MRT Mengubah gaya Hidup, Mendekatkan Keluarga
A
A
A
Raut wajah Roland, 52, tampak lelah. Bergulat dengan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, membuatnya ingin sesegera mungkin pulang kerumahnya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Dengan tas selempang kulit Roland duduk di kursi dekat pintu di gerbong 6 rangkaian mass rapid transit (MRT). Usai duduk Roland lantas menyelonjorkan kakinya. “Jakarta panas ya, untung keretanya adem,” celoteh Roland saat berbincang dengan seorang lelaki muda yang duduk di sampingnya.
Perbincangan keduanya di gerbong MRT sore kemarin tampak begitu akrab. Obrolan makin hangat kala keduanya membahas soal ditolaknya sidang gugatan capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai pengacara dan praktisi hukum, Roland paham betul seluk-beluk masalah ini. Pria muda berumur sekitar 20 tahunan itu pun tampak asyik mendengarkan pendapat Roland. Saat asyik mengobrol tibatiba ponsel Roland berdering.
Roland tersenyum kecil. Dia tampak bercanda dengan suara dari dalam ponsel. Janji akan pulang cepat begitu jelas terdengar saat dia sampaikan kepada seseorang dalam ponsel. “Eyang sudah di kereta ini. Sebentar lagi sampai, nanti eyang beliin donat ya ,” ucap Roland yang kemudian mengucapkan salam mengakhiri pembicaraannya.
Roland adalah satu di antara ribuan warga Jakarta dan sekitarnya yang kini gandrung dengan MRT. Moda transportasi teranyar di Ibu Kota ini diakui mengubah banyak gaya hidupnya. Bila biasanya dia menggunakan kendaraan pribadi dari rumahnya di sekitaran Jalan Fatmawati menuju Jalan Gajah Mada, sejak beberapa minggu lalu dia kerap menggunakan MRT.
Dari rumahnya ke Stasiun MRT Fatmawati Roland mengguna kan ojek online dengan tarif Rp5.000. Pilihan ini dilakukan karena lebih praktis dan cepat sampai. “Atau kadang ke stasiun berangkat bareng sama anak saya,” ucapnya.
Tak butuh waktu lama. Setiba di stasiun dia bisa langsung naik ‘Ratangga’ ini menuju tempat kerja. Selang waktu keberangkatan yang hanya 5 menit membuat Roland tak lelah menunggu MRT. Masuk stasiun, tempel kartu, masuk kereta. “Praktis sekali,” ujarnya. MRT begitu membantu Roland.
Meskipun secara ongkos menjadi lebih mahal karena harus ditambah ojek daring , saat ini naik MRT adalah pilihan terbaik. Hari-harinya jadi berubah. Dia tak lagi lelah bergulat dengan kemacetan yang menjemukan.
Waktunya semakin berkualitas. Setiap hari dia makin banyak memiliki waktu yang digunakan untuk bermain dengan cucu pertamanya. Waktu pulang tak sampai lebih dari 1 jam. Tarif MRT terjauh hanya Rp14.000.
Gambaran kehidupannya kontras dibandingkan jika memaksa bekerja dengan membawa kendaraan pribadi. Dengan kendaraan pribadi, perjalanan pulang dari Pengadilan Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada menuju rumahnya butuh waktu hampir 1,5 jam. Dia pun kerap kelelahan saat menyetir di tengah jalan.
Tak jarang dia ha rus menepi sejenak melepas lelah. “Senang sekali sekarang. Pulang ke rumah enggak capai. Ca painya justru main sama cucu,” kelakar Roland. Herman, pekerja yang berkantor di Menara Standard Chartered mengaku sangat terbantu dengan hadirnya MRT.
Lelaki yang juga berdomisili di daerah di sekitar Jalan Fatmawati ini hanya memerlukan waktu kurang dari 30 menit untuk sampai ke tempat kerja. “Bahkan 30 menit itu saya sudah bisa duduk di depan komputer kantor,” ujarnya. Ini tak pernah terjadi saat dia membawa kendaraan sendiri sebelumnya. Perjalanan dari Fatmawati ke kantor paling tidak butuh waktu 1 hingga 1,5 jam.
