Mafia Tanah Meresahkan, Warga Tangsel Geruduk Kantor ATR/BPN
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) didemo puluhan warga dan ahli waris, Senin (4/3/2019). Mereka mengaku sejumlah bidang tanahnya kini telah menjadi sertifikat yang dikuasai pengembang.
Salah satu ahli waris pemilik lahan yang ikut berunjuk rasa, Sutarman, menyebutkan, di atas lahan orang tuanya atas nama Rusli Wahyudi kini telah dibangun perumahan mewah oleh pengembang besar di kawasan Puspita Loka dan Giri Loka, Serpong, Tangsel.
"Jadi itu lahan milik orang tua saya, luasnya sekitar 2,5 hektare. Sekarang sudah jadi perumahan, sebagian sudah bersertifikat sebagian enggak bisa jadi sertifikat. Kita urus masalah ini sudah lama, dari tahun 1993 silam tapi selalu dilempar-lempar," ujarnya.
Sutarman menjelaskan, mulanya surat girik milik orang tuanya itu berada di Kelurahan Lengkong Gudang Timur. Namun entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba disebutkan oleh pihak staf kelurahan bahwa girik tersebut hilang dan tak bisa ditemukan. (Baca juga: Warga Demo soal Penyerobotan Lahan, Lalu Lintas di Serpong Tersendat)
"Enggak tahu bagaimana tiba-tiba bisa menjadi SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), kami tidak pernah merasa menjual. Kami datang ke sini menanyakan berulang kali, tapi BPN tak pernah mau menjawab, malah melempar ke Kanwil BPN (Banten), padahal kami sudah menemui Ombudsman juga," ucapnya.
Mendampingi para pengunjuk rasa, Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) menuturkan, sementara ini telah menginventarisir warga yang menjadi korban permainan para mafia tanah. Tercatat sudah ada puluhan orang yang melapor, dengan total luas lahan yang beralih dikuasai pengembang diduga mencapai sekitar 12 hektare.
"Kami sekarang sementara membawa 10 orang (ahli waris), ini ada sekitar total 12 hektare, di Kelurahan Lengkong Gudang Timur dan Bintaro. Semuanya dirampas oleh pengembang. Oleh karenanya, kami meyakini bahwa Pak Jokowi harus turun tangan membantu penyelesaian ini, karena Pak Jokowi mencintai rakyatnya," ucap Budiman Sofian, Juru bicara FKMTI.
Menurut dia, kasus yang dialami warga tersebut adalah bagian kecil dari fakta keseluruhan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun karena diduga melibatkan oknum pegawai dan pejabat tertentu, maka akhirnya persoalan itu tak pernah terkuak tuntas.
"Kami sejak lama menduga bahwa kasus-kasus tanah rakyat yang dirampas seperti ini diduga melibatkan oknum dalam. Mereka ini yang selanjutnya bersekongkol dengan pengusaha, pengembang. Kami yakin, dengan semangat reformasi agraria Pak Jokowi, praktik-praktik mafia tanah akan segera lenyap," tegasnya.
Sementara itu, Kasi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan Kantor ATR/BPN Tangsel, Kadi Mulyono, menyebutkan, apa yang menjadi tuntutan warga terkait penyerobotan lahannya itu akan segera ditindaklanjuti dengan cara memediasi antarberbagai pihak.
"Kami akan segera memediasi, karena apa yang disampaikan oleh warga tadi kan kasusnya berbeda-beda. Ada yang kasus hukumnya sudah inkracht (tetap) di pengadilan, ada juga yang belum," ucapnya.
Masih menurut Kadi, sebagian warga yang lahannya kini telah dibangun perumahan oleh pengembang, mendesak agar BPN mencabut dan membatalkan sertifikatnya. Terkait hal itu, Kadi belum mau menyimpulkan apakah segera mengeksekusi permintaan itu atau tidak.
"Ada yang meminta sertifikat atas nama pengembang itu dibatalkan atau dicabut. Kami menyampaikan terhadap pembatalan itu, BPN mengacu pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 11/2016, di situ disebutkan tentang persyaratan pembatalan sertifikat," imbuhnya.
Untuk diketahui, Permen ATR/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2016 mengisi berbagai persyaratan tentang pembatalan sertifikat, di antaranya ada salinan putusan (pengadilan) yang inkracht, dan ada persyaratan tentang eksekusi.
