Butuh Teknologi Pengelolaan Sampah Warga di TPA Rawa Kucing
A
A
A
TANGERANG - Volume sampah warga Kota Tangerang, Banten, mencapai 1.300 ton sehari. Sampah-sampah itu dibuang langsung ke TPA Rawa Kucing di Neglasari.
TPA seluas 34,8 hektare itu, sejak pertama kali dioperasikan pada 1992, sudah terpakai seluas 20 hektare lebih untuk menampung sampah, 7 hektare untuk kawasan hijau, dan sisanya masih ada sekitar 5-7 hektare lagi.
Dalam 5-10 tahun ke depan, TPA itu akan penuh dan tidak bisa digunakan lagi untuk membuang sampah. Di sinilah perlunya teknologi penghancur sampah di TPA itu. Menurut Kepala UPT TPA Rawa Kucing Diding Sudirman, tidak adanya penghancur sampah membuat jutaan ton sampah yang menumpuk selama 26 tahun di TPA itu membentuk piramida setinggi 18 meter.
“Secara keseluruhan, total lahan yang telah digunakan untuk menampung sampah di TPA Rawa Kucing ini ada sekitar 20 hektare lebih,” katanya, kepada KORAN SINDO, di UPTD TPA Rawa Kucing, Senin (7/1).
Dia mengatakan yang membuat TPA Rawa Kucing masih bisa digunakan hingga kini karena sebelum digunakan sebagai TPA, kawasan itu merupakan tambang galian C. “Jadi, kami sebenarnya beruntung. Karena TPA ini dulunya kawasan tambang galian tipe C yang memiliki kedalaman, mulai dari 15 meter, 25 meter, hingga 30 meter, dan sampah bisa masuk ke dalam,” ungkapnya.
Menurutnya, teknologi penghancur sampah itu sangat penting. Sebab, volume sampah warga Kota Tangerang setiap tahun selalu meningkat, mengikuti kenaikan jumlah penduduk Kota Tangerang.
“Kita harus sudah punya teknologi. Karena, jika tidak ada teknologi, pembuangan pasti habis. Dalam 10 tahun ke depan, kita tidak bisa buang sampah. Tapi, bukan hanya teknologi, penghijauannya juga harus jalan,” jelasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Engkos Zarkasih mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian pembangunan teknologi penghancur sampah di TPA Rawa Kucing tersebut. “Saat ini progresnya sudah masuk lelang. Teknologi penghancur itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Dia mengatakan, pembangunan PLTSA di TPA Rawa Kucing selesai dibangun dalam tempo tiga tahun ke depan. Sementara sampah di TPA itu diperkirakan penuh dalam waktu 5-10 tahun ke depan. “Saya kira yang terpenting itu, pemanfaatan teknologinya. Hitungannya mungkin 10 tahun. Tapi, kan PLTSA. Insya Allah, tiga tahun jadi. Mudahmudahan cepat jadi,” tandasnya.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan di TPA Rawa Kucing, sedikitnya ada sekitar 300-400 orang warga sekitar TPA yang bekerja sebagai pemulung, mengais rezeki, dan menggantungkan hidupnya dari sampah.
Wati, salah seorang warga, mengatakan bekerja sebagai pemulung di TPA Rawa Kucing sejak 2016 lalu. Penghasilan memulung di tempat ini cukup lumayan. “Dalam sehari, saya bisa mendapatkan uang Rp100.000 dari mulung. Saya mulung setiap hari. Kadang pagi, malam, tergantung truk sampah yang datang. TPA buka 24 jam. Kalau malam, pakai penerangan,” ujarnya.
Kepala Tata Usaha TPA Rawa Kucing Masan mengatakan sedikitnya sudah ada lima orang pemulung yang diangkat sebagai pegawai TPA menjadi petugas sampah.
“Ada 400 pemulung, rata-rata warga semua, hampir 95% warga sekitar. Penghasilan mereka dari memulung di TPA Rawa Kucing mencapai Rp100.000 per hari. Rata-rata dari mereka punya rumah sendiri,” sebutnya.
Selain menjadi sumber ekonomi warga, TPA Rawa Kucing juga memiliki potensi perekonomian lain yang sangat besar. Terutama kandungan gas metan yang ada di dalamnya jika dikelola dengan baik. Sedikitnya, sudah satu lingkungan RT yang dijadikan objek percontohan yang disalurkan gas metan sampah TPA Rawa Kucing untuk memasak sehari-hari. Selain itu, gas metan di TPA ini juga bisa untuk menerangi jalan umum.
