Dinkes: Jakarta Barat Wilayah Rawan DBD di Ibu Kota
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 84 RW di Jakarta menjadi wilayah paling rawan demam berdarah dengue (DBD). Jakarta Barat menjadi wilayah terbanyak kasus DBD sejak Januari hingga awal Maret 2019.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, sejak Januari sampai 2 Maret lalu, pihaknya mencatat ada 2.282 kasus DBD di DKI Jakarta dengan 1 kematian. Sementara sepanjang 2018 saja, kasus DBD telah mencapai 2.963 kasus dengan dua kematian dan sepanjang 2017, dilaporkan sebanyak 3.362 kasus dengan satu kematian.
"Kami memprediksi kasus DBD akan terus meningkat signifikan hingga akhir Maret 2019 atau saat musim penghujan selesai, karena intensitas kelembapan udara yang cukup tinggi di lima wilayah di Jakarta. Jakarta Waspada kejadian luar biasa DBD," kata Widyastuti di kantornya Jakarta Pusat, kemarin.
Widyastuti menjelaskan, DBD adalah penyakit demam akut disebabkan oleh virus dengue yang menginfeksi bagian tubuh dan sistem peredaran darah manusia ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty yang terinfeksi. Gejala penyakit ini biasanya diawali dengan demam, nyeri otot dan sendi, terdapat bintik merah/ruam dikulit disertai mual dan nyeri ulu hati.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan nyamuk dan penyakit DBD, lanjut Widyastuti adalah kondisi iklim. Iklim berperan dalam memberikan lingkungan yang kondusif untuk nyamuk berkembang, sehingga iklim menjadi faktor sangat penting terutama diawal perkembangan nyamuk.
"Kami mengimbau kepada warga untuk rutin melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik)," ungkapnya.
Saat ini, kata Widyastuti, pihaknya sudah memetakan kawasan yang paling terdampak wabah DBD di Jakarta. Hasilnya, terdapat lima kecamatan yang tersebar di Jakarta Barat, Timur, dan Selatan sebagai kawasan terbanyak kasus DBD.
Kecamatan paling tinggi di Jakarta per 3 Maret 2019 ada di Kalideres, Pasar Rebo, Cipayung, Matraman, dan Jagakarsa. Pengukuran tingkat penderita DBD di lima kecamatan itu melalui tingkat kejadian (incidence rate/IR), yakni dengan menghitung kejadian per 100 ribu penduduk. Di Kalideres jumlah IR adalah 58,21 dari seribu penduduk, Pasar Rebo 50,5; Cipayung 50,41; Matraman 44,15; dan Jagakarsa 41,67.
Selain kecamatan, Widyastuti mengatakan pihaknya memetakan sebanyak 84 RW di Jakarta sebagai wilayah paling rawan DBD. Puluhan RW antara lain, 3 RW di Jakarta pusat, 7 RW di Jakarta Utara, 38 RW di Jakarta Barat, 11 RW di Jakarta Selatan, dan 25 RW di Jakarta Timur. Di wilayah itu, kasus DBD terjadi hingga tiga kali dalam sepekan.
"Sampai akhir Februari 2019, total penderita DBD mencapai 1.354 jiwa atau telah meningkat dibandingkan Januari 2019 yang hanya 989 jiwa. Ini harus diwaspadai," tegasnya.( Baca: Ribuan Orang Masuk Rumah Sakit, Puluhan RW di Jakarta Rawan DBD )
Sementara itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Meity Magdalena meminta Pemprov DKI Jakarta melalui kader jumantik di kelurahan menjemput bola menyosialisasikan bagaiaman cara mewaspadai DBD. Menurutnya, meskipun iklim lembab, apabila ada pencegahan Dan penanggulangan secara rutin di wilayah yang rawan khususnya, penyakit DBD bisa ditekan.
