BMKG Sebut Rentetan Gempa di Nanggung Bogor Hanya Aktivitas Swarm
A
A
A
BOGOR - Aktivitas gempa kecil yang terus terjadi di wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, sejak Sabtu 10 Agustus 2019 hingga hari ini, masih terus berlangsung. Hingga Rabu malam, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mencatat sebanyak 76 kali aktivitas gempa kecil dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman.
Dari sekian banyak gempa yang terjadi, lima gempa di antaranya guncangannya dirasakan oleh warga. Pada 19 Agustus 2019 pukul 08.13.12 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 3,0. Lalu pada 19 Agustus 2019 pukul 22.52.16 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 2,5. Selanjutnya, pada 21 Agustus 2019 pukul 03.06.16 WIB, muncul gempa berkekuatan M 3,9. Pada 21 Agustus 2019 pukul 11.24.05 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 3,4. Sementara pada 21 Agustus 2019 pukul 20.49.58 WIB gempa tercatata berkekuatan M 3,3
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan, seringnya terjadi gempa ini tentu kian menambah resah masyarakat. Banyak pertanyaan warga yang dilontarkan kepada BMKG terkait meningkatnya aktivitas gempa di wilayah Kabupaten Bogor ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu memahami beberapa tipe gempa terlebih dahulu. (Baca juga: Gempa Sukabumi, Sejumlah Warga Bogor Trauma dan Mengungsi)
Daryono menjelaskan, Kiyoo Mogi (1963) ahli gempa Jepang, telah mengklasifikasikan gempa ke dalam 3 tipe. Pertama gempa tipe 1, dicirikan dengan terjadinya gempa utama (mainshock) yang diikuti oleh gempa susulan (aftershocks). Kedua, gempa tipe 2, dicirikan dengan munculnya gempa pendahuluan (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama dan diikuti oleh aktivitas gempa susulan. Ketiga, gempa tipe 3, dicirikan dengan munculnya aktivitas gempa yang berlangsung secara terus menerus dengan magnitudo yang relatif kecil tanpa ada gempa utama.
"Jika kita mengamati rentetan gempa yang sedang berlangsung di Bogor saat ini, tampak bahwa fenomena gempa yang berpusat di Kecamatan Nanggung ini merupakan gempa tipe 3, yaitu aktivitas gempa swarms," ujar Daryono dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/8/2019) pagi.
Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa yang terjadi di kawasan sangat lokal, dengan magnitudo relatif kecil, memiliki karakteristik frekuensi kejadian sangat tinggi, dan berlangsung dalam periode waktu tertentu. Aktivitas gempa di wilayah Nanggung, Bogor saat ini layak disebut swarm karena gempa yang terjadi sangat banyak tetapi tidak ada gempa yang magnitudonya menonjol sebagai gempa utama (mainshocks). Selain itu memang rata-rata magnitudo gempanya relatif kecil, yaitu kurang dari M 4,0.
"Jika kita amati klaster sebaran pusat gempa yang berlangsung saat ini, tampak aktivitasnya sangat lokal terkosentrasi di sebelah Barat Daya Kaki Gunung Salak," tiuturnya. (Baca juga: Gempa Guncang Sukabumi, Ini Penjelasan BMKG)
Menurut Daryono, di wilayah ini banyak warga beberapa kali merasakan guncangan lemah gempa. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa yang terjadi dibangkitkan oleh penyesaran dengan mekanisme yang merupakan kombinasi pergerakan mendatar dan naik (oblique thrust fault) dengan kecenderungan strike berarah utara-selatan.
Dari hasil analisis ini ada dugaan bahwa swarm yang terjadi berkaitan dengan mekanisme penyesaran lokal, apalagi didukung dengan data bentuk gelombang yang menunjukkan fasa gelombang S (shear) yang tampak kuat dan jelas.
Namun demikian hingga saat ini belum diperoleh referensi mengenai keberadaan struktur sesar aktif yang diduga menjadi pembangkit gempa swarm ini. Hasil kajian yang dilakukan Pepen Supendi dkk tahun 2018, sudah menyebutkan adanya klaster aktivitas gempa di barat daya Gunung Salak ini.