Cari Makan di Blok M
Lain halnya dengan Theresia, 32; Indarto, 35; dan Sisi, 32, tiga karyawan swasta yang bekerja di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Kerap kali ketiganya memanfaatkan MRT untuk mencari makan di kawasan Blok M saat jam makan siang.
Dengan waktu tempuh yang singkat, MRT menjadi pilihan tepat untuk berkuliner di Blok M atau joging di kawasan Senayan. “Dari Setiabudi ke Blok M kan enggak lebih dari 10 menit. Yah, waktu jam makan siang 1 jam cukuplah,” ucap Indarto.
Dia dan teman-temannya lebih suka mencari makan di beberapa tempat karena jika makan di kantin kantor terasa sangat membosankan. “Kalau di Blok M kan banyak tuh . Kalau bosan lagi ke PI (Plaza Indonesia), sayang saja harganya mahal-mahal,” ucapnya.
Setelah tiga bulan beroperasi, MRT menjadi andalan baru moda transportasi Ibu Kota. Kereta ini pembangunannya dimulai saat Presiden Joko Widodo masih gubernur DKI Jakarta. Tak mengherankan jika setiap hari peminat MRT terus bertambah.
Di Lebak Bulus, tempat parkir (park and ride) tampak mulai disesaki mobil dan sepeda motor. Dengan alasan kepraktisan, banyak warga sekitar Jakarta seperti Ciputat, Pemulang, Bintaro memilih memarkirkan kendaraan di Lebak Bulus, lalu berganti naik MRT.
Kian hari suasana di dalam MRT juga jauh lebih baik. Gerbong kereta saat awal-awal beroperasi dipenuhi masyarakat yang membawa makanan, kali ini tak terlihat lagi. Suasana jauh lebih menyenangkan, apalagi di dalam kereta tidak sampai berdesak-desakan.
Di stasiun, antrean panjang penumpang yang terlihat saat uji coba kini nyaris tak terlihat lagi. Stasiun tampak lengang. Antrean memang terjadi, namun hanya terlihat di dekat mesin tapping kartu. Banyaknya antrean ini bisa diatasi dengan sejumlah petugas yang tampak berjaga.
Kondisi tak jauh berbeda juga terlihat di peron dekat rel kereta. Kepadatan hanya terlihat di jam-jam tertentu, khususnya saat kereta datang dan kereta pergi. Di luar jam sibuk kepadatan stasiun nyaris tak terlihat. Bersih, tertib, cepat.
Demikian gambaran budaya baru warga Jakarta pengguna MRT ini. KORAN SINDO yang menjajal perjalanan dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) ke Stasiun Lebak Bulus membutuhkan waktu 28 menit.
Waktu tempuh ini sesuai janji Direktur Utama PT Mass Rapid Transit William Subandar yang mengatakan dari HI ke Lebak Bulus tak butuh 30 menit. Perjalanan sepanjang 16 kilometer (km) ini melintasi 13 stasiun.
Kecepatan MRT antara 40-60 km/jam. Di setiap stasiun MRT berhenti 30 detik hing ga 1,5 menit. Lama tidaknya pemberhentian tergantung kepadatan penumpang. Sampai Stasiun Lebak Bulus, terlihat banyak penumpang yang turun di titik akhir jalur MRT ini.
Namun, para penumpang mengeluhkan kondisi park and ride yang dinilai terlalu jauh. Berjarak sekitar 150 meter, penumpang MRT harus berjalan kurang sekitar 5 menit dari stasiun menuju park and ride . “Jauh sekali.
Harusnya bisa dekat,” keluh seorang penumpang, Yogi, 43. Kondisi yang agak jauh ini dimanfaatkan ojek. Setiap men jelang sore, mereka tampak berkumpul di sekitaran Stasiun MRT Lebak Bulus dan park and ride . Satu kali jalan mereka mengenakan biaya Rp5.000.
