Kedaulatan Tak Bisa Dikompromikan
A
A
A
Pemprov DKI mengambil alih kedaulatan di lahan hasil reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Kawasan tersebut kini tak lagi eksklusif dan terbuka bagi siapa saja. “Saya melihatnya yang paling penting kedaulatan tidak bisa dikompromikan,” tegas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bagaimana sikap Anies terhadap reklamasi dan pandangannya, berikut petikan wawancaranya.
Mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) reklamasi, ada yang bilang bangunan itu disegel kenapa tidak dirobohkan sekalian kemudian dibuat naturalisasi?
Kenapa tidak, bangunan itu dibuat mengikuti peraturan yang dibuat Pemprov DKI, Pergub Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK). Mereka membangun sesuai peraturan yang kami buat. Saya belum bertugas saat itu. Kemudian kalau saya mengubah peraturannya, membuat bangunan menjadi ilegal sehingga bisa dihancurkan. Tapi yang terjadi karena mereka membangun legal dan sesuai panduan, ini masalahnya.
Dalam hukum tata ruang pelaksananya tidak boleh berlaku surut. Misalnya tempat ini diperbolehkan membangun rumah tiga lantai, lima tahun kemudian pergubnya diubah jadi lahan hijau. Artinya rumah ini tidak boleh dihancurkan karena ketika rumah dibangun dia mengikuti ketentuan. Karena ketika itu terjadi, maka orang tidak percaya lagi pada pergub, tidak percaya lagi undang-undang karena undang-undangnya surut. Tapi, bagi tempat yang masih kosong peraturan itu bisa diterapkan.
Itu yang kemarin saya katakan kalau saya mengejar tepuk tangan, puji-pujian hancurkan gedung kemudian dimana-mana orang bertepuk tangan. Tapi yang terjadi orang tidak percaya lagi keputusan gubernur. Orang tidak percaya lagi pada ketetapan yang dibuat pemerintah karena yang melanggarnya pemerintah itu sendiri. Kalau yang melanggarnya pihak bersengketa tanah itu persoalan lain. Suka tidak suka isi pergub bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Berbicara Pergub Nomor 206 Tahun 2016, gubernur sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama merasa dikambinghitamkan. Dalam tanda kutip dalangnya karena turun IMB di pulau reklamasi?
Bila tidak ada pergub, tidak ada PRK, tidak bisa keluar Hak Guna Bangunan (HGB) karena HGB mengacu pada satu ada lahannya, dua ada PRK kemudian terbit HGB. Setelah keluar baru bisa membangun, namanya juga hak guna. Jadi bila tidak ada pergub, maka lahan itu tidak ada rencana tata kota (RTK).
Pergub itu sengaja dikebut sebelum pergantian pemerintahan?
Pergub ini 25 Oktober sebelum cuti kampanye. Saya tidak tahu kalau dikebut atau tidak, tapi faktanya dibuat bulan Oktober. Jadi itu menyalahkan atau tidak, tidak perlu soal kambing hitam. Keputusan pergub itu membuat semua kegiatan membangun menjadi legal karena mereka membangun sesuai RTK. Kalau tidak ada RTK kira-kira mau bangunnya dimana? Jalannya dimana?
Begitu ada PRK, maka HGB keluar. Mereka bisa membangun dan ngurus IMB. Jadi ini semua terjadi sebelum saya bertugas. Ada tambahan satu lagi dalam konteks reklamasi dan harus disadari kami Pemprov DKI sebagai regulator untuk seluruh urusan Jakarta. Namun, dalam reklamasi bukan regulator saja melainkan pihak yang terikat dalam perjanjian kerja sama. Jadi, reklamasi ini diaturnya proyek kerja sama antara Pemprov DKI dengan swasta.
Seperti ikatan bisnis, begitu pak?