Di klaster ini terjadi sembilan kali gempa selama periode 2011-2015 yang memiliki magnitudo M 2,0 hingga M 4,6. Dalam peta seismisitas Jawa Barat dan Banten periode 1990-2000 juga tampak adanya klaster aktivitas gempa yang cukup mencolok di Barat Daya Gunung Salak. "Ini artinya aktivitas gempa Klaster Bogor ini sebenarnya sudah sering terjadi sejak lama," katanya.
Berdasarkan data hasil monitoring BMKG terkini, tampak ada kecenderungan frekuensi kejadian gempa swarm semakin meningkat. Aktivitas gempa ini merupakan cerminan berlangsungnya proses pelepasan tegangan pada batuan kulit Bumi yang berlangsung karena karakteristik batuan yang rapuh (brittle).
Jika medan tegangan yang tersimpan dalam sudah habis, maka aktivitas gempa swarm ini dengan sendirinya akan berakhir. Bagi kalangan ahli, gempa swarms merupakan fenomena alam biasa. Namun demikian karena fenomena semacam ini jarang terjadi dan masyarakat sebagian besar belum banyak memahaminya, maka wajar jika banyak warga yang merasa resah.
Pada beberapa kasus gempa swarm biasa juga terjadi di zona gunungapi. Swarms dapat terjadi di bagian yang mengalami akumulasi medan tegangan berkaitan dengan aktivitas pergerakan magma. Selain berkaitan dengan aktivitas vulkanisme, beberapa laporan menunjukkan bahwa gempa swarms juga dapat terjadi di kawasan non vulkanik. Fenomena swarms memang dapat terjadi pada kawasan dengan karakteristik batuan rapuh dan mudah mengalami retakan-retakan (fractures).
Untuk menjawab apakah fenomena swarm pada klaster Bogor ini dibangkitkan oleh aktivitas sesar (tektonik) atau vulkanisme, kata Daryono, memang masih perlu ada kajian yang lebih mendalam untuk menjawabnya. "Terlepas dari faktor penyebab pembangkit gempa swarm, yang pasti rentetan aktivitas gempa yang terjadi saat ini dan sebelumnya sudah cukup menjadi petunjuk bahwa adanya sumber gempa pada Klaster sebelah baratdaya Gunung Salak," pungkasnya.
Dari sekian banyak gempa yang terjadi, lima gempa di antaranya guncangannya dirasakan oleh warga. Pada 19 Agustus 2019 pukul 08.13.12 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 3,0. Lalu pada 19 Agustus 2019 pukul 22.52.16 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 2,5. Selanjutnya, pada 21 Agustus 2019 pukul 03.06.16 WIB, muncul gempa berkekuatan M 3,9. Pada 21 Agustus 2019 pukul 11.24.05 WIB, terjadi gempa berkekuatan M 3,4. Sementara pada 21 Agustus 2019 pukul 20.49.58 WIB gempa tercatata berkekuatan M 3,3
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan, seringnya terjadi gempa ini tentu kian menambah resah masyarakat. Banyak pertanyaan warga yang dilontarkan kepada BMKG terkait meningkatnya aktivitas gempa di wilayah Kabupaten Bogor ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu memahami beberapa tipe gempa terlebih dahulu. (Baca juga: Gempa Sukabumi, Sejumlah Warga Bogor Trauma dan Mengungsi)
Daryono menjelaskan, Kiyoo Mogi (1963) ahli gempa Jepang, telah mengklasifikasikan gempa ke dalam 3 tipe. Pertama gempa tipe 1, dicirikan dengan terjadinya gempa utama (mainshock) yang diikuti oleh gempa susulan (aftershocks). Kedua, gempa tipe 2, dicirikan dengan munculnya gempa pendahuluan (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama dan diikuti oleh aktivitas gempa susulan. Ketiga, gempa tipe 3, dicirikan dengan munculnya aktivitas gempa yang berlangsung secara terus menerus dengan magnitudo yang relatif kecil tanpa ada gempa utama.
"Jika kita mengamati rentetan gempa yang sedang berlangsung di Bogor saat ini, tampak bahwa fenomena gempa yang berpusat di Kecamatan Nanggung ini merupakan gempa tipe 3, yaitu aktivitas gempa swarms," ujar Daryono dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/8/2019) pagi.
Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa yang terjadi di kawasan sangat lokal, dengan magnitudo relatif kecil, memiliki karakteristik frekuensi kejadian sangat tinggi, dan berlangsung dalam periode waktu tertentu. Aktivitas gempa di wilayah Nanggung, Bogor saat ini layak disebut swarm karena gempa yang terjadi sangat banyak tetapi tidak ada gempa yang magnitudonya menonjol sebagai gempa utama (mainshocks). Selain itu memang rata-rata magnitudo gempanya relatif kecil, yaitu kurang dari M 4,0.
"Jika kita amati klaster sebaran pusat gempa yang berlangsung saat ini, tampak aktivitasnya sangat lokal terkosentrasi di sebelah Barat Daya Kaki Gunung Salak," tiuturnya. (Baca juga: Gempa Guncang Sukabumi, Ini Penjelasan BMKG)
Menurut Daryono, di wilayah ini banyak warga beberapa kali merasakan guncangan lemah gempa. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa yang terjadi dibangkitkan oleh penyesaran dengan mekanisme yang merupakan kombinasi pergerakan mendatar dan naik (oblique thrust fault) dengan kecenderungan strike berarah utara-selatan.
Dari hasil analisis ini ada dugaan bahwa swarm yang terjadi berkaitan dengan mekanisme penyesaran lokal, apalagi didukung dengan data bentuk gelombang yang menunjukkan fasa gelombang S (shear) yang tampak kuat dan jelas.
Namun demikian hingga saat ini belum diperoleh referensi mengenai keberadaan struktur sesar aktif yang diduga menjadi pembangkit gempa swarm ini. Hasil kajian yang dilakukan Pepen Supendi dkk tahun 2018, sudah menyebutkan adanya klaster aktivitas gempa di barat daya Gunung Salak ini.
Di klaster ini terjadi sembilan kali gempa selama periode 2011-2015 yang memiliki magnitudo M 2,0 hingga M 4,6. Dalam peta seismisitas Jawa Barat dan Banten periode 1990-2000 juga tampak adanya klaster aktivitas gempa yang cukup mencolok di Barat Daya Gunung Salak. "Ini artinya aktivitas gempa Klaster Bogor ini sebenarnya sudah sering terjadi sejak lama," katanya.
Berdasarkan data hasil monitoring BMKG terkini, tampak ada kecenderungan frekuensi kejadian gempa swarm semakin meningkat. Aktivitas gempa ini merupakan cerminan berlangsungnya proses pelepasan tegangan pada batuan kulit Bumi yang berlangsung karena karakteristik batuan yang rapuh (brittle).
Jika medan tegangan yang tersimpan dalam sudah habis, maka aktivitas gempa swarm ini dengan sendirinya akan berakhir. Bagi kalangan ahli, gempa swarms merupakan fenomena alam biasa. Namun demikian karena fenomena semacam ini jarang terjadi dan masyarakat sebagian besar belum banyak memahaminya, maka wajar jika banyak warga yang merasa resah.
Pada beberapa kasus gempa swarm biasa juga terjadi di zona gunungapi. Swarms dapat terjadi di bagian yang mengalami akumulasi medan tegangan berkaitan dengan aktivitas pergerakan magma. Selain berkaitan dengan aktivitas vulkanisme, beberapa laporan menunjukkan bahwa gempa swarms juga dapat terjadi di kawasan non vulkanik. Fenomena swarms memang dapat terjadi pada kawasan dengan karakteristik batuan rapuh dan mudah mengalami retakan-retakan (fractures).
Untuk menjawab apakah fenomena swarm pada klaster Bogor ini dibangkitkan oleh aktivitas sesar (tektonik) atau vulkanisme, kata Daryono, memang masih perlu ada kajian yang lebih mendalam untuk menjawabnya. "Terlepas dari faktor penyebab pembangkit gempa swarm, yang pasti rentetan aktivitas gempa yang terjadi saat ini dan sebelumnya sudah cukup menjadi petunjuk bahwa adanya sumber gempa pada Klaster sebelah baratdaya Gunung Salak," pungkasnya.
(thm)