Buang Air Besar Sembarangan, Sungai di Jakarta Tercemar
A
A
A
JAKARTA - Maraknya permukiman baru di DKI Jakarta dan sekitarnya menimbulkan beberapa persoalan kesehatan lingkungan. Beberapa di antaranya pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga dan merosotnya ketersediaan air bersih.
Berdasarkan data terakhir, 40% sungai di DKI Jakarta tercemar bakteri Escherichia coli (E-coli). Tingginya jumlah E-coli itu mengindikasikan sungai-sungai di DKI Jakarta tercemar tinja.
"Artinya 40% warga DKI Jakarta masih buang air besar sembarangan. Walau pun di WC, tapi salurannya, ujung-ujungnya ke got dan sungai. Itu berdampak terhadap kesehatan," kata Anggota Himpinan Ahli Kesehatan Lingkungan Hidup (HAKLI) Jawa Barat Bambang Yulianto, Senin (19/11/2018).
Sanitasi yang buruk itu ternyata menimbulkan kerugian yang sangat besar. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut bahwa kerugian yang disebabkan sanitasi buruk mencapai Rp5,6 triliun per tahun. Kerugian itu dihitung dari pengobatan masyarakat yang menderita penyakit diare. Penyakit ini mengindikasikan sanitasi di lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak baik.
Untuk itu, kata Bambang, semestinya setiap permukiman memiliki sistem pengolahan limbah yang baik. Dimulai dari rumah yang memiliki biofilter untuk limbah rumah tangganya. Limbah yang telah melalui biofilter itu kemudian dibuang menuju pengolahan limbah komunal. Di sini limbah rumah tangga diolah sampai memenuhi baku mutu yang ditetapkan, baru kemudian dibuang ke sungai.
"Kalau sudah seperti itu aman. Tidak menyebabkan pencemaran di wilayah sekitar," paparnya.
Selain limbah rumah tangga, persoalan kesehatan lingkungan lainnya adalah ketersediaan air bersih di sebuah permukiman. Munculnya banyak perumahan-perumahan baru bisa berdampak pada stok air bersih di sekitarnya. Sebab, perumahan kelas menengah ke atas biasanya menggunakan sumur dalam untuk memenuhi kebutuhan air bersih penghuninya.
"Karena jumlah kebutuhannya cukup banyak, itu (air sumur dalam) bisa menurunkan muka air tanah di sekitarnya. Dampaknya sumur penduduk di sekitarnya jadi gampang kering," kata Bambang.
Karena itu, menurut Bambang, para pengembang harus berpegang kepada tata ruang wilayah. Lokasi yang tidak ideal tidak boleh dipaksakan menjadi perumahan. Selain itu, pengembang melakukan kajian terhadap dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
"Apakah daya dukung lingkungannya memungkinkan, terjadi pergeseran tanah tidak dan sebagainya. Ini penting untuk keselamatan penghuninya," katanya.
Berdasarkan data terakhir, 40% sungai di DKI Jakarta tercemar bakteri Escherichia coli (E-coli). Tingginya jumlah E-coli itu mengindikasikan sungai-sungai di DKI Jakarta tercemar tinja.
"Artinya 40% warga DKI Jakarta masih buang air besar sembarangan. Walau pun di WC, tapi salurannya, ujung-ujungnya ke got dan sungai. Itu berdampak terhadap kesehatan," kata Anggota Himpinan Ahli Kesehatan Lingkungan Hidup (HAKLI) Jawa Barat Bambang Yulianto, Senin (19/11/2018).
Sanitasi yang buruk itu ternyata menimbulkan kerugian yang sangat besar. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut bahwa kerugian yang disebabkan sanitasi buruk mencapai Rp5,6 triliun per tahun. Kerugian itu dihitung dari pengobatan masyarakat yang menderita penyakit diare. Penyakit ini mengindikasikan sanitasi di lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak baik.
Untuk itu, kata Bambang, semestinya setiap permukiman memiliki sistem pengolahan limbah yang baik. Dimulai dari rumah yang memiliki biofilter untuk limbah rumah tangganya. Limbah yang telah melalui biofilter itu kemudian dibuang menuju pengolahan limbah komunal. Di sini limbah rumah tangga diolah sampai memenuhi baku mutu yang ditetapkan, baru kemudian dibuang ke sungai.
"Kalau sudah seperti itu aman. Tidak menyebabkan pencemaran di wilayah sekitar," paparnya.
Selain limbah rumah tangga, persoalan kesehatan lingkungan lainnya adalah ketersediaan air bersih di sebuah permukiman. Munculnya banyak perumahan-perumahan baru bisa berdampak pada stok air bersih di sekitarnya. Sebab, perumahan kelas menengah ke atas biasanya menggunakan sumur dalam untuk memenuhi kebutuhan air bersih penghuninya.
"Karena jumlah kebutuhannya cukup banyak, itu (air sumur dalam) bisa menurunkan muka air tanah di sekitarnya. Dampaknya sumur penduduk di sekitarnya jadi gampang kering," kata Bambang.
Karena itu, menurut Bambang, para pengembang harus berpegang kepada tata ruang wilayah. Lokasi yang tidak ideal tidak boleh dipaksakan menjadi perumahan. Selain itu, pengembang melakukan kajian terhadap dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
"Apakah daya dukung lingkungannya memungkinkan, terjadi pergeseran tanah tidak dan sebagainya. Ini penting untuk keselamatan penghuninya," katanya.
(mhd)