Operasional Bus Listrik Transjakarta Masih Terganjal Perpres
A
A
A
JAKARTA - PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) memamerkan tiga unit bus listrik di kawasan Car Free Day (CFD), Bundaran HI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Minggu (5/5/2019) kemarin. Adapun tujuanya ternyata agar tiga unit bus yang tengah pra uji coba itu segera memiliki payung hukum.
Direktur Utama PT Transjakarta, Agung Wicaksono, mengatakan, selain untuk mensosialisasikan keberadaan bus listrik kepada masyarakat dan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih ramah kepada lingkungan, tujuan bus listrik pamer di CFD adalah agar pemerintah segera membuat peraturannya, khususnya peraturan presiden (perpres). "Kendaraan tanpa emisi ini belum ada perpres. Kami harap segera diterbitkan," ujar Agung saat dihubungi.
Agung menjelaskan, untuk tingkat Pemprov DKI, aturan bus listrik berupa peraturan gubernur (pergub) sedang dalam pembahasan. Sedangkan untuk tingkat nasional masih menunggu perpres. Selain itu, operasional bus listrik juga masih harus berhadapan dengan peraturan-peraturan sejumlah pihak, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan, yang mengatur pajak.
Ganjalan lainnya adalah keberadaan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Pada STNK dicantumkan besaran CC dari suatu kendaraan. Namun karena bus listrik tidak menggunakan bahan bakar, besaran CC tersebut belum bisa dicantumkan. "Uji coba itu akan dilakukan di kawasan wisata seperti monas, jadi di kawasan tertutup nanti pada waktu liburan sekolah anak-anak bisa nyobain di Monas," ungkapnya.
Anggota Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menuturkan, bus listrik sebagai terobosan teknologi percepatan armada bus tanpa jelaga (soot-free urban bus fleet) di Jakarta dan sekitarnya yang memiliki manfaat triple (triple-benefits). Bus listrik dapat meningkatkan kualitas udara, menyelamatkan iklim, dan trigger pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi dalam operasionalnya masih mengalami masalah tragis, yaitu terganjal peraturan, di mana regulasi terkait izin produksi, pemasaran dan pemanfaatannya belum ada. Sehingga dalam waktu dekat tidak memungkinkan pengoperasian bus listrik untuk tujuan pribadi maupun commercial.
"Peraturan payung dan peraturan pelaksanaan hingga ketentuan fiscal/ non fiscal incentive-nya masih belum ada. Termasuk draft Perpres Mobil Listrik yang sudah hampir dua tahun mangkrak, adalah bukti nyata bahwa rencana pengoperasioan bus listrik masih terganjal oleh peraturan,” tegasnya.
Ahmad membeberkan, pencemaran udara sudah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, khususnya penghuni perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi. Berdasarkan data pemantauan kualitas udara menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, pencemaran udara dan gas rumah kaca (GRK) masih menjadi ancaman laten bagi masyarakat di Jakarta dan sekitarnya.
Sekalipun sudah ditetapkan langkah-langkah pengendalian pencemaran udara dalam Peraturan Daerah Nomor 2/2005, namun data pemantauan masih menunjukkan tingginya paparan pencemaran udara terutama parameter PM2.5, PM10, SO2, NOx dan O3.
Menurut WHO pada 2016 parameter PM (partikel debu) berkontribusi terhadap 79.700 kematian dini di Indonesia, Ozon (O3) menyumbang lebih dari 900 kematian sehingga udara tercemar ini secara keseluruhan menyebabkan lebih dari 8% total kematian di Indonesia pada tahun tersebut. Sementara di Jakarta, 58,3% warga mengalami sakit/penyakit karena pencemaran udara dan harus membayar biaya medis Rp51,2 triliun, yang terefleksi pada tagihan besar kepada BPJS Kesehatan.
Pencemara udara di DKI Jakarta juga telah menyebabkan 3.700 kematian dini. Selain itu, tingginya tingkat emisi gas rumah kaca antropogenik, terutama CO2, Black Carbon, CH4, N2O, dan O3, juga berkontribusi terhadap perubahan iklim yang menyebabkan tingginya intensitas bencana, seperti badai, tanah longsor, banjir bandang, meluasnya sebaran penyakit seperti malaria, dan lain lain.
"Untuk itu, kiranya perlu digali langkah teknis yang efektif dalam kerangka mengendalikan pencemaran udara dan GRK tersebut. Soot-free Urban Bus Fleet Program adalah solusi untuk masalah di atas, selain adopsi teknologi kendaraan tanpa jelaga akan memicu pertumbuhan industri kendaraan bermotor dan energi bersih yang sumbangannya tidak sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Salah satu langkah tersebut adalah membangun kolaborasi guna mendukung BPTJ, PT Transjakarta, dan operator angkutan umum lainnya untuk mewujudkan pengadaan kendaraan untuk angkutan umum yang memenuhi syarat sebagai bus bebas jelaga (tanpa asap hitam; soot-free bus). Opsi Teknologi Bus Tanpa Jelaga secara teknis bus/angkutan umum yang memenuhi syarat sebagai bus bebas jelaga adalah bus dengan teknologi Euro 6/VI yang digerakkan dengan BBM yang memenuhi syarat untuk kendaraan berteknologi Euro 6/VI (sulfur max 10 ppm, Cetane Number dan Octane Number sesuai dengan spec engine).