“Sangat murah dibandingkan kita jalan,” ucap Yogi. Ucapan Yogi diamini Sugih, 28, tukang ojek online. Saban hari dia mangkal di kawasan Stasiun MRT Lebak Bulus. Dari perjalanan singkat antara park and ride hingga stasiun dia mampu mengantongi untung hingga puluhan ribu rupiah per harinya. (Yan Yusuf)
Dengan tas selempang kulit Roland duduk di kursi dekat pintu di gerbong 6 rangkaian mass rapid transit (MRT). Usai duduk Roland lantas menyelonjorkan kakinya. “Jakarta panas ya, untung keretanya adem,” celoteh Roland saat berbincang dengan seorang lelaki muda yang duduk di sampingnya.
Perbincangan keduanya di gerbong MRT sore kemarin tampak begitu akrab. Obrolan makin hangat kala keduanya membahas soal ditolaknya sidang gugatan capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai pengacara dan praktisi hukum, Roland paham betul seluk-beluk masalah ini. Pria muda berumur sekitar 20 tahunan itu pun tampak asyik mendengarkan pendapat Roland. Saat asyik mengobrol tibatiba ponsel Roland berdering.
Roland tersenyum kecil. Dia tampak bercanda dengan suara dari dalam ponsel. Janji akan pulang cepat begitu jelas terdengar saat dia sampaikan kepada seseorang dalam ponsel. “Eyang sudah di kereta ini. Sebentar lagi sampai, nanti eyang beliin donat ya ,” ucap Roland yang kemudian mengucapkan salam mengakhiri pembicaraannya.
Roland adalah satu di antara ribuan warga Jakarta dan sekitarnya yang kini gandrung dengan MRT. Moda transportasi teranyar di Ibu Kota ini diakui mengubah banyak gaya hidupnya. Bila biasanya dia menggunakan kendaraan pribadi dari rumahnya di sekitaran Jalan Fatmawati menuju Jalan Gajah Mada, sejak beberapa minggu lalu dia kerap menggunakan MRT.
Dari rumahnya ke Stasiun MRT Fatmawati Roland mengguna kan ojek online dengan tarif Rp5.000. Pilihan ini dilakukan karena lebih praktis dan cepat sampai. “Atau kadang ke stasiun berangkat bareng sama anak saya,” ucapnya.
Tak butuh waktu lama. Setiba di stasiun dia bisa langsung naik ‘Ratangga’ ini menuju tempat kerja. Selang waktu keberangkatan yang hanya 5 menit membuat Roland tak lelah menunggu MRT. Masuk stasiun, tempel kartu, masuk kereta. “Praktis sekali,” ujarnya. MRT begitu membantu Roland.
Meskipun secara ongkos menjadi lebih mahal karena harus ditambah ojek daring , saat ini naik MRT adalah pilihan terbaik. Hari-harinya jadi berubah. Dia tak lagi lelah bergulat dengan kemacetan yang menjemukan.
Waktunya semakin berkualitas. Setiap hari dia makin banyak memiliki waktu yang digunakan untuk bermain dengan cucu pertamanya. Waktu pulang tak sampai lebih dari 1 jam. Tarif MRT terjauh hanya Rp14.000.
Gambaran kehidupannya kontras dibandingkan jika memaksa bekerja dengan membawa kendaraan pribadi. Dengan kendaraan pribadi, perjalanan pulang dari Pengadilan Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada menuju rumahnya butuh waktu hampir 1,5 jam. Dia pun kerap kelelahan saat menyetir di tengah jalan.
Tak jarang dia ha rus menepi sejenak melepas lelah. “Senang sekali sekarang. Pulang ke rumah enggak capai. Ca painya justru main sama cucu,” kelakar Roland. Herman, pekerja yang berkantor di Menara Standard Chartered mengaku sangat terbantu dengan hadirnya MRT.
Lelaki yang juga berdomisili di daerah di sekitar Jalan Fatmawati ini hanya memerlukan waktu kurang dari 30 menit untuk sampai ke tempat kerja. “Bahkan 30 menit itu saya sudah bisa duduk di depan komputer kantor,” ujarnya. Ini tak pernah terjadi saat dia membawa kendaraan sendiri sebelumnya. Perjalanan dari Fatmawati ke kantor paling tidak butuh waktu 1 hingga 1,5 jam.