"Ini semacam ada info yang menakutkan. Hampir setiap bulan diinfokan bahaya, tapi kok terus bertambah korbanya. Bagaimana penangananya," tegas politisi PDI Perjuangan itu.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, sejak Januari sampai 2 Maret lalu, pihaknya mencatat ada 2.282 kasus DBD di DKI Jakarta dengan 1 kematian. Sementara sepanjang 2018 saja, kasus DBD telah mencapai 2.963 kasus dengan dua kematian dan sepanjang 2017, dilaporkan sebanyak 3.362 kasus dengan satu kematian.
"Kami memprediksi kasus DBD akan terus meningkat signifikan hingga akhir Maret 2019 atau saat musim penghujan selesai, karena intensitas kelembapan udara yang cukup tinggi di lima wilayah di Jakarta. Jakarta Waspada kejadian luar biasa DBD," kata Widyastuti di kantornya Jakarta Pusat, kemarin.
Widyastuti menjelaskan, DBD adalah penyakit demam akut disebabkan oleh virus dengue yang menginfeksi bagian tubuh dan sistem peredaran darah manusia ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty yang terinfeksi. Gejala penyakit ini biasanya diawali dengan demam, nyeri otot dan sendi, terdapat bintik merah/ruam dikulit disertai mual dan nyeri ulu hati.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan nyamuk dan penyakit DBD, lanjut Widyastuti adalah kondisi iklim. Iklim berperan dalam memberikan lingkungan yang kondusif untuk nyamuk berkembang, sehingga iklim menjadi faktor sangat penting terutama diawal perkembangan nyamuk.
"Kami mengimbau kepada warga untuk rutin melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik)," ungkapnya.
Saat ini, kata Widyastuti, pihaknya sudah memetakan kawasan yang paling terdampak wabah DBD di Jakarta. Hasilnya, terdapat lima kecamatan yang tersebar di Jakarta Barat, Timur, dan Selatan sebagai kawasan terbanyak kasus DBD.
Kecamatan paling tinggi di Jakarta per 3 Maret 2019 ada di Kalideres, Pasar Rebo, Cipayung, Matraman, dan Jagakarsa. Pengukuran tingkat penderita DBD di lima kecamatan itu melalui tingkat kejadian (incidence rate/IR), yakni dengan menghitung kejadian per 100 ribu penduduk. Di Kalideres jumlah IR adalah 58,21 dari seribu penduduk, Pasar Rebo 50,5; Cipayung 50,41; Matraman 44,15; dan Jagakarsa 41,67.
Selain kecamatan, Widyastuti mengatakan pihaknya memetakan sebanyak 84 RW di Jakarta sebagai wilayah paling rawan DBD. Puluhan RW antara lain, 3 RW di Jakarta pusat, 7 RW di Jakarta Utara, 38 RW di Jakarta Barat, 11 RW di Jakarta Selatan, dan 25 RW di Jakarta Timur. Di wilayah itu, kasus DBD terjadi hingga tiga kali dalam sepekan.
"Sampai akhir Februari 2019, total penderita DBD mencapai 1.354 jiwa atau telah meningkat dibandingkan Januari 2019 yang hanya 989 jiwa. Ini harus diwaspadai," tegasnya.( Baca: Ribuan Orang Masuk Rumah Sakit, Puluhan RW di Jakarta Rawan DBD )
Sementara itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Meity Magdalena meminta Pemprov DKI Jakarta melalui kader jumantik di kelurahan menjemput bola menyosialisasikan bagaiaman cara mewaspadai DBD. Menurutnya, meskipun iklim lembab, apabila ada pencegahan Dan penanggulangan secara rutin di wilayah yang rawan khususnya, penyakit DBD bisa ditekan.
"Ini semacam ada info yang menakutkan. Hampir setiap bulan diinfokan bahaya, tapi kok terus bertambah korbanya. Bagaimana penangananya," tegas politisi PDI Perjuangan itu.
(whb)