"Sebagai alternatif, pengoperasian bus berbahan bakar gas (CNG, LGV dan LNG) memiliki keunggulan dalam menekan emisi hingga setara dengan emisi bus berstandard Euro 6/VI, walaupun bus tersebut berteknologi di bawah Euro 6/VI," pungkasnya.
Direktur Utama PT Transjakarta, Agung Wicaksono, mengatakan, selain untuk mensosialisasikan keberadaan bus listrik kepada masyarakat dan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih ramah kepada lingkungan, tujuan bus listrik pamer di CFD adalah agar pemerintah segera membuat peraturannya, khususnya peraturan presiden (perpres). "Kendaraan tanpa emisi ini belum ada perpres. Kami harap segera diterbitkan," ujar Agung saat dihubungi.
Agung menjelaskan, untuk tingkat Pemprov DKI, aturan bus listrik berupa peraturan gubernur (pergub) sedang dalam pembahasan. Sedangkan untuk tingkat nasional masih menunggu perpres. Selain itu, operasional bus listrik juga masih harus berhadapan dengan peraturan-peraturan sejumlah pihak, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan, yang mengatur pajak.
Ganjalan lainnya adalah keberadaan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Pada STNK dicantumkan besaran CC dari suatu kendaraan. Namun karena bus listrik tidak menggunakan bahan bakar, besaran CC tersebut belum bisa dicantumkan. "Uji coba itu akan dilakukan di kawasan wisata seperti monas, jadi di kawasan tertutup nanti pada waktu liburan sekolah anak-anak bisa nyobain di Monas," ungkapnya.
Anggota Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin menuturkan, bus listrik sebagai terobosan teknologi percepatan armada bus tanpa jelaga (soot-free urban bus fleet) di Jakarta dan sekitarnya yang memiliki manfaat triple (triple-benefits). Bus listrik dapat meningkatkan kualitas udara, menyelamatkan iklim, dan trigger pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi dalam operasionalnya masih mengalami masalah tragis, yaitu terganjal peraturan, di mana regulasi terkait izin produksi, pemasaran dan pemanfaatannya belum ada. Sehingga dalam waktu dekat tidak memungkinkan pengoperasian bus listrik untuk tujuan pribadi maupun commercial.
"Peraturan payung dan peraturan pelaksanaan hingga ketentuan fiscal/ non fiscal incentive-nya masih belum ada. Termasuk draft Perpres Mobil Listrik yang sudah hampir dua tahun mangkrak, adalah bukti nyata bahwa rencana pengoperasioan bus listrik masih terganjal oleh peraturan,” tegasnya.
Ahmad membeberkan, pencemaran udara sudah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, khususnya penghuni perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi. Berdasarkan data pemantauan kualitas udara menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, pencemaran udara dan gas rumah kaca (GRK) masih menjadi ancaman laten bagi masyarakat di Jakarta dan sekitarnya.
Sekalipun sudah ditetapkan langkah-langkah pengendalian pencemaran udara dalam Peraturan Daerah Nomor 2/2005, namun data pemantauan masih menunjukkan tingginya paparan pencemaran udara terutama parameter PM2.5, PM10, SO2, NOx dan O3.
Menurut WHO pada 2016 parameter PM (partikel debu) berkontribusi terhadap 79.700 kematian dini di Indonesia, Ozon (O3) menyumbang lebih dari 900 kematian sehingga udara tercemar ini secara keseluruhan menyebabkan lebih dari 8% total kematian di Indonesia pada tahun tersebut. Sementara di Jakarta, 58,3% warga mengalami sakit/penyakit karena pencemaran udara dan harus membayar biaya medis Rp51,2 triliun, yang terefleksi pada tagihan besar kepada BPJS Kesehatan.
Pencemara udara di DKI Jakarta juga telah menyebabkan 3.700 kematian dini. Selain itu, tingginya tingkat emisi gas rumah kaca antropogenik, terutama CO2, Black Carbon, CH4, N2O, dan O3, juga berkontribusi terhadap perubahan iklim yang menyebabkan tingginya intensitas bencana, seperti badai, tanah longsor, banjir bandang, meluasnya sebaran penyakit seperti malaria, dan lain lain.
"Untuk itu, kiranya perlu digali langkah teknis yang efektif dalam kerangka mengendalikan pencemaran udara dan GRK tersebut. Soot-free Urban Bus Fleet Program adalah solusi untuk masalah di atas, selain adopsi teknologi kendaraan tanpa jelaga akan memicu pertumbuhan industri kendaraan bermotor dan energi bersih yang sumbangannya tidak sedikit terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
Salah satu langkah tersebut adalah membangun kolaborasi guna mendukung BPTJ, PT Transjakarta, dan operator angkutan umum lainnya untuk mewujudkan pengadaan kendaraan untuk angkutan umum yang memenuhi syarat sebagai bus bebas jelaga (tanpa asap hitam; soot-free bus). Opsi Teknologi Bus Tanpa Jelaga secara teknis bus/angkutan umum yang memenuhi syarat sebagai bus bebas jelaga adalah bus dengan teknologi Euro 6/VI yang digerakkan dengan BBM yang memenuhi syarat untuk kendaraan berteknologi Euro 6/VI (sulfur max 10 ppm, Cetane Number dan Octane Number sesuai dengan spec engine).
"Sebagai alternatif, pengoperasian bus berbahan bakar gas (CNG, LGV dan LNG) memiliki keunggulan dalam menekan emisi hingga setara dengan emisi bus berstandard Euro 6/VI, walaupun bus tersebut berteknologi di bawah Euro 6/VI," pungkasnya.
(thm)