Kasus JIS Kembali Diangkat, Berbahaya Bagi Psikologi Anak
A
A
A
JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) yang kembali masuk ranah peradilan menuai kecaman banyak pihak. Sebab tuntutan dari ibu korban berinisial MAK, yang meminta ganti rugi Rp1,7 triliun dinilai sebagai tuntutan yang tidak masuk akal.
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani menilai, sang ibu hanya melihat dari sisi materi tanpa memperhatikan dampak psikologi anak dengan kembali memunculkan kasus ini ke publik. "Kalau mereka tahu (anak), itu berbahaya bagi psikologinya," kata Anna, Selasa (23/4/2019).
Apalagi pada awal kejadian, anak tersebut masih kecil dan saat ini sudah beranjak besar. Hal itu akan berpengaruh terhadap perlakuan teman-teman sekolahnya saat ini, maupun lingkungan dia bermain.
Berbagai kecaman kepada sang ibu juga muncul di berbagai media sosial setelah pemberitaan mengenai gugatan sang ibu muncul kembali diberbagai media massa. Seperti komentar Akhmad Fauzi pemilik akun @akhmadxfauzi. "Keadilan katanya, UUD faktanya. Pernah baca di kaskus kalau ini semua kemungkinan besar rekayasa. Nasi sudah jadi bubur OB sudah tewas," katanya.
Begitupun dengan akun @bubabibuba, "Muncul lagi ni berita... Gila apa yak tu ibu ibu, kelihatan banget nyari duitnya". Akun @ayrikusanil juga menulis hal serupa, "Ketahuan banget cari duitnya". Bahkan akun @iremenemy beruit "1.7T wow? Gurunya kudu nabung berapa ratus taun itu?".
Hal senada diungkapkan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Anggi Aulina Harahap. Menurut dia yang terpenting dari sekadar materi adalah pemenuhan aspek kehidupan sehari-hari si anak bisa kembali normal, baik di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan juga lingkungan sosial. "Membantu korban bisa kembali beraktivitas itu lebih penting," katanya.
Apalagi masalah ini sudah diselesaikan dari sisi pidana, di mana pelaku sudah diproses hukum dan sudah menjalani hukuman. "Artinya pertanggungjawaban pidana dari pelaku sudah diselesaikan dan proses penegakan hukumnya sudah berjalan," katanya.
Meski begitu, Anggi mengapresiasi jika pengadilan masih memberikan kesempatan kepada ibu MAK untuk mengajukan gugatan materiil meskipun sebelumnya gugatan materiil tersebut di pengadilan lain telah ditolak. Anggi juga tidak mengetahui motif sebenarnya si ibu kembali mengajukan gugatan, apakah murni mencari keadilan atau untuk materi. "Kalau motif personalnya apa, ini yang sulit untuk dicari tahu," ujarnya.
Seperti diketahui, kasus JIS jilid II ini kembali muncul setelah pada September 2018, ibu MAK menuntut ganti rugi Rp1,7 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Total, ada 10 pihak yang kembali digugat yakni lima petugas kebersihan, dua orang guru, JIS, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Padahal para pertugas kebersihan telah menjalani hukum penjara dan kini dibebaskan bersyarat karena berkelakuan baik. Bahkan, salah satu petugas kebersihan ada yang meninggal di penjara sebelum divonis. Kedua guru sendiri pun masih menjalani hukuman penjara sejak divonis beberapa tahun lalu.
Sejatinya ini juga bukan pertama kali ibu dari MAK mengajukan tuntutan perdata dengan nilai yang fantastis tersebut. Pada persidangan JIS Jilid I, sang ibu juga pernah mengajukan gugatan senilai USD125 juta atau setara dengan Rp1,6 triliun, namun tuntutan tersebut tidak dikabulkan.
"Dulu tidak berhasil lewat kasus pidana, sekarang dituntut kembali lewat perdata. Terlihat jelas, hampir pasti dan patut diduga kasus sodomi ini adalah kasus rekayasa sejak awal," ujar kuasa hukum para mantan petugas kebersihan dan guru JIS, Richard Riwoe.
Adapun kasus ini telah memasuki agenda jawaban atau replik dari pihak penggugat yang dilakukan pada Senin (22/4/2019). Namun replik tersebut tidak sempat dibacakan dalam persidangan dan hanya diberikan kepada majelis hakim yang diketuai oleh Lenny Wati Mulasimadhi.
"Sudah ada replik dari pihak penggugat, tetapi berkasnya hanya diserahkan dari kuasa hukumnya ke majelis hakim. Sidang dilanjutkan pada 16 Mei 2019 dengan agenda duplik," kata Richard.
Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani menilai, sang ibu hanya melihat dari sisi materi tanpa memperhatikan dampak psikologi anak dengan kembali memunculkan kasus ini ke publik. "Kalau mereka tahu (anak), itu berbahaya bagi psikologinya," kata Anna, Selasa (23/4/2019).
Apalagi pada awal kejadian, anak tersebut masih kecil dan saat ini sudah beranjak besar. Hal itu akan berpengaruh terhadap perlakuan teman-teman sekolahnya saat ini, maupun lingkungan dia bermain.
Berbagai kecaman kepada sang ibu juga muncul di berbagai media sosial setelah pemberitaan mengenai gugatan sang ibu muncul kembali diberbagai media massa. Seperti komentar Akhmad Fauzi pemilik akun @akhmadxfauzi. "Keadilan katanya, UUD faktanya. Pernah baca di kaskus kalau ini semua kemungkinan besar rekayasa. Nasi sudah jadi bubur OB sudah tewas," katanya.
Begitupun dengan akun @bubabibuba, "Muncul lagi ni berita... Gila apa yak tu ibu ibu, kelihatan banget nyari duitnya". Akun @ayrikusanil juga menulis hal serupa, "Ketahuan banget cari duitnya". Bahkan akun @iremenemy beruit "1.7T wow? Gurunya kudu nabung berapa ratus taun itu?".
Hal senada diungkapkan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Anggi Aulina Harahap. Menurut dia yang terpenting dari sekadar materi adalah pemenuhan aspek kehidupan sehari-hari si anak bisa kembali normal, baik di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan juga lingkungan sosial. "Membantu korban bisa kembali beraktivitas itu lebih penting," katanya.
Apalagi masalah ini sudah diselesaikan dari sisi pidana, di mana pelaku sudah diproses hukum dan sudah menjalani hukuman. "Artinya pertanggungjawaban pidana dari pelaku sudah diselesaikan dan proses penegakan hukumnya sudah berjalan," katanya.
Meski begitu, Anggi mengapresiasi jika pengadilan masih memberikan kesempatan kepada ibu MAK untuk mengajukan gugatan materiil meskipun sebelumnya gugatan materiil tersebut di pengadilan lain telah ditolak. Anggi juga tidak mengetahui motif sebenarnya si ibu kembali mengajukan gugatan, apakah murni mencari keadilan atau untuk materi. "Kalau motif personalnya apa, ini yang sulit untuk dicari tahu," ujarnya.
Seperti diketahui, kasus JIS jilid II ini kembali muncul setelah pada September 2018, ibu MAK menuntut ganti rugi Rp1,7 triliun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Total, ada 10 pihak yang kembali digugat yakni lima petugas kebersihan, dua orang guru, JIS, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Padahal para pertugas kebersihan telah menjalani hukum penjara dan kini dibebaskan bersyarat karena berkelakuan baik. Bahkan, salah satu petugas kebersihan ada yang meninggal di penjara sebelum divonis. Kedua guru sendiri pun masih menjalani hukuman penjara sejak divonis beberapa tahun lalu.
Sejatinya ini juga bukan pertama kali ibu dari MAK mengajukan tuntutan perdata dengan nilai yang fantastis tersebut. Pada persidangan JIS Jilid I, sang ibu juga pernah mengajukan gugatan senilai USD125 juta atau setara dengan Rp1,6 triliun, namun tuntutan tersebut tidak dikabulkan.
"Dulu tidak berhasil lewat kasus pidana, sekarang dituntut kembali lewat perdata. Terlihat jelas, hampir pasti dan patut diduga kasus sodomi ini adalah kasus rekayasa sejak awal," ujar kuasa hukum para mantan petugas kebersihan dan guru JIS, Richard Riwoe.
Adapun kasus ini telah memasuki agenda jawaban atau replik dari pihak penggugat yang dilakukan pada Senin (22/4/2019). Namun replik tersebut tidak sempat dibacakan dalam persidangan dan hanya diberikan kepada majelis hakim yang diketuai oleh Lenny Wati Mulasimadhi.
"Sudah ada replik dari pihak penggugat, tetapi berkasnya hanya diserahkan dari kuasa hukumnya ke majelis hakim. Sidang dilanjutkan pada 16 Mei 2019 dengan agenda duplik," kata Richard.
(wib)