Iya dan perjanjian kerja sama itu bersifat mengikat seperti undang-undang bagi pihak yang ada dalam perjanjian. Urutannya begini saya jelaskan sedikit. Reklamasi itu program swasta atau pemerintah? Itu program pemerintah, ada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 kemudian ada Perda tahun 2005 yang mengharuskan Pemprov DKI melakukan kegiatan reklamasi. Bila Pemprov DKI tidak bisa atau tidak mampu melaksanakan sendiri bisa melibatkan swasta. Nah, pada 1997 yang dilakukan adalah membahas kerja sama antara swasta dengan Pemprov DKI. Perjanjian kerja sama ini mengalami adendum atau amandemen perubahan itu sudah tiga kali sebelum saya bertugas.
Pulau mana saja yang mengalami perubahan?
Pulau D atau pantai D. Saya mulai bertugas 16 Oktober. Tanggal 2 Oktober ada penandatanganan kerja sama, 5 Oktober ada penandatanganan kerja sama, dan 11 Agustus juga ada.
Apa saja yang diubah dalam adendum tersebut?
Seperti yang saya sampaikan tadi penting bagi kita saat ini menyadari apa yang kemarin kita kerjakan itu bagian dari menghargai prinsip-prinsip dasar hukum, kepastian atas hukum sekaligus pertimbangan skala yang sudah telanjur jadi bangunan lebih dari 1.000. Sebetulnya bukan 900 saja itu bahannya 5% dari seluruh lahan hasil reklamasi. Artinya secara jumlah masih kecil, tapi memang obrolan menjadi besar.
Berarti ada 95% lagi yang belum tergarap, rencananya buat apa?
Betul. Kita akan revisi RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). RDTR itu mengatur kawasan dijadikan apa, nanti bentuknya perda. Saat ini belum ada kegiatan apapun. Mereka (pengembang) berhenti dan kami tak akan mengeluarkan izin. Oke jadi berhenti, ini adalah bangunan yang sudah telanjur sebelum kita bertugas. Bangunan yang dulu kami segel dan ini tuntas prosesnya. Dulu mereka bangun terus segel dicuekin tuh pemerintah.
Sudah dua tahun ya pak, 2015 hingga 2017?
Saya tidak ada caci maki, tidak ada bentak-bentak mereka (pengembang). Saya cuma katakan kami segel dan kedaulatan kita tegakkan di tempat ini. Alhamdulillah nurut, bayar tuh semua denda dan sanksi.
Ada yang bilang Pak Anies concern soal lingkungan dan lain sebagainya, tapi tidak mengajak masyarakat ikut serta dalam diskusi ini. Kemudian nasib nelayan balik lagi ke masalah lingkungan?
Itu karena tidak memahami permasalahan. Orang begitu mendengar IMB membayangkan soal reklamasi. Tidak, ini soal bangun seluas 5% yang sudah telanjur jadi, tidak ada urusannya yang disebut sebagai nelayan, itu enggak ada. Ada IMB atau tidak enggak berpengaruh pada nelayan. Menurut saya itu dilebih-lebihkan dan justru seharusnya proporsional.
Kalau saya tidak hentikan reklamasi, membangun lahan itu hanya perlu 12 hingga 18 bulan. Itu dampak lingkungannya mengerikan sekali dan saya hentikan. Karena dihentikan, orang tidak menyaksikan proses rusaknya. Kami hentikan kerusakan itu. Boleh dicek setelah berhenti nelayan melaut lebih leluasa. Ikan juga bertumbuhan lagi. Ini adalah bangunan di atas lahan reklamasi yang tidak ada urusannya dengan laut. Jadi malah kebanyakan merasa begini hukumnya dirasa terlalu ringan.
Mungkin dendanya terlalu ringan, berapa?
Denda mencapai Rp7 miliar. Nah, soal hukuman atau denda ini ilustrasi saja. Kalau rumah kita kemasukan pencuri lalu pencurinya tertangkap kita marah sama si pencuri terus kita pukuli ramai-ramai supaya amarah kita tersalurkan atau kita tegakkan hukuman sesuai undang-undang. Saya ini pakai seragam nih (Pemprov DKI), saya penyelenggara negara ketika menghukum bukan menyalurkan kemarahan. Ketika menghukum itu saya menetapkan, menaati peraturan, jadi menghukum dalam rangka menjalankan peraturan bukan memuaskan perasaan.
Berarti tidak ada celah hukum sama sekali soal pembangunan di atas pulau D?
