Psikolog: Remaja Perusak Motor Sendiri Miliki Kecerdasan Emosi Rendah
A
A
A
DEPOK - Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, pria yang ditilang polisi namun merusak motornya sendiri sebenarnya menunjukkan ketidakmatangan emosi dari orang tersebut.
Dia menegaskan, kemampuan pengendalian emosi Adi Saputra sangat buruk. "Secara umum kecerdasan emosinya sangat rendah," katanya ketika dihubungi, Sabtu (9/2/2019). (Baca: Remaja Perusak Motor Sendiri Diduga Alami Gangguan Mental Menyeramkan )
Dalam ilmu psikologi, kata dia, hal ini pria tersebut sedang melakukan defense mechanism. Artinya, ketika ada tekanan dari luar, maka orang tersebut melakukan defense mechanisme yang disebut dengan displacement. "Jadi dia memenuhi rasa impulsifnya (marah) pada object tertentu," ungkapnya.
Sebenarnya kata Shinta, orang tersebut marah pada polisi dan juga marah juga pada dirinya sendiri karena tidak pakai helm). Tapi tidak mungkin melampiaskan marahnya secara langsung pada polisi karena adanya otoritas atau norma yang tidak memungkin untuk melampiaskan marahnya. "Maka motor yang tidak berdaya upaya (tidak bisa melawan) menjadi sasaran kemarahannya," tukasnya.
Ditanya apakah orang tersebut memiliki kelainan emosi, Shinta menuturkan untuk mengetahuinya maka harus dilihat lebih dalam bagaimana keseharian orang ini. Tapi bahwa pengendalian emosinya buruk jelas seperti yang terlihat. Ketika ada tekanan, orang akan melakukan proses memilih akan mengikuti tekanan (flight) atau melawan (fight). (Baca juga: Perusak Motor dan Pembakar STNK di Serpong Terancam 6 Tahun Penjara )"Nah beberapa orang melakukan pola fight untuk menurunkan tekanan yang muncul. Hal ini sebenarnya adalah bentuk defense mechanism yang muncul saat ego pada posisi tertekan. Bentuknya bisa macam-macam, salah satunya ya displacement seperti kasus motor di atas, dan denial seperti kasus ancam petugas," ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa denial adalah proses menolak apa yang terjadi, dan menolak apa yang sebenarnya diketahui sebagai kebenaran. Ini dilakukan untuk “menyelamatkan” egonya. Meski tidak jarang tindakan ini malah merugikan diri sendiri atau pihak lain.
"Karena biasanya dilakukan dalam keadaan spontan, dengan dorongan emosi yang penuh, sehingga tidak melibatkan akal sehat atau rasional," pungkasnya.
Dia menegaskan, kemampuan pengendalian emosi Adi Saputra sangat buruk. "Secara umum kecerdasan emosinya sangat rendah," katanya ketika dihubungi, Sabtu (9/2/2019). (Baca: Remaja Perusak Motor Sendiri Diduga Alami Gangguan Mental Menyeramkan )
Dalam ilmu psikologi, kata dia, hal ini pria tersebut sedang melakukan defense mechanism. Artinya, ketika ada tekanan dari luar, maka orang tersebut melakukan defense mechanisme yang disebut dengan displacement. "Jadi dia memenuhi rasa impulsifnya (marah) pada object tertentu," ungkapnya.
Sebenarnya kata Shinta, orang tersebut marah pada polisi dan juga marah juga pada dirinya sendiri karena tidak pakai helm). Tapi tidak mungkin melampiaskan marahnya secara langsung pada polisi karena adanya otoritas atau norma yang tidak memungkin untuk melampiaskan marahnya. "Maka motor yang tidak berdaya upaya (tidak bisa melawan) menjadi sasaran kemarahannya," tukasnya.
Ditanya apakah orang tersebut memiliki kelainan emosi, Shinta menuturkan untuk mengetahuinya maka harus dilihat lebih dalam bagaimana keseharian orang ini. Tapi bahwa pengendalian emosinya buruk jelas seperti yang terlihat. Ketika ada tekanan, orang akan melakukan proses memilih akan mengikuti tekanan (flight) atau melawan (fight). (Baca juga: Perusak Motor dan Pembakar STNK di Serpong Terancam 6 Tahun Penjara )"Nah beberapa orang melakukan pola fight untuk menurunkan tekanan yang muncul. Hal ini sebenarnya adalah bentuk defense mechanism yang muncul saat ego pada posisi tertekan. Bentuknya bisa macam-macam, salah satunya ya displacement seperti kasus motor di atas, dan denial seperti kasus ancam petugas," ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa denial adalah proses menolak apa yang terjadi, dan menolak apa yang sebenarnya diketahui sebagai kebenaran. Ini dilakukan untuk “menyelamatkan” egonya. Meski tidak jarang tindakan ini malah merugikan diri sendiri atau pihak lain.
"Karena biasanya dilakukan dalam keadaan spontan, dengan dorongan emosi yang penuh, sehingga tidak melibatkan akal sehat atau rasional," pungkasnya.
(ysw)