Groundbreaking MRT Bundaran HI-Kelapa Gading Dilakukan Akhir 2018
A
A
A
JAKARTA - PT Mass Rapid Transit (MRT) masih menunggu dokumen Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) dari Pemerintah Jepang untuk pembangunan jalur MRT Fase II (Bundaran HI-Kampung Bandan). PT MRT pastikan belum adanya perjanjian tidak mengganggu rencana groundbreaking pada akhir tahun ini.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar mengatakan, proses loan aggrement untuk membangun MRT fase II sebesar Rp25 triliun hanya tinggal menunggu dokumen dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sebagai perwakilan Pemerintah Jepang. Menurutnya, proses tersebut tidak akan ada tandatangan loan agreement lagi.
William mengakui PT MRT Jakarta menargetkan groundbreaking fase II dimulai pada akhir tahun ini dengan target penyelesaian loan agreement atau perjanjian pinjaman luar negeri pada Juli 2018 lalu. Namun, hingga September dokumen loan agreement belum kunjung diterima PT MRT Jakarta.
Meski terjadi keterlambatan proses administrasi hal itu tidak mempengaruhi persiapan Fase II. Sambil menunggu dokumen Perjanjian Pinjaman pihaknya tetap melakukan persiapan desain dan lain-lain.
"Ya administrasi lah. Saya juga berharap bisa cepat tapi kan pekerjaannya seperti itu. Tapi tidak menghambat proses yang sedang kita kerjakan," kata William di kantor PT MRT Jakarta, kemarin.
William menjelaskan, PT MRT Jakarta berencana melanjutkan pembangunan jalur MRT menuju Utara Jakarta sepanjang 8,3 kilometer hingga Kampung Bandan. Terdiri dari delapan stasiun bawah tanah yaitu Sarinah, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok dan Kampung Bandan. Adapun nilai investasi Fase II sebesar Rp22,5 triliun atau lebih mahal dibanding Fase I senilai Rp16 triliun dengan panjang lintasan 16 km.
Kepada Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) Pemerintah Indonesia meminjam dana sebesar Rp22,5 triliun untuk pembangunan Fase II. Tidak ada lagi kegiatan penandatanganan antara MRT dan Pemerintah Jepang. MRT hanya tinggal menunggu dokumen dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sebagai perwakilan Pemerintah Jepang.
"Tidak akan ada tandatangan loan agreement lagi. Kita juga tunggu Exchange of Notes antara Kemenlu dengan Kedutaan Besar Jepang. Ketika Exchange Note ini disepakati otomatis Loan Agreement ditandatangani," jelasnya.
Pemerintah Jepang dalam hal ini Kementerian Luar Negeri Jepang sudah menyatakan kesediaannya meminjamkan dana. Pemerintah Jepang yang melakukan negosiasi sudah setuju. Artinya, proses tersebut seharusnya sudah tidak ada masalah.
William meyakini, dalam waktu dekat dokumen Loan Agreement akan diterima. Pasalnya, dalam Minute of Discussion (MoD) yang dilaksanakan Februari lalu Pemerintah Jepang secara informal menyampaikan persetujuan pinjaman.
Kucuran dana dari Jepang itu dipastikan teralokasi baik dalam APBD dan APBN 2019. Dengan demikian dipastikan groundbreaking MRT Fase II tetap akan dilaksanakan akhir tahun ini.
"Dokumen Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sudah tidak ada masalah," katanya.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko mengatakan, selain belum mendapatkan dokumen loan agreement, perjanjian kerja sama antara PT MRT dengan PT KAI selaku pemilik lahan Kampung Bandan yang akan digunakan untuk Depo MRT juga masih dalam pembahasan.
Namun, Sigit enggan menjelaskan lebih detail sudah sampai mana pembahasan ditargetkan oleh PT MRT pada Juli-Agustus itu.
"Kami harap perjanjian kerjasama penggunaan lahan segera diselesaikan agar pembangunan bisa dilaksanakan sesuai target akhir tahun ini," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) bidang perkeretaapian, Aditya Dwilaksana menilai rencana pembangunan MRT fase II, khususnya depo Kampung Bandan di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) belum matang. Apalagi sebelumnya DKI memiliki rencana membangun Depo di kawasan Ancol. Meskipun PT KAI mempersilakan lahannya digunakan untuk Depo, kerja sama bisnis to bisnis antara PT KAI dengan MRT belum ada perjanjian yang pasti.