“Gas metan sudah mulai kami salurkan ke masyarakat untuk memasak. Saat ini baru satu RT, ada 12 KK. Jadi, 12 KK ini gratis pakai gas metan. Kami ada 24 sumur gas metan. Itu sejak 2016 lalu,” ungkapnya.
Para pegawai TPA yang berjumlah 159 orang juga bisa memakai gas metan dari sampah itu untuk memasak air dan membuat kopi. Dia mengakui gas metan lebih aman ketimbang gas elpiji yang ada. “Gas ini punya keuntungan tidak sebahaya gas elpiji. Ke depan, warga yang tinggal di radius 500 meter akan disalurkan gas metan semua untuk memasak,” paparnya.
Tidak hanya untuk memasak, gas metan sampah TPA itu juga bisa digunakan untuk menerangi jalan. Meski belum diaplikasikan, upaya ini sudah pernah dilakukan dengan eksperimen kecil melalui genset. “Kami pernah uji coba pada genset 5.000 watt untuk menyalakan listrik pada penerangan di dalam TPA dan berhasil. Tapi, belum kami tindak lanjuti lagi,” ujarnya.
Jika dikelola dengan baik, kandungan gas metan di TPA Rawa Kucing bisa digunakan untuk menerangi semua jalan umum di satu kelurahan. Hal itu mengingat tingginya potensi gas metan di TPA itu. “PLTSA itu sangat ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya tidak mubazir, jadi uapnya atau gas metannya akan menjadi energi. Bahan bakarnya jika biasanya pakai batu bara, kita pakai sampah,” paparnya.
Dia mengatakan, Kota Tangerang memiliki 104 kelurahan dan 13 kecamatan. Semua membuang sampah di TPA ini. Sampah paling banyak disumbang oleh Kecamatan Tangerang, Ciledug, dan Jatiuwung. “Pada awal-awal dulu, setiap pagi, siang, dan malam selalu saja ada warga datang protes bau dan asap kebakaran di TPA. Sekarang, warga datang untuk bermain ke taman edukasi di TPA,” ungkap Masan.
Dia mengatakan sedikitnya ada 7 hektare sampah yang berhasil dijadikan ruang terbuka hijau. Setiap pekan jumlah pengunjung bisa mencapai 700-1200 orang.
“Anggaran kita per tahun Rp11 miliar. Yang paling besar untuk bahan bakar. Karena, kita alat berat semua. Untuk taman, kita hanya upah. Karena, tanaman-tanamannya, kita masih ada 3.000 bibit lagi,” tandasnya. (Hasan Kurniawan)
TPA seluas 34,8 hektare itu, sejak pertama kali dioperasikan pada 1992, sudah terpakai seluas 20 hektare lebih untuk menampung sampah, 7 hektare untuk kawasan hijau, dan sisanya masih ada sekitar 5-7 hektare lagi.
Dalam 5-10 tahun ke depan, TPA itu akan penuh dan tidak bisa digunakan lagi untuk membuang sampah. Di sinilah perlunya teknologi penghancur sampah di TPA itu. Menurut Kepala UPT TPA Rawa Kucing Diding Sudirman, tidak adanya penghancur sampah membuat jutaan ton sampah yang menumpuk selama 26 tahun di TPA itu membentuk piramida setinggi 18 meter.
“Secara keseluruhan, total lahan yang telah digunakan untuk menampung sampah di TPA Rawa Kucing ini ada sekitar 20 hektare lebih,” katanya, kepada KORAN SINDO, di UPTD TPA Rawa Kucing, Senin (7/1).
Dia mengatakan yang membuat TPA Rawa Kucing masih bisa digunakan hingga kini karena sebelum digunakan sebagai TPA, kawasan itu merupakan tambang galian C. “Jadi, kami sebenarnya beruntung. Karena TPA ini dulunya kawasan tambang galian tipe C yang memiliki kedalaman, mulai dari 15 meter, 25 meter, hingga 30 meter, dan sampah bisa masuk ke dalam,” ungkapnya.
Menurutnya, teknologi penghancur sampah itu sangat penting. Sebab, volume sampah warga Kota Tangerang setiap tahun selalu meningkat, mengikuti kenaikan jumlah penduduk Kota Tangerang.
“Kita harus sudah punya teknologi. Karena, jika tidak ada teknologi, pembuangan pasti habis. Dalam 10 tahun ke depan, kita tidak bisa buang sampah. Tapi, bukan hanya teknologi, penghijauannya juga harus jalan,” jelasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Engkos Zarkasih mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian pembangunan teknologi penghancur sampah di TPA Rawa Kucing tersebut. “Saat ini progresnya sudah masuk lelang. Teknologi penghancur itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Dia mengatakan, pembangunan PLTSA di TPA Rawa Kucing selesai dibangun dalam tempo tiga tahun ke depan. Sementara sampah di TPA itu diperkirakan penuh dalam waktu 5-10 tahun ke depan. “Saya kira yang terpenting itu, pemanfaatan teknologinya. Hitungannya mungkin 10 tahun. Tapi, kan PLTSA. Insya Allah, tiga tahun jadi. Mudahmudahan cepat jadi,” tandasnya.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan di TPA Rawa Kucing, sedikitnya ada sekitar 300-400 orang warga sekitar TPA yang bekerja sebagai pemulung, mengais rezeki, dan menggantungkan hidupnya dari sampah.
Wati, salah seorang warga, mengatakan bekerja sebagai pemulung di TPA Rawa Kucing sejak 2016 lalu. Penghasilan memulung di tempat ini cukup lumayan. “Dalam sehari, saya bisa mendapatkan uang Rp100.000 dari mulung. Saya mulung setiap hari. Kadang pagi, malam, tergantung truk sampah yang datang. TPA buka 24 jam. Kalau malam, pakai penerangan,” ujarnya.
Kepala Tata Usaha TPA Rawa Kucing Masan mengatakan sedikitnya sudah ada lima orang pemulung yang diangkat sebagai pegawai TPA menjadi petugas sampah.
“Ada 400 pemulung, rata-rata warga semua, hampir 95% warga sekitar. Penghasilan mereka dari memulung di TPA Rawa Kucing mencapai Rp100.000 per hari. Rata-rata dari mereka punya rumah sendiri,” sebutnya.
Selain menjadi sumber ekonomi warga, TPA Rawa Kucing juga memiliki potensi perekonomian lain yang sangat besar. Terutama kandungan gas metan yang ada di dalamnya jika dikelola dengan baik. Sedikitnya, sudah satu lingkungan RT yang dijadikan objek percontohan yang disalurkan gas metan sampah TPA Rawa Kucing untuk memasak sehari-hari. Selain itu, gas metan di TPA ini juga bisa untuk menerangi jalan umum.
“Gas metan sudah mulai kami salurkan ke masyarakat untuk memasak. Saat ini baru satu RT, ada 12 KK. Jadi, 12 KK ini gratis pakai gas metan. Kami ada 24 sumur gas metan. Itu sejak 2016 lalu,” ungkapnya.
Para pegawai TPA yang berjumlah 159 orang juga bisa memakai gas metan dari sampah itu untuk memasak air dan membuat kopi. Dia mengakui gas metan lebih aman ketimbang gas elpiji yang ada. “Gas ini punya keuntungan tidak sebahaya gas elpiji. Ke depan, warga yang tinggal di radius 500 meter akan disalurkan gas metan semua untuk memasak,” paparnya.
Tidak hanya untuk memasak, gas metan sampah TPA itu juga bisa digunakan untuk menerangi jalan. Meski belum diaplikasikan, upaya ini sudah pernah dilakukan dengan eksperimen kecil melalui genset. “Kami pernah uji coba pada genset 5.000 watt untuk menyalakan listrik pada penerangan di dalam TPA dan berhasil. Tapi, belum kami tindak lanjuti lagi,” ujarnya.
Jika dikelola dengan baik, kandungan gas metan di TPA Rawa Kucing bisa digunakan untuk menerangi semua jalan umum di satu kelurahan. Hal itu mengingat tingginya potensi gas metan di TPA itu. “PLTSA itu sangat ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya tidak mubazir, jadi uapnya atau gas metannya akan menjadi energi. Bahan bakarnya jika biasanya pakai batu bara, kita pakai sampah,” paparnya.
Dia mengatakan, Kota Tangerang memiliki 104 kelurahan dan 13 kecamatan. Semua membuang sampah di TPA ini. Sampah paling banyak disumbang oleh Kecamatan Tangerang, Ciledug, dan Jatiuwung. “Pada awal-awal dulu, setiap pagi, siang, dan malam selalu saja ada warga datang protes bau dan asap kebakaran di TPA. Sekarang, warga datang untuk bermain ke taman edukasi di TPA,” ungkap Masan.
Dia mengatakan sedikitnya ada 7 hektare sampah yang berhasil dijadikan ruang terbuka hijau. Setiap pekan jumlah pengunjung bisa mencapai 700-1200 orang.
“Anggaran kita per tahun Rp11 miliar. Yang paling besar untuk bahan bakar. Karena, kita alat berat semua. Untuk taman, kita hanya upah. Karena, tanaman-tanamannya, kita masih ada 3.000 bibit lagi,” tandasnya. (Hasan Kurniawan)
(nfl)