Ini kan baru 5%. Sekarang kita masih punya lahan cukup besar yang nanti diatur, tapi sudah ada kunci perjanjian kerja sama.
Perjanjian kerja sama itu untuk 100% lahan di sana atau bagaimana?
Jadi kira-kira mereka mendapatkan lahan yang bisa mereka bangun untuk kebutuhan usaha dan lain-lain sekitar 35%, yang 65% dikelola Pemprov DKI.
Ada 17 pulau reklamasi, 4 sudah jadi dan 13 pulau dihentikan. Satu sudah ada bangunan yang ber-IMB. Bagaimana dengan 3 pulau yang telanjur jadi?
Ini bukan selera gubernur mau diapain ya gubernur bekerja sesuai undang-undang. Kami ini berseragam artinya kita ini penyelenggara negara dan negara ketika bekerja ikut undang-undang atau peraturan pemerintah atau perda.
Soal pantai lain yang mungkin tadi bapak bilang baru sepertiga selesai, tidak takut abrasi?
Untuk pantai C tidak karena mereka (pengembang) praktis telah menyiapkan penahannya. Yang menjadi tantangan adalah pantai bersama atau pulau G belum sepenuhnya jadi dan ada potensi abrasi. Itu sedang dikaji teman-teman.
Buah simalakama juga ya pak?
Betul. Disitu karena posisinya ada permukaan laut kemudian sudah terjadi pembangunan reklamasi tapi yang muncul baru sebagian di bawah (permukaan laut). Sekarang mengalami abrasi dan akan dilakukan konsolidasi.
Kembali ke pantai D yang ramai dibicarakan soal retribusi 15% yang sebelum bapak menjabat masih dibahas di DPRD DKI dan baru sampai 5% kemudian menggantung. Apakah sekarang 5% akan ada kontribusi untuk Jakarta atau bagaimana ke depannya?
Ya jadi pembahasan perdanya berhenti. Di dalam perda itu mengatur rencana tata ruang, di dalam rencana tata ruang lalu ada pembicaraan mengenai kontribusi 15% dan pembahasannya berhenti.
Alasan berhenti karena mentok di 5%?
Tidak. Kan ada yang ketangkap korupsi kemudian OTT KPK lalu berhenti sehingga tidak tuntas. Pembahasan perda berhenti kemudian digantikan dengan pergub.
Yang tidak mengatur kontribusi 15%, karena itu?
Nah, itulah pertanyaan saya. Kalau serius mengusahakan 15% diatur juga dong di pergub. Masa yang dikasih pengembang panduan rancang kotanya. Kan yang mau diatur oleh perdanya itu rancangan tata kota lalu diatur juga soal kontribusi tambahan. Ketika rancangan perda berhenti gubernur mengeluarkan pergub sebagai pengganti, kenapa enggak diatur juga 15% di pergub?
Kepada pengembang dikasih pergub yang membuat mereka bisa membangun, kenapa soal 15% tak diikutkan sekalian, kenapa enggak dibuatkan pergub khusus soal itu. Kenapa gagal merealisasikan kemauan 15% bahkan pertanyaan lebih jauh lagi kenapa cuma 15%? Kenapa enggak 10%, 12%, kenapa tidak 17% atau 22%?
Menurut saya, publik berhak tahu kenapa dulu justru pengembang diberikan solusi, diberi pergub sementara yang disebut-sebut sebagai keinginan 15% kok tidak diatur sekalian malah ditanyakan ke saya yang tidak berurusan dengan itu semua. Lagi-lagi karena didorong banyaknya perspektif politis maka kita kehilangan hal-hal yang substansial. Saya melihatnya buat saya paling penting kedaulatan tidak dikompromikan.
Kalau kawasan itu menjadi kawasan tertutup, dikelola eksklusif, bahkan jika mereka mau bayar 100% kontribusi pun saya tidak terima. Saya tidak menjual 1 meter pun kedaulatan di republik ini kepada siapapun.
Justru yang sekarang kita lakukan adalah kita ambil alih kedaulatan itu. Tempat itu tidak jadi tempat eksklusif, tempat itu tidak jadi tertutup. Karena tempat terbuka maka milik kita, tidak perlu lagi untuk membayar. Jadi ini policy kita, ini wilayah kita bukan wilayah mereka. Ini wilayah Indonesia bukan wilayah tertutup. (Yan Yusuf)
Mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) reklamasi, ada yang bilang bangunan itu disegel kenapa tidak dirobohkan sekalian kemudian dibuat naturalisasi?
Kenapa tidak, bangunan itu dibuat mengikuti peraturan yang dibuat Pemprov DKI, Pergub Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK). Mereka membangun sesuai peraturan yang kami buat. Saya belum bertugas saat itu. Kemudian kalau saya mengubah peraturannya, membuat bangunan menjadi ilegal sehingga bisa dihancurkan. Tapi yang terjadi karena mereka membangun legal dan sesuai panduan, ini masalahnya.
Dalam hukum tata ruang pelaksananya tidak boleh berlaku surut. Misalnya tempat ini diperbolehkan membangun rumah tiga lantai, lima tahun kemudian pergubnya diubah jadi lahan hijau. Artinya rumah ini tidak boleh dihancurkan karena ketika rumah dibangun dia mengikuti ketentuan. Karena ketika itu terjadi, maka orang tidak percaya lagi pada pergub, tidak percaya lagi undang-undang karena undang-undangnya surut. Tapi, bagi tempat yang masih kosong peraturan itu bisa diterapkan.
Itu yang kemarin saya katakan kalau saya mengejar tepuk tangan, puji-pujian hancurkan gedung kemudian dimana-mana orang bertepuk tangan. Tapi yang terjadi orang tidak percaya lagi keputusan gubernur. Orang tidak percaya lagi pada ketetapan yang dibuat pemerintah karena yang melanggarnya pemerintah itu sendiri. Kalau yang melanggarnya pihak bersengketa tanah itu persoalan lain. Suka tidak suka isi pergub bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.
Berbicara Pergub Nomor 206 Tahun 2016, gubernur sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama merasa dikambinghitamkan. Dalam tanda kutip dalangnya karena turun IMB di pulau reklamasi?
Bila tidak ada pergub, tidak ada PRK, tidak bisa keluar Hak Guna Bangunan (HGB) karena HGB mengacu pada satu ada lahannya, dua ada PRK kemudian terbit HGB. Setelah keluar baru bisa membangun, namanya juga hak guna. Jadi bila tidak ada pergub, maka lahan itu tidak ada rencana tata kota (RTK).
Pergub itu sengaja dikebut sebelum pergantian pemerintahan?
Pergub ini 25 Oktober sebelum cuti kampanye. Saya tidak tahu kalau dikebut atau tidak, tapi faktanya dibuat bulan Oktober. Jadi itu menyalahkan atau tidak, tidak perlu soal kambing hitam. Keputusan pergub itu membuat semua kegiatan membangun menjadi legal karena mereka membangun sesuai RTK. Kalau tidak ada RTK kira-kira mau bangunnya dimana? Jalannya dimana?
Begitu ada PRK, maka HGB keluar. Mereka bisa membangun dan ngurus IMB. Jadi ini semua terjadi sebelum saya bertugas. Ada tambahan satu lagi dalam konteks reklamasi dan harus disadari kami Pemprov DKI sebagai regulator untuk seluruh urusan Jakarta. Namun, dalam reklamasi bukan regulator saja melainkan pihak yang terikat dalam perjanjian kerja sama. Jadi, reklamasi ini diaturnya proyek kerja sama antara Pemprov DKI dengan swasta.
Seperti ikatan bisnis, begitu pak?
Iya dan perjanjian kerja sama itu bersifat mengikat seperti undang-undang bagi pihak yang ada dalam perjanjian. Urutannya begini saya jelaskan sedikit. Reklamasi itu program swasta atau pemerintah? Itu program pemerintah, ada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 kemudian ada Perda tahun 2005 yang mengharuskan Pemprov DKI melakukan kegiatan reklamasi. Bila Pemprov DKI tidak bisa atau tidak mampu melaksanakan sendiri bisa melibatkan swasta. Nah, pada 1997 yang dilakukan adalah membahas kerja sama antara swasta dengan Pemprov DKI. Perjanjian kerja sama ini mengalami adendum atau amandemen perubahan itu sudah tiga kali sebelum saya bertugas.