"MRT harus kerja sama dengan perjanjian matang baik dengan PT KAI ataupun pihak lainnya agar estimasi yang disetujui sudah sesuai dengan rencana yang matang. Jangan smapai PT KAI atau pihak lainnya minta tambahan didalam perjalanannya," pungkasnya.
Adit meminta agar Pemprov DKI dan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) duduk bersama membicarakan kerja sama yang saling menguntungkan. Sebab, kata dia, PT KAI sebagai BUMN yang berorientasi terhadap keuntungan tidak mungkin begitu saja menyerahkan aset tanpa adanya keuntungan. Apalagi umumnya bila bekerja sama dengan pihak ketiga atau perusahaan swasta, keuntungan PT KAI ljauh lebih besar ketimbang kerjasama dengan sesama pemerintah.
Selain itu, lanjut Adit, banyak pembangunan di Jakarta yang dibangun oleh BUMN dan BUMD. Dia khawatir saat dioperasionalkan nanti, baik itu MRT dengan Kereta api atau dengan LRT Jabodetabek dan moda transportasi berbasis angkutan jalan, pengelolaannya tidak terintegrasi. Akibatnya masyarakat yang tidak tahu menahu soal itu merasakan kesulitan dalam menggunakan transportasi massal.
"Masyarakat itu mau naik transportasi masal kalau saling terintegrasi. Bukan hanya fisik, tiket dan jadwal operasionalnya pun harus terintegrasi," pungkasnya.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar mengatakan, proses loan aggrement untuk membangun MRT fase II sebesar Rp25 triliun hanya tinggal menunggu dokumen dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sebagai perwakilan Pemerintah Jepang. Menurutnya, proses tersebut tidak akan ada tandatangan loan agreement lagi.
William mengakui PT MRT Jakarta menargetkan groundbreaking fase II dimulai pada akhir tahun ini dengan target penyelesaian loan agreement atau perjanjian pinjaman luar negeri pada Juli 2018 lalu. Namun, hingga September dokumen loan agreement belum kunjung diterima PT MRT Jakarta.
Meski terjadi keterlambatan proses administrasi hal itu tidak mempengaruhi persiapan Fase II. Sambil menunggu dokumen Perjanjian Pinjaman pihaknya tetap melakukan persiapan desain dan lain-lain.
"Ya administrasi lah. Saya juga berharap bisa cepat tapi kan pekerjaannya seperti itu. Tapi tidak menghambat proses yang sedang kita kerjakan," kata William di kantor PT MRT Jakarta, kemarin.
William menjelaskan, PT MRT Jakarta berencana melanjutkan pembangunan jalur MRT menuju Utara Jakarta sepanjang 8,3 kilometer hingga Kampung Bandan. Terdiri dari delapan stasiun bawah tanah yaitu Sarinah, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok dan Kampung Bandan. Adapun nilai investasi Fase II sebesar Rp22,5 triliun atau lebih mahal dibanding Fase I senilai Rp16 triliun dengan panjang lintasan 16 km.
Kepada Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) Pemerintah Indonesia meminjam dana sebesar Rp22,5 triliun untuk pembangunan Fase II. Tidak ada lagi kegiatan penandatanganan antara MRT dan Pemerintah Jepang. MRT hanya tinggal menunggu dokumen dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta sebagai perwakilan Pemerintah Jepang.
"Tidak akan ada tandatangan loan agreement lagi. Kita juga tunggu Exchange of Notes antara Kemenlu dengan Kedutaan Besar Jepang. Ketika Exchange Note ini disepakati otomatis Loan Agreement ditandatangani," jelasnya.
Pemerintah Jepang dalam hal ini Kementerian Luar Negeri Jepang sudah menyatakan kesediaannya meminjamkan dana. Pemerintah Jepang yang melakukan negosiasi sudah setuju. Artinya, proses tersebut seharusnya sudah tidak ada masalah.
William meyakini, dalam waktu dekat dokumen Loan Agreement akan diterima. Pasalnya, dalam Minute of Discussion (MoD) yang dilaksanakan Februari lalu Pemerintah Jepang secara informal menyampaikan persetujuan pinjaman.
Kucuran dana dari Jepang itu dipastikan teralokasi baik dalam APBD dan APBN 2019. Dengan demikian dipastikan groundbreaking MRT Fase II tetap akan dilaksanakan akhir tahun ini.
"Dokumen Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang sudah tidak ada masalah," katanya.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widjiatmoko mengatakan, selain belum mendapatkan dokumen loan agreement, perjanjