Pembongkaran Tunggu Tempat Relokasi PKL
A
A
A
BOGOR - Upaya untuk mencegah bencana tanah longsor, kemacetan, dan kecelakan lalu lintas di jalur Puncak melalui penertiban bangunan liar berupa lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) pada 2018, diakui Pemkab Bogor memang belum maksimal.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Penegakan Peraturan Daerah dan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, Agus Ridho. Menurutnya, kekurangmaksimalan penertiban PKL itu sudah disampaikannya kepada kepala daerah dalam rapat kordinasi pemetaan masalah Kabupaten Bogor.
"Penertiban bangunan liar di sepanjang jalur Puncak yang sudah dilakukan tahun lalu belum maksimal. Kami masih menunggu pembangunan rest area, sebagai tempat relokasi PKL yang sudah dan akan ditertibkan," katanya.
Menurutnya, persoalan yang dihadapi saat ini terkait penertiban dan penataan PKL di Puncak juga diperlukan sinergitas antar-SKPD terkait. Sebab, Satpol hanya sebatas membongkar, jadi percuma saja jika lokasi bekas pembongkaran tak dimanfaatkan.
"Bekas-bekas PKL yang sudah dibongkar itu perlu juga dilakukan pembangunan. Saya juga usulkan kepada Bupati alangkah baiknya itu dijadikan pedestrian yang luas (10-15 meter), ruang terbuka hijau, atau taman, sehingga itu akan menjadi destinasi baru bagi wilayah Kabupaten Bogor," ungkapnya.
Berdasarkan pantauan, meski sudah berulangkali dilakukan penertiban terhadap puluhan, bahkan ratusan bangunan liar di kawasan Puncak, Bogor, tetap saja merek kembali mendirikannya. Bahkan jika dihitung jumlahnya bisa dua kali lipat.
Pasalnya, persoalan tersebut sulit diatasi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman (DTBP) Kabupaten Bogor, 2013 lalu diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel, dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung-Cisarua). Jumlah tersebut diprediksi meningkat setiap tahunnya, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin menjelaskan, maraknya bangunan di kawasan Puncak, selain berakibat pada rusaknya ekosistem hingga bencana banjir juga membuat suhu udara di kawasan berubah.
"Ada beberapa faktor di antaranya yang paling mudah diamati berdasarkan pandangan kasat mata, bukan rahasia lagi bahwa alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung, kini menjadi kawasan terbangun," katanya.
Menurutnya, banyaknya bangunan saat ini baik yang legal maupun ilegal berdiri tak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB). Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri diatas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan.
Tak hanya itu, dia menjelaskan banyak juga pengembang yang mengantungi izin tapi tidak sesuai dengan peruntukkannya. Mulai dari izin pembangunan vila yang kenyataannya malah hotel.
"Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar apalagi saat membangunannya dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan site plan, sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB nya tidak sesuai aturan," tandasnya.
Sementara itu, forest watch Indonesia (FWI) sempat merilis alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor yang merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan.
Data FWI mencatat 5,7 ribu hektare hutan di kawasan Puncak hilang dalam kurun 16 tahun (2000-2016). Aktivis Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menyebutkan, data tersebut berdasarkan hasil risetnya yang dilakukan setelah pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis tentang potensi bencana akibat adanya dugaan alih fungsi hutan di kawasan Puncak, Bogor.
"Tutupan hutan dikawasan Puncak dalam kurun waktu 16 tahun sudah beralih fungsi, diantaranya menjadi area terbangun di DAS Ciliwung, secara keseluruhan ditemukan 5,7 ribu hektar hutan di sepanjang DAS itu hilang," katanya belum lama ini.
Pihaknya sempat menganalisis alih fungsi hutan tersebut denan cara memisahkan antara hutan dan yang bukan hutan. Kemudian dapat ditemukan bahwa hutan seluas 5.700 hektare tersebut telah beralih fungsi menjadi bukan hutan dan dimanfaatkan oleh oknum menjadi bentuk yang lain. (Haryudi)
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Penegakan Peraturan Daerah dan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, Agus Ridho. Menurutnya, kekurangmaksimalan penertiban PKL itu sudah disampaikannya kepada kepala daerah dalam rapat kordinasi pemetaan masalah Kabupaten Bogor.
"Penertiban bangunan liar di sepanjang jalur Puncak yang sudah dilakukan tahun lalu belum maksimal. Kami masih menunggu pembangunan rest area, sebagai tempat relokasi PKL yang sudah dan akan ditertibkan," katanya.
Menurutnya, persoalan yang dihadapi saat ini terkait penertiban dan penataan PKL di Puncak juga diperlukan sinergitas antar-SKPD terkait. Sebab, Satpol hanya sebatas membongkar, jadi percuma saja jika lokasi bekas pembongkaran tak dimanfaatkan.
"Bekas-bekas PKL yang sudah dibongkar itu perlu juga dilakukan pembangunan. Saya juga usulkan kepada Bupati alangkah baiknya itu dijadikan pedestrian yang luas (10-15 meter), ruang terbuka hijau, atau taman, sehingga itu akan menjadi destinasi baru bagi wilayah Kabupaten Bogor," ungkapnya.
Berdasarkan pantauan, meski sudah berulangkali dilakukan penertiban terhadap puluhan, bahkan ratusan bangunan liar di kawasan Puncak, Bogor, tetap saja merek kembali mendirikannya. Bahkan jika dihitung jumlahnya bisa dua kali lipat.
Pasalnya, persoalan tersebut sulit diatasi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman (DTBP) Kabupaten Bogor, 2013 lalu diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel, dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung-Cisarua). Jumlah tersebut diprediksi meningkat setiap tahunnya, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin menjelaskan, maraknya bangunan di kawasan Puncak, selain berakibat pada rusaknya ekosistem hingga bencana banjir juga membuat suhu udara di kawasan berubah.
"Ada beberapa faktor di antaranya yang paling mudah diamati berdasarkan pandangan kasat mata, bukan rahasia lagi bahwa alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung, kini menjadi kawasan terbangun," katanya.
Menurutnya, banyaknya bangunan saat ini baik yang legal maupun ilegal berdiri tak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB). Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri diatas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan.
Tak hanya itu, dia menjelaskan banyak juga pengembang yang mengantungi izin tapi tidak sesuai dengan peruntukkannya. Mulai dari izin pembangunan vila yang kenyataannya malah hotel.
"Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar apalagi saat membangunannya dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan site plan, sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB nya tidak sesuai aturan," tandasnya.
Sementara itu, forest watch Indonesia (FWI) sempat merilis alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor yang merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan.
Data FWI mencatat 5,7 ribu hektare hutan di kawasan Puncak hilang dalam kurun 16 tahun (2000-2016). Aktivis Kampanye FWI Anggi Putra Prayoga menyebutkan, data tersebut berdasarkan hasil risetnya yang dilakukan setelah pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis tentang potensi bencana akibat adanya dugaan alih fungsi hutan di kawasan Puncak, Bogor.
"Tutupan hutan dikawasan Puncak dalam kurun waktu 16 tahun sudah beralih fungsi, diantaranya menjadi area terbangun di DAS Ciliwung, secara keseluruhan ditemukan 5,7 ribu hektar hutan di sepanjang DAS itu hilang," katanya belum lama ini.
Pihaknya sempat menganalisis alih fungsi hutan tersebut denan cara memisahkan antara hutan dan yang bukan hutan. Kemudian dapat ditemukan bahwa hutan seluas 5.700 hektare tersebut telah beralih fungsi menjadi bukan hutan dan dimanfaatkan oleh oknum menjadi bentuk yang lain. (Haryudi)
(nfl)