Depok, Kota Hunian yang Ramah bagi Penduduknya

Sabtu, 10 November 2018 - 12:31 WIB
Depok, Kota Hunian yang Ramah bagi Penduduknya
Depok, Kota Hunian yang Ramah bagi Penduduknya
A A A
Sejak awal, keberadaan Kota Depok dirancang sebagai sebuah kota hunian yang ramah bagi penduduknya, Friendly City, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Depok, memiliki jati diri sebagai kota hunian mandiri karena tidak memiliki kekayaan alam dan destinasi wisata yang dapat dijadikan sebagai brand kota. Saat ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok tidak lagi mengeluarkan izin untuk pendirian pabrik baru.

“Depok bukan tempat bagi industri dan pabrik skala besar, tapi memfokuskan diri pada sektor ekonomi yang dikembangkan seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan ekonomi kreatif,” kata Wali Kota Depok KH Dr Mohammad Idris MA seusai mengikuti Program Indonesia Visionary Leader Season 3 di Gedung Sindo, Selasa (30/10/2018).

Selain jadi Friendly City, kata Idris, juga muncul ide dan gagasan menjadikan Kota Depok sebagai Lab City (Kota akademisi dan penelitian) usulan dari civitas Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gunadarma.

“Para aka demisi berharap ilmu yang mereka miliki bisa tersebar dan bermanfaat tidak hanya di Kota Depok, tapi ke seluruh Indonesia, bahkan dunia,” jelas Idris. Namun demikian, keberadaan Lab City tidak berada di bawah naungan dinas mau pun departemen tertentu. “Mereka menginginkan Pemkot Depok sebagai partner untuk memfasilitasi lembaga Lab City.

Dalam kondisi UI saat ini yang mandiri dan tidak di bawah naungan dinas dan departemen pendidikan serta departemen lain, upaya mewujudkan Lab City memungkinkan. Kota Depok sebagai tempatnya berdomisilinya civitas akademika UI dan Gunadarma,” papar dia.

Berdasarkan data yang dimiliki Pemkot Depok, warga yang migrasi ke Kota Depok tercatat ada 3,4% per tahun dan terus meningkat hingga pada tahun 2014 terjadi kenaikan mencapai 4,2%. “Migrasi ini akibat dari adanya penertiban kawasan yang dilakukan Pemda DKI, dan warga yang tadinya tinggal di Jakarta, berpindah ke Depok,” ungkap Idris.

Idris menambahkan, berdasarkan data yang dimilikinya dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang bekerja di DKI, kini bermukimnya di Kota Depok. “Mereka tinggal di rumah hunian, kontrakan, apartemen, dan kos-kosan,” ujar Idris.

Untuk itu, jelas Idris, Pemkot Depok akan membuat regulasi terkait pengetatan dan pengawasan hunian sementara seperti kontrakan, kos-kosan dan sejenisnya. Tujuannya supaya Kota Depok tertata rapi dan tidak menimbulkan dampak sosial yang negatif.

Selanjutnya, untuk mewujudkan Depok sebagai kota hunian yang ramah, Idris sepakat dengan dengan wacana yang diungkapkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soemarsono.

“Meski jadi megapolitan, namun kewenangan pe me rintahan regional tetap ada.
Megapolitan hanya fokus di pembangunan dan realisasinya sehingga masalah di kota penyangga bisa di selesaikan,” kata Idris.

Terkait masalah keamanan dan kenyamanan warga Depok, kata dia, harus dibuatkan regulasi khusus supaya hubungan antara instansi vertikal yang ada kepemerintah pusat terjalin harmonis.

Contohnya, keberadaan instansi kepolisian dan TNI di Depok masih terkoordinasi ke atas lembaganya, yakni polisi ke Polda Metro Jaya dan TNI ke Kodam Jaya. Padahal, kata Idris, wilayah Kota Depok masuk ke dalam Provinsi Jawa Barat.

“Alhasil, ketika ada penyuluhan-penyuluhan dan instruksi dari Gubernur Jawa Barat ten tang masalah pertahanan dan keamanan, me reka (TNI-Polri) tidak berpatokan ke Gubernur Jawa Barat. Sebab atasan mereka Polda Metro Jaya, bukan Polda Jawa Barat, begitu juga TNI. Hal semacam ini kadang menjadi permasalahan. Pemkot Depok ingin masalah semacam segera diselesaikan,” papar Idris.

Sedangkan untuk menyiasati masalah tersebut, kata Idris, maka Pemkot Depok sering dilakukan rapat bulanan bidang pertahanan dan keamanan (hankam).
Dibuatkan kerja sama dan memorandum of understanding(MoU) dengan instansi terkait supaya dapat bekerja sama mewujudkan keamanan.

Rencana kerja Pemkot Depok ke depan, kata Idris, saat ini pihaknya sedang mengkaji dan mengembangkan aturan tata ruang hunian vertikal. “Aturannya, tidak bisa dilakukan pembangunan hunian vertikal kalau jalannya belum minimal 24 meter lebarnya (ROW). Kebanyakan jalan-jalan dengan lebar 24 meter adalah jalan milik pemerintah pusat,” kata dia.

Contohnya, ungkap Idris, Jalan Raya Sawangan yang pada tahun 2017 sebenarnya Pemkot Depok sudah menganggarkan Rp30 miliar untuk pembangunan jalan tersebut, tetapi tidak mendapat izin dari pemerintah pusat karena itu menjadi kewenangan pusat.

“Katanya biar kami (pusat) yang membangun. Tapi, ditunggu-tunggu sampai sekarang belum juga dilakukan pembangunan jalan tersebut. Sebab, kendala terbesar adalah soal pem bebasan lahan, bukan pelebaran jalannya,” kata dia. Adapun masalah kemacetan di Kota Depok yang terjadi saat ini karena jalan dari utara ke selatan relatif lebih banyak ketimbang dari barat ke timur.

Sebab, jalur dari barat ke timur hanya satu yakni, Jalan Raya Sawangan dan Jalan Raya Tole Iskandar. Sedangkan keberadaan jalan tol, Kota Depok saat ini memiliki empat jalur tol. Pemkot Depok sudah mengusulkan kepemerintah pusat agar bisa membantu Depok membangun Jalan Juanda yang bisa di teruskan sampai Cinere.

Bukan jalan tol tapi jalan biasa. Termasuk juga jalan di Terminal Jati jajar, akan dibebaskan lahan untuk dilakukan pembangunan diteruskan hingga tembus ke Jatiasih. Harapannya, kata dia, keberadaan jalan tol juga didampingi dengan jalan penunjang.

“Nah jalan penunjang inilah yang akan kami buat dan diusulkan ke Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ)-Kementerian Perhubungan sebagai ringroad,yakni jalan yang bisa berputar mengelilingi Kota Depok tapi bukan jalan tol. Jalan ini akan menyambungkan titik-titik jalur tol di Kota Depok,” pungkas Idris.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5277 seconds (0.1#10.140)