Kata Pengamat Soal Fenomena Curhat di Sosmed sebelum Bunuh Diri
A
A
A
DEPOK - Reni Novita Dewi (23), mahasiswi yang tewas bunuh diri di Apartemen di Depok diduga menjadi korban bullying karena sempat curhat di sosial media miliknya. Sebelum ditemukan tewas, korban pernah mencurahkan perasaannya di sosial media.
Menanggapi kejadian ini, pengamat sosial dari Vokasi Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, mengatakan, fenomena curhat di sosmed sebelum bunuh diri merupakan salah satu cara mengekspresikan emosi.
Karenanya, orang terdekat seharusnya bisa memberikan peranan dengan memperhatikan orang terindikasi depresi. Ketika seseorang curhat di sosmed hal itu menandakan orang tersebut tidak memiliki ruang di kehidupan nyata. Sehingga, dia merasa lebih leluasa curhat di sosmed. (Baca juga: Perempuan Muda Terjun Bebas dari Lantai 3 Apartemen di Depok)
“Kita tidak ada salahnya memberikan perhatian, dimana jika ada orang yang menampakkan gejala stres, depresi atau tertekan, minimal kita menegur. Walau sekadar menanyakan kabar dan mendengar ceritanya, itu sudah membuat seseorang merasa diperhatikan,” ujarnya saat ditemui di acara Program Generasi Titanium Indonesia 5.0 di Vokasi Universitas Indonesia (UI) Depok, Selasa (12/3/2019).
Dia menyarankan untuk menumbuhkan kembali sikap saling peduli terhadap sesama. Dengan demikian, orang terindikasi depresi merasa dirinya masih memiliki teman untuk bercerita. (Baca juga: Wanita Muda yang Lompat dari Apartemen di Depok Dipastikan Bunuh Diri)
“Kita harus punya sensitivitas terhadap orang-orang tersebut. Minimal kita menyapa dengan nada yang senang dan bahagia. Jangan sampai menggurui atau menghakimi,” ucapnya. (Baca juga: Loncat dari Lantai 3 Apartemen, Reni Pernah Curhat di Sosmed)
Dia menjelaskan, ada tiga faktor yang membuat seseorang memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup. Pertama, karena kesepian. Kedua, faktor generasi yang mengedepankan kesempurnaan. Ketiga faktor lemahnya hubungan sosial di dunia nyata.
Faktor kesepian ini banyak terjadi di era modern yang membuat orang merasa terisolasi. Sementara, faktor generasi yang mengedepankan kesempurnaan timbul terutama di era digital yang membuat orang berlomba-lomba memamerkan yang terbaik.
“Ini membuat sebagian orang malah tidak percaya diri jika tidak menemukan dirinya seperti orang lain. Apalagi di media sosial menjadi panggung orang memamerkan hal yang indah, cantik dan citra-citra yang baik. Ini membuat seseorang jadi membandingkan dirinya dengan orang lain,” tukasnya.
Dia menuturkan, kehidupan sosial manusia saat ini memang lebih disibukkan banyak hal. Mulai dari kompetisi ekonomi hingga hasrat untuk mendapatkan citra baik. Manusia saat ini lebih terfokus pada kehidupan di sosmed ketimbang kehidupan nyata. Hal ini kata dia melemahkan hubungan sosial di dunia nyata.
“Sekarang ini orang lebih fokus ke gawai. Gawai tidak dijadikan sebagai sarana silaturahmi. Orang berlomba-lomba mengejar likes dan followers, padahal semua itu sifatnya semu. Malah membuat orang yang dekat menjadi jauh, bukan mendekatkan yang jauh,” tutupnya.
Menanggapi kejadian ini, pengamat sosial dari Vokasi Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, mengatakan, fenomena curhat di sosmed sebelum bunuh diri merupakan salah satu cara mengekspresikan emosi.
Karenanya, orang terdekat seharusnya bisa memberikan peranan dengan memperhatikan orang terindikasi depresi. Ketika seseorang curhat di sosmed hal itu menandakan orang tersebut tidak memiliki ruang di kehidupan nyata. Sehingga, dia merasa lebih leluasa curhat di sosmed. (Baca juga: Perempuan Muda Terjun Bebas dari Lantai 3 Apartemen di Depok)
“Kita tidak ada salahnya memberikan perhatian, dimana jika ada orang yang menampakkan gejala stres, depresi atau tertekan, minimal kita menegur. Walau sekadar menanyakan kabar dan mendengar ceritanya, itu sudah membuat seseorang merasa diperhatikan,” ujarnya saat ditemui di acara Program Generasi Titanium Indonesia 5.0 di Vokasi Universitas Indonesia (UI) Depok, Selasa (12/3/2019).
Dia menyarankan untuk menumbuhkan kembali sikap saling peduli terhadap sesama. Dengan demikian, orang terindikasi depresi merasa dirinya masih memiliki teman untuk bercerita. (Baca juga: Wanita Muda yang Lompat dari Apartemen di Depok Dipastikan Bunuh Diri)
“Kita harus punya sensitivitas terhadap orang-orang tersebut. Minimal kita menyapa dengan nada yang senang dan bahagia. Jangan sampai menggurui atau menghakimi,” ucapnya. (Baca juga: Loncat dari Lantai 3 Apartemen, Reni Pernah Curhat di Sosmed)
Dia menjelaskan, ada tiga faktor yang membuat seseorang memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidup. Pertama, karena kesepian. Kedua, faktor generasi yang mengedepankan kesempurnaan. Ketiga faktor lemahnya hubungan sosial di dunia nyata.
Faktor kesepian ini banyak terjadi di era modern yang membuat orang merasa terisolasi. Sementara, faktor generasi yang mengedepankan kesempurnaan timbul terutama di era digital yang membuat orang berlomba-lomba memamerkan yang terbaik.
“Ini membuat sebagian orang malah tidak percaya diri jika tidak menemukan dirinya seperti orang lain. Apalagi di media sosial menjadi panggung orang memamerkan hal yang indah, cantik dan citra-citra yang baik. Ini membuat seseorang jadi membandingkan dirinya dengan orang lain,” tukasnya.
Dia menuturkan, kehidupan sosial manusia saat ini memang lebih disibukkan banyak hal. Mulai dari kompetisi ekonomi hingga hasrat untuk mendapatkan citra baik. Manusia saat ini lebih terfokus pada kehidupan di sosmed ketimbang kehidupan nyata. Hal ini kata dia melemahkan hubungan sosial di dunia nyata.
“Sekarang ini orang lebih fokus ke gawai. Gawai tidak dijadikan sebagai sarana silaturahmi. Orang berlomba-lomba mengejar likes dan followers, padahal semua itu sifatnya semu. Malah membuat orang yang dekat menjadi jauh, bukan mendekatkan yang jauh,” tutupnya.
(thm)