Disnaker Depok ke Perusahaan: Pekerjakan Difabel Hukumnya Wajib
A
A
A
DEPOK - Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mewajibkan setiap perusahaan untuk menerima karyawan difabel dengan kuota satu persen dari jumlah karyawan yang ada di perusahaan. Aturan penerimaan karyawan disabilitas tersebut sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Sesuai dengan aturan dan regulasi, minimal satu persen dari jumlah pegawai di perusahaan. Contohnya, kalau 400 karyawan paling tidak empat orang lah, jadi wajib hukumnya," ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Depok Manto saat membuka Job Fiar 2019, Rabu (14/8/2019).
Menurut Manto, disabilitas ini bukan orang sakit tapi memiliki keterbatasan fisik dan sebenarnya memiliki hak serta kesempatan kerja yang sama dengan orang normal. "Itu menurut undang-undang harus satu persen dari jumlah pegawai yang ada di perusahaan. Itu sudah berlaku di Depok, dan itukan seluruh Indonesia," tukasnya.
Dia mengemukakan aturan tersebut mengandung konsekuensi yang mengikat bagi perusahaan. Sebab jika tidak ditaati bakal ada sanksi yang menanti. "Tentu undang-undang sudah katakan ada sanksi, apakah sanksi administrasi, tapi saya belum temukan perusahaan tidak menerima disabilitas. Karena setahu saya belum ada yang menolak dan ada aturan tertentu di masing-masing perusahaan itu yang harus dipenuhi sesuai kualifikasi pekerjaan," ucapnya.
Mengenai tenaga kerja asing, kata dia, di Depok sudah ada lebih kurang 300 orang. Menurut data, kebanyakan mereka bekerja di perusahaan manufaktur. "Kalau garmen hampir tidak ada. Pekerja asing yang kita temukan juga didominasi dari Korea dan Jepang, karena perusahaannya kebanyakan berasal dari sana," katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FSPMI) Depok, Wido Pratikno, mengatakan, sesuai undang–undang, warga negara asing (WNA) memang diperbolehkan bekerja di Indonesia asalkan menjadi staf ahli. Itupun dengan sejumlah syarat, seperti mendapat pendampingan dari pekerja Indonesia serta diwajibkan untuk belajar bahasa Indonesia.
Namun dalam revisi UU Nomor 13/2003, kata dia, ada peluang WNA bekerja di Indonesia dibuka seluas–luasnya tanpa persyaratan tersebut. Bidangnya pun tidak hanya staf ahli namun bisa merambah ke Human Resource Department (HRD). "Kalau HRD sampai dipegang asing kan gak boleh, budayanya kan beda. Maka kita akan lawan itu," katanya.
Wido mengungkapkan, sebelum revisi UU tersebut digodok, dirinya sudah menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan pekerja asing yang melakukan tugas tidak sesuai dengan jabatannya. "Beberapa kali ada temuan, sekitar tiga sampai empat orang yang jabatannya sebagai staf ahli tapi bekerjanya tidak sebagai staf ahli. Kita laporkan itu dan mereka sempat ditahan di Imigrasi Depok," paparnya.
Ia memastikan akan terus melakukan penolakan terhadap revisi UU Nomor 13/2003 tersebut, termasuk melakukan audiensi dengan Pemkot dan DPRD Depok. Ia meminta agar para pemegang keputusan di Depok dapat memberikan perlindungan terhadap nasib buruh.
"Di tempat lain seperti Karawang dan Bandung, sudah merekomendasikan penolakan. Saya minta, di Depok juga ada rekomendasi penolakan itu. Revisi itu jelas akan merugikan nasib buruh karena lapangan kerja lebih susah padahal jumlah pengangguran saja sudah banyak," pungkasnya.
"Sesuai dengan aturan dan regulasi, minimal satu persen dari jumlah pegawai di perusahaan. Contohnya, kalau 400 karyawan paling tidak empat orang lah, jadi wajib hukumnya," ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Depok Manto saat membuka Job Fiar 2019, Rabu (14/8/2019).
Menurut Manto, disabilitas ini bukan orang sakit tapi memiliki keterbatasan fisik dan sebenarnya memiliki hak serta kesempatan kerja yang sama dengan orang normal. "Itu menurut undang-undang harus satu persen dari jumlah pegawai yang ada di perusahaan. Itu sudah berlaku di Depok, dan itukan seluruh Indonesia," tukasnya.
Dia mengemukakan aturan tersebut mengandung konsekuensi yang mengikat bagi perusahaan. Sebab jika tidak ditaati bakal ada sanksi yang menanti. "Tentu undang-undang sudah katakan ada sanksi, apakah sanksi administrasi, tapi saya belum temukan perusahaan tidak menerima disabilitas. Karena setahu saya belum ada yang menolak dan ada aturan tertentu di masing-masing perusahaan itu yang harus dipenuhi sesuai kualifikasi pekerjaan," ucapnya.
Mengenai tenaga kerja asing, kata dia, di Depok sudah ada lebih kurang 300 orang. Menurut data, kebanyakan mereka bekerja di perusahaan manufaktur. "Kalau garmen hampir tidak ada. Pekerja asing yang kita temukan juga didominasi dari Korea dan Jepang, karena perusahaannya kebanyakan berasal dari sana," katanya.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia (FSPMI) Depok, Wido Pratikno, mengatakan, sesuai undang–undang, warga negara asing (WNA) memang diperbolehkan bekerja di Indonesia asalkan menjadi staf ahli. Itupun dengan sejumlah syarat, seperti mendapat pendampingan dari pekerja Indonesia serta diwajibkan untuk belajar bahasa Indonesia.
Namun dalam revisi UU Nomor 13/2003, kata dia, ada peluang WNA bekerja di Indonesia dibuka seluas–luasnya tanpa persyaratan tersebut. Bidangnya pun tidak hanya staf ahli namun bisa merambah ke Human Resource Department (HRD). "Kalau HRD sampai dipegang asing kan gak boleh, budayanya kan beda. Maka kita akan lawan itu," katanya.
Wido mengungkapkan, sebelum revisi UU tersebut digodok, dirinya sudah menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan pekerja asing yang melakukan tugas tidak sesuai dengan jabatannya. "Beberapa kali ada temuan, sekitar tiga sampai empat orang yang jabatannya sebagai staf ahli tapi bekerjanya tidak sebagai staf ahli. Kita laporkan itu dan mereka sempat ditahan di Imigrasi Depok," paparnya.
Ia memastikan akan terus melakukan penolakan terhadap revisi UU Nomor 13/2003 tersebut, termasuk melakukan audiensi dengan Pemkot dan DPRD Depok. Ia meminta agar para pemegang keputusan di Depok dapat memberikan perlindungan terhadap nasib buruh.
"Di tempat lain seperti Karawang dan Bandung, sudah merekomendasikan penolakan. Saya minta, di Depok juga ada rekomendasi penolakan itu. Revisi itu jelas akan merugikan nasib buruh karena lapangan kerja lebih susah padahal jumlah pengangguran saja sudah banyak," pungkasnya.
(thm)