Pulau mana saja yang mengalami perubahan?
Pulau D atau pantai D. Saya mulai bertugas 16 Oktober. Tanggal 2 Oktober ada penandatanganan kerja sama, 5 Oktober ada penandatanganan kerja sama, dan 11 Agustus juga ada.
Apa saja yang diubah dalam adendum tersebut?
Seperti yang saya sampaikan tadi penting bagi kita saat ini menyadari apa yang kemarin kita kerjakan itu bagian dari menghargai prinsip-prinsip dasar hukum, kepastian atas hukum sekaligus pertimbangan skala yang sudah telanjur jadi bangunan lebih dari 1.000. Sebetulnya bukan 900 saja itu bahannya 5% dari seluruh lahan hasil reklamasi. Artinya secara jumlah masih kecil, tapi memang obrolan menjadi besar.
Berarti ada 95% lagi yang belum tergarap, rencananya buat apa?
Betul. Kita akan revisi RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). RDTR itu mengatur kawasan dijadikan apa, nanti bentuknya perda. Saat ini belum ada kegiatan apapun. Mereka (pengembang) berhenti dan kami tak akan mengeluarkan izin. Oke jadi berhenti, ini adalah bangunan yang sudah telanjur sebelum kita bertugas. Bangunan yang dulu kami segel dan ini tuntas prosesnya. Dulu mereka bangun terus segel dicuekin tuh pemerintah.
Sudah dua tahun ya pak, 2015 hingga 2017?
Saya tidak ada caci maki, tidak ada bentak-bentak mereka (pengembang). Saya cuma katakan kami segel dan kedaulatan kita tegakkan di tempat ini. Alhamdulillah nurut, bayar tuh semua denda dan sanksi.
Ada yang bilang Pak Anies concern soal lingkungan dan lain sebagainya, tapi tidak mengajak masyarakat ikut serta dalam diskusi ini. Kemudian nasib nelayan balik lagi ke masalah lingkungan?
Itu karena tidak memahami permasalahan. Orang begitu mendengar IMB membayangkan soal reklamasi. Tidak, ini soal bangun seluas 5% yang sudah telanjur jadi, tidak ada urusannya yang disebut sebagai nelayan, itu enggak ada. Ada IMB atau tidak enggak berpengaruh pada nelayan. Menurut saya itu dilebih-lebihkan dan justru seharusnya proporsional.
Kalau saya tidak hentikan reklamasi, membangun lahan itu hanya perlu 12 hingga 18 bulan. Itu dampak lingkungannya mengerikan sekali dan saya hentikan. Karena dihentikan, orang tidak menyaksikan proses rusaknya. Kami hentikan kerusakan itu. Boleh dicek setelah berhenti nelayan melaut lebih leluasa. Ikan juga bertumbuhan lagi. Ini adalah bangunan di atas lahan reklamasi yang tidak ada urusannya dengan laut. Jadi malah kebanyakan merasa begini hukumnya dirasa terlalu ringan.
Mungkin dendanya terlalu ringan, berapa?
Denda mencapai Rp7 miliar. Nah, soal hukuman atau denda ini ilustrasi saja. Kalau rumah kita kemasukan pencuri lalu pencurinya tertangkap kita marah sama si pencuri terus kita pukuli ramai-ramai supaya amarah kita tersalurkan atau kita tegakkan hukuman sesuai undang-undang. Saya ini pakai seragam nih (Pemprov DKI), saya penyelenggara negara ketika menghukum bukan menyalurkan kemarahan. Ketika menghukum itu saya menetapkan, menaati peraturan, jadi menghukum dalam rangka menjalankan peraturan bukan memuaskan perasaan.
Berarti tidak ada celah hukum sama sekali soal pembangunan di atas pulau D?
Ini kan baru 5%. Sekarang kita masih punya lahan cukup besar yang nanti diatur, tapi sudah ada kunci perjanjian kerja sama.
Perjanjian kerja sama itu untuk 100% lahan di sana atau bagaimana?
Jadi kira-kira mereka mendapatkan lahan yang bisa mereka bangun untuk kebutuhan usaha dan lain-lain sekitar 35%, yang 65% dikelola Pemprov DKI.
Ada 17 pulau reklamasi, 4 sudah jadi dan 13 pulau dihentikan. Satu sudah ada bangunan yang ber-IMB. Bagaimana dengan 3 pulau yang telanjur jadi?
Ini bukan selera gubernur mau diapain ya gubernur bekerja sesuai undang-undang. Kami ini berseragam artinya kita ini penyelenggara negara dan negara ketika bekerja ikut undang-undang atau peraturan pemerintah atau perda.
Soal pantai lain yang mungkin tadi bapak bilang baru sepertiga selesai, tidak takut abrasi?
Untuk pantai C tidak karena mereka (pengembang) praktis telah menyiapkan penahannya. Yang menjadi tantangan adalah pantai bersama atau pulau G belum sepenuhnya jadi dan ada potensi abrasi. Itu sedang dikaji teman-teman.
Buah simalakama juga ya pak?
Betul. Disitu karena posisinya ada permukaan laut kemudian sudah terjadi pembangunan reklamasi tapi yang muncul baru sebagian di bawah (permukaan laut). Sekarang mengalami abrasi dan akan dilakukan konsolidasi.
Kembali ke pantai D yang ramai dibicarakan soal retribusi 15% yang sebelum bapak menjabat masih dibahas di DPRD DKI dan baru sampai 5% kemudian menggantung. Apakah sekarang 5% akan ada kontribusi untuk Jakarta atau bagaimana ke depannya?
Ya jadi pembahasan perdanya berhenti. Di dalam perda itu mengatur rencana tata ruang, di dalam rencana tata ruang lalu ada pembicaraan mengenai kontribusi 15% dan pembahasannya berhenti.
Alasan berhenti karena mentok di 5%?
Tidak. Kan ada yang ketangkap korupsi kemudian OTT KPK lalu berhenti sehingga tidak tuntas. Pembahasan perda berhenti kemudian digantikan dengan pergub.
Yang tidak mengatur kontribusi 15%, karena itu?
Nah, itulah pertanyaan saya. Kalau serius mengusahakan 15% diatur juga dong di pergub. Masa yang dikasih pengembang panduan rancang kotanya. Kan yang mau diatur oleh perdanya itu rancangan tata kota lalu diatur juga soal kontribusi tambahan. Ketika rancangan perda berhenti gubernur mengeluarkan pergub sebagai pengganti, kenapa enggak diatur juga 15% di pergub?
Kepada pengembang dikasih pergub yang membuat mereka bisa membangun, kenapa soal 15% tak diikutkan sekalian, kenapa enggak dibuatkan pergub khusus soal itu. Kenapa gagal merealisasikan kemauan 15% bahkan pertanyaan lebih jauh lagi kenapa cuma 15%? Kenapa enggak 10%, 12%, kenapa tidak 17% atau 22%?
Menurut saya, publik berhak tahu kenapa dulu justru pengembang diberikan solusi, diberi pergub sementara yang disebut-sebut sebagai keinginan 15% kok tidak diatur sekalian malah ditanyakan ke saya yang tidak berurusan dengan itu semua. Lagi-lagi karena didorong banyaknya perspektif politis maka kita kehilangan hal-hal yang substansial. Saya melihatnya buat saya paling penting kedaulatan tidak dikompromikan.
Kalau kawasan itu menjadi kawasan tertutup, dikelola eksklusif, bahkan jika mereka mau bayar 100% kontribusi pun saya tidak terima. Saya tidak menjual 1 meter pun kedaulatan di republik ini kepada siapapun.
Justru yang sekarang kita lakukan adalah kita ambil alih kedaulatan itu. Tempat itu tidak jadi tempat eksklusif, tempat itu tidak jadi tertutup. Karena tempat terbuka maka milik kita, tidak perlu lagi untuk membayar. Jadi ini policy kita, ini wilayah kita bukan wilayah mereka. Ini wilayah Indonesia bukan wilayah tertutup. (Yan Yusuf)
(nfl)