Cari Makan di Blok M
Lain halnya dengan Theresia, 32; Indarto, 35; dan Sisi, 32, tiga karyawan swasta yang bekerja di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Kerap kali ketiganya memanfaatkan MRT untuk mencari makan di kawasan Blok M saat jam makan siang.
Dengan waktu tempuh yang singkat, MRT menjadi pilihan tepat untuk berkuliner di Blok M atau joging di kawasan Senayan. “Dari Setiabudi ke Blok M kan enggak lebih dari 10 menit. Yah, waktu jam makan siang 1 jam cukuplah,” ucap Indarto.
Dia dan teman-temannya lebih suka mencari makan di beberapa tempat karena jika makan di kantin kantor terasa sangat membosankan. “Kalau di Blok M kan banyak tuh . Kalau bosan lagi ke PI (Plaza Indonesia), sayang saja harganya mahal-mahal,” ucapnya.
Setelah tiga bulan beroperasi, MRT menjadi andalan baru moda transportasi Ibu Kota. Kereta ini pembangunannya dimulai saat Presiden Joko Widodo masih gubernur DKI Jakarta. Tak mengherankan jika setiap hari peminat MRT terus bertambah.
Di Lebak Bulus, tempat parkir (park and ride) tampak mulai disesaki mobil dan sepeda motor. Dengan alasan kepraktisan, banyak warga sekitar Jakarta seperti Ciputat, Pemulang, Bintaro memilih memarkirkan kendaraan di Lebak Bulus, lalu berganti naik MRT.
Kian hari suasana di dalam MRT juga jauh lebih baik. Gerbong kereta saat awal-awal beroperasi dipenuhi masyarakat yang membawa makanan, kali ini tak terlihat lagi. Suasana jauh lebih menyenangkan, apalagi di dalam kereta tidak sampai berdesak-desakan.
Di stasiun, antrean panjang penumpang yang terlihat saat uji coba kini nyaris tak terlihat lagi. Stasiun tampak lengang. Antrean memang terjadi, namun hanya terlihat di dekat mesin tapping kartu. Banyaknya antrean ini bisa diatasi dengan sejumlah petugas yang tampak berjaga.
Kondisi tak jauh berbeda juga terlihat di peron dekat rel kereta. Kepadatan hanya terlihat di jam-jam tertentu, khususnya saat kereta datang dan kereta pergi. Di luar jam sibuk kepadatan stasiun nyaris tak terlihat. Bersih, tertib, cepat.
Demikian gambaran budaya baru warga Jakarta pengguna MRT ini. KORAN SINDO yang menjajal perjalanan dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) ke Stasiun Lebak Bulus membutuhkan waktu 28 menit.
Waktu tempuh ini sesuai janji Direktur Utama PT Mass Rapid Transit William Subandar yang mengatakan dari HI ke Lebak Bulus tak butuh 30 menit. Perjalanan sepanjang 16 kilometer (km) ini melintasi 13 stasiun.
Kecepatan MRT antara 40-60 km/jam. Di setiap stasiun MRT berhenti 30 detik hing ga 1,5 menit. Lama tidaknya pemberhentian tergantung kepadatan penumpang. Sampai Stasiun Lebak Bulus, terlihat banyak penumpang yang turun di titik akhir jalur MRT ini.
Namun, para penumpang mengeluhkan kondisi park and ride yang dinilai terlalu jauh. Berjarak sekitar 150 meter, penumpang MRT harus berjalan kurang sekitar 5 menit dari stasiun menuju park and ride . “Jauh sekali.
Harusnya bisa dekat,” keluh seorang penumpang, Yogi, 43. Kondisi yang agak jauh ini dimanfaatkan ojek. Setiap men jelang sore, mereka tampak berkumpul di sekitaran Stasiun MRT Lebak Bulus dan park and ride . Satu kali jalan mereka mengenakan biaya Rp5.000.
“Sangat murah dibandingkan kita jalan,” ucap Yogi. Ucapan Yogi diamini Sugih, 28, tukang ojek online. Saban hari dia mangkal di kawasan Stasiun MRT Lebak Bulus. Dari perjalanan singkat antara park and ride hingga stasiun dia mampu mengantongi untung hingga puluhan ribu rupiah per harinya. (Yan Yusuf)
(nfl)