019 dan disusul oleh kota Tangerang, Bekasi, pada 2020. Sedangkan kota lainnya pada 2022 dan 2023.
"Jakarta harusnya sudah mulai mengimplementasikan ERP pada 2019," tegasnya. (Baca juga: Pemprov DKI Tunda Pelaksanaan Uji Coba Jalan Berbayar )
Diketahui, sejak lelang ERP dilakukan tanpa mencantumkan satu teknologi tertentu pada 22 Juli 2018 lalu, panitia lelang di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Jalan Berbayar Elektronik (JBE) telah mendapatkan tiga perusahaan peserta lelang yang memasuki tahap ujicoba tekhis dari Proof Of concept (POC) masing-masing penyedia. Di antaranya yakni Q-Free, Kapsch dan Bali tower. Namun, Q-free perusahaan tekhnologi asal Norwegia dan Kapsch perusahaan tekhnologi dari Swedia yang pernah mengujicobakan perangkat ERPpada 2014 di ruas jalan Sudirman dan Kuningan, Jakarta Selatan tiba-tiba mengundurkan diri.
Proses lelang di BLUD JBE yang berada dibawah Dinas perhubungan dilakukan dalam rangka efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk suatu kebijakan yang membutuhkan investasi besar, BLU diperbolehkan untuk melakukan lelang. Hal tersebut pun diatur dalam peraturan kementrian dalam negeri (permendagri) No 61 Tahun 2007.
Selain itu, lelang ERP yang rencana awalnya melalui lelang investasi di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dinilai terlalu lama. Bahkan, Pemprov DKI akan merugi bila lelang investasi dilakukan. Sebab, didalamnya mengatur kerjasama yang dimana intinya perusahaan swasta dapat membangun dan mengoperasikanya selama delapan-sepuluh tahun. Padahal, dalam dua tahun, modal invetasi pembangunan sistem ERP sebesar Rp 2,8 triliun sudah bisa bailk modal.
Untuk itu, BLUD JBE memilih agar lelang ERP dilakukan melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Nantinya, Perusahaan swasta yang memenangkan lelang akan ditayangkan di e-Katalog dan DKI siap bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Dalam kerjasama yang dilakukan, perusahaan swasta hanya berkewajiban membangun segala infrastrukturnya. Setelah selesai, DKI akan segera membayarnya melalui pinjaman Bank.
Lelang pun dilakukan pada Juli 2016 namun pada awal 2017, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempermasalahkan Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2016 tentang Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang hanya memuat penggunaan teknologi DSRC.
Revisi Pergub nomor 149 pun dilkaukan dengan menghilangkan kalimat teknologi DSRC. Sehingga, lelang yang sudah berjalan dengan tekhnologi DSRC sejak pertengahan tahun lalu terpaksa kembali diulang dengan menampung semua teknologi yang dipakai dalam ERP.
Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Tarumanegara, Leksmono Suryo Putranto pesimis ERP dapat dilaksanakan di Jakarta. Sebab, lebih dari lima tahun, proses penerapan ERP masih saja berkutik di lelang. Padahal ujicoba telah dilakukan.
"Lelang open tekhnologi mempersulit proses penentuan pemenang lelang. Satu-satunya teknologi yang digunakan ERP adalah DSRC. Tekhnologi lain itu baru dilakukan di jalan tol yang jelas berbeda dengan ERP. Bisa-bisa menjadi kelinci percobaan," ungkapnya.
Selain itu, kata leksmono, penerapan ERP tidak cukup dengan hanya melakukan pembangunan infrastrukturnya saja. Menurutnya, Pemprov DKI harus mempercepat pengintegrasian basis data kendaraan bermotor dengan kepolisian. Dengan begitu, kepemilikan kendaraan bisa jelas dan fungsi ERP bisa berjalan dengan maksimal.
"Salah satu pendukung operasional ERP, semua kendaraan harus sesuai data kepemilikan. Hal ini saja belum ada progresnya," ujarnya.
(mhd)