"Nanti akan kami diskusikan dengan pihak warga, tentang aturannya bagaimana, langkah-langkah yang akan diambil mereka seperti apa, sehingga hak-hak mereka bisa kembali," tukas Kadi.
Salah satu ahli waris pemilik lahan yang ikut berunjuk rasa, Sutarman, menyebutkan, di atas lahan orang tuanya atas nama Rusli Wahyudi kini telah dibangun perumahan mewah oleh pengembang besar di kawasan Puspita Loka dan Giri Loka, Serpong, Tangsel.
"Jadi itu lahan milik orang tua saya, luasnya sekitar 2,5 hektare. Sekarang sudah jadi perumahan, sebagian sudah bersertifikat sebagian enggak bisa jadi sertifikat. Kita urus masalah ini sudah lama, dari tahun 1993 silam tapi selalu dilempar-lempar," ujarnya.
Sutarman menjelaskan, mulanya surat girik milik orang tuanya itu berada di Kelurahan Lengkong Gudang Timur. Namun entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba disebutkan oleh pihak staf kelurahan bahwa girik tersebut hilang dan tak bisa ditemukan. (Baca juga: Warga Demo soal Penyerobotan Lahan, Lalu Lintas di Serpong Tersendat)
"Enggak tahu bagaimana tiba-tiba bisa menjadi SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), kami tidak pernah merasa menjual. Kami datang ke sini menanyakan berulang kali, tapi BPN tak pernah mau menjawab, malah melempar ke Kanwil BPN (Banten), padahal kami sudah menemui Ombudsman juga," ucapnya.
Mendampingi para pengunjuk rasa, Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) menuturkan, sementara ini telah menginventarisir warga yang menjadi korban permainan para mafia tanah. Tercatat sudah ada puluhan orang yang melapor, dengan total luas lahan yang beralih dikuasai pengembang diduga mencapai sekitar 12 hektare.
"Kami sekarang sementara membawa 10 orang (ahli waris), ini ada sekitar total 12 hektare, di Kelurahan Lengkong Gudang Timur dan Bintaro. Semuanya dirampas oleh pengembang. Oleh karenanya, kami meyakini bahwa Pak Jokowi harus turun tangan membantu penyelesaian ini, karena Pak Jokowi mencintai rakyatnya," ucap Budiman Sofian, Juru bicara FKMTI.
Menurut dia, kasus yang dialami warga tersebut adalah bagian kecil dari fakta keseluruhan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun karena diduga melibatkan oknum pegawai dan pejabat tertentu, maka akhirnya persoalan itu tak pernah terkuak tuntas.
"Kami sejak lama menduga bahwa kasus-kasus tanah rakyat yang dirampas seperti ini diduga melibatkan oknum dalam. Mereka ini yang selanjutnya bersekongkol dengan pengusaha, pengembang. Kami yakin, dengan semangat reformasi agraria Pak Jokowi, praktik-praktik mafia tanah akan segera lenyap," tegasnya.
Sementara itu, Kasi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan Kantor ATR/BPN Tangsel, Kadi Mulyono, menyebutkan, apa yang menjadi tuntutan warga terkait penyerobotan lahannya itu akan segera ditindaklanjuti dengan cara memediasi antarberbagai pihak.
"Kami akan segera memediasi, karena apa yang disampaikan oleh warga tadi kan kasusnya berbeda-beda. Ada yang kasus hukumnya sudah inkracht (tetap) di pengadilan, ada juga yang belum," ucapnya.
Masih menurut Kadi, sebagian warga yang lahannya kini telah dibangun perumahan oleh pengembang, mendesak agar BPN mencabut dan membatalkan sertifikatnya. Terkait hal itu, Kadi belum mau menyimpulkan apakah segera mengeksekusi permintaan itu atau tidak.
"Ada yang meminta sertifikat atas nama pengembang itu dibatalkan atau dicabut. Kami menyampaikan terhadap pembatalan itu, BPN mengacu pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 11/2016, di situ disebutkan tentang persyaratan pembatalan sertifikat," imbuhnya.
Untuk diketahui, Permen ATR/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2016 mengisi berbagai persyaratan tentang pembatalan sertifikat, di antaranya ada salinan putusan (pengadilan) yang inkracht, dan ada persyaratan tentang eksekusi.
"Nanti akan kami diskusikan dengan pihak warga, tentang aturannya bagaimana, langkah-langkah yang akan diambil mereka seperti apa, sehingga hak-hak mereka bisa kembali," tukas Kadi.
(thm)