Pengurangan Air Tanah Dalam Gedung di Jakarta Terkendala Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Penertiban penggunaan air tanah terhadap gedung-gedung tinggi di kawasan bisnis segitiga emas pada tahun lalu hanya mengalami peningkatan sebanyak 6% penggunaan perpipaan. Ketidaktegasan regulasi menjadi kendala menghentikan penggunaan air tanah pada gedung.
Direktur Customer Service PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), Nancy Manurung mengatakan, sebagai salah satu operator air bersih di Jakarta yang terlibat dalam penertiban penggunaan air tanah di kawasan segitiga emas, yakni sepanjang Jalan M.H. Thamrin-Jalan Jenderal Sudirman (Utara-barat Daya), Jalan HR Rasuna Said (Utara-Tenggara), dan Jalan Jenderal Gatot Subroto (Timur-Barat), Palyja mencatat bahwa gedung-gedung tinggi itu mengonsumsi air perpipaan sebanyak 800 liter per sekon (lps). Namun, dengan adanya penertiban penggunaan air tanah, kenaikan penggunaan air perpipaan hanya 48 lps.
"Setelah adanya penertiban penggunaan air tanah di kawasan segitiga emas atau kawasan P1, penggunaan air perpipaan hanya naik 6 persen," kata Nancy dalam acara jurnalist workshop "Bersama Demi Air" di Yogyakarta, 26-27 April 2019.
Nancy menjelaskan, gedung-gedung di kawasan segitiga emas ini dominan menggunakan air tanah (deepwell) daripada air perpipaan. Sebab, regulasi yang ada tidak melarang penggunaan air tanah. Pemilik gedung masih diperbolehkan memakai air tanah sebagai cadangan semata.
Penggunaan air tanah di gedung-gedung tinggi rata-ratanya hanya 50% dari kebutuhan mereka. Menurutnya, jika semua pemilik gedung beralih ke air perpipaan, kapasitas suplai yang harus disiapkan sekitar 200.000 lps per tahun. PT Palyja mengaku siap memasok kebutuhan layanan air perpipaan bagi gedung-gedung di kawasan segitiga emas itu.
"Memang, peraturannya tidak mengharuskan switch langsung ke air perpipaan. Mereka tetap boleh menggunakan air sumur dalam sebagai back-up. Sebenarnya, mereka dipasang meter penggunaan air tanah. Harganya lebih mahal sebesar Rp23.000 per kubik daripada air perpipaan yang hanya Rp12.500 per kubik," ungkapnya.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya, Bambang Hernowo mengakui minimnya penggunaan air perpipaan di gedung-gedung meski sudah terlayani air perpipaan seperti di kawasan segitiga emas itu. Saat ini, pihaknya tengah menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) yang nantinya bisa mengalihkan penggunaan air tanah ke air perpipaan.
Selama ini, lanjut Bambang, aturannya memang memperbolehkan gedung-gedung menggunakan air tanah sebagai cadangan lebih dari satu sumur. Nantinya, meski dalam Pergub yang tengah disusun saat ini tetap memperbolehkan penggunaan air tanah, tetapi tidak boleh lebih dari satu sumur.
"Kami masih kumpulkan data gedung-gedung mana saja yang sudah atau belum terlayani air perpipaan. Kalau Kawasan segitiga emas sudah terlayani perpipaan," ujarnya.
Bambang menuturkan, bantuan dari pemerintah Jepang yang difasilitasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk mencegah penurunan muka air tanah saat ini baru sampai tahap pendataan. Salah satunya pendataan gedung-gedung yang merupakan salah satu penyebab penurunan muka air tanah.
Dalam melakukan pendataan, lanjut Bambang, ada kelompok kerja yang diantaranya terdiri dari Kementerian PUPR, Kementerian ESDM, Bappenas, dan Pemprov DKI Jakarta. "Nah, ketika semua data didapatkan, tim kerja akan menganalisis dan mengendalikannya dalam sistem. Kemudian, tim menyusun tindakan-tindakan, kebijakan-kebijakan untuk pembatasan pengambilan air tanah, dan alternatif penyediaan sumber air bersih. investigasi kerusakan akibat penurunan muka air tanah. Serta ada bagian peningkatan kesadaran, lalu juga untuk organisasi pengelolaan antarlembaganya," ucapnya.
Direktur Customer Service PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), Nancy Manurung mengatakan, sebagai salah satu operator air bersih di Jakarta yang terlibat dalam penertiban penggunaan air tanah di kawasan segitiga emas, yakni sepanjang Jalan M.H. Thamrin-Jalan Jenderal Sudirman (Utara-barat Daya), Jalan HR Rasuna Said (Utara-Tenggara), dan Jalan Jenderal Gatot Subroto (Timur-Barat), Palyja mencatat bahwa gedung-gedung tinggi itu mengonsumsi air perpipaan sebanyak 800 liter per sekon (lps). Namun, dengan adanya penertiban penggunaan air tanah, kenaikan penggunaan air perpipaan hanya 48 lps.
"Setelah adanya penertiban penggunaan air tanah di kawasan segitiga emas atau kawasan P1, penggunaan air perpipaan hanya naik 6 persen," kata Nancy dalam acara jurnalist workshop "Bersama Demi Air" di Yogyakarta, 26-27 April 2019.
Nancy menjelaskan, gedung-gedung di kawasan segitiga emas ini dominan menggunakan air tanah (deepwell) daripada air perpipaan. Sebab, regulasi yang ada tidak melarang penggunaan air tanah. Pemilik gedung masih diperbolehkan memakai air tanah sebagai cadangan semata.
Penggunaan air tanah di gedung-gedung tinggi rata-ratanya hanya 50% dari kebutuhan mereka. Menurutnya, jika semua pemilik gedung beralih ke air perpipaan, kapasitas suplai yang harus disiapkan sekitar 200.000 lps per tahun. PT Palyja mengaku siap memasok kebutuhan layanan air perpipaan bagi gedung-gedung di kawasan segitiga emas itu.
"Memang, peraturannya tidak mengharuskan switch langsung ke air perpipaan. Mereka tetap boleh menggunakan air sumur dalam sebagai back-up. Sebenarnya, mereka dipasang meter penggunaan air tanah. Harganya lebih mahal sebesar Rp23.000 per kubik daripada air perpipaan yang hanya Rp12.500 per kubik," ungkapnya.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya, Bambang Hernowo mengakui minimnya penggunaan air perpipaan di gedung-gedung meski sudah terlayani air perpipaan seperti di kawasan segitiga emas itu. Saat ini, pihaknya tengah menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) yang nantinya bisa mengalihkan penggunaan air tanah ke air perpipaan.
Selama ini, lanjut Bambang, aturannya memang memperbolehkan gedung-gedung menggunakan air tanah sebagai cadangan lebih dari satu sumur. Nantinya, meski dalam Pergub yang tengah disusun saat ini tetap memperbolehkan penggunaan air tanah, tetapi tidak boleh lebih dari satu sumur.
"Kami masih kumpulkan data gedung-gedung mana saja yang sudah atau belum terlayani air perpipaan. Kalau Kawasan segitiga emas sudah terlayani perpipaan," ujarnya.
Bambang menuturkan, bantuan dari pemerintah Jepang yang difasilitasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk mencegah penurunan muka air tanah saat ini baru sampai tahap pendataan. Salah satunya pendataan gedung-gedung yang merupakan salah satu penyebab penurunan muka air tanah.
Dalam melakukan pendataan, lanjut Bambang, ada kelompok kerja yang diantaranya terdiri dari Kementerian PUPR, Kementerian ESDM, Bappenas, dan Pemprov DKI Jakarta. "Nah, ketika semua data didapatkan, tim kerja akan menganalisis dan mengendalikannya dalam sistem. Kemudian, tim menyusun tindakan-tindakan, kebijakan-kebijakan untuk pembatasan pengambilan air tanah, dan alternatif penyediaan sumber air bersih. investigasi kerusakan akibat penurunan muka air tanah. Serta ada bagian peningkatan kesadaran, lalu juga untuk organisasi pengelolaan antarlembaganya," ucapnya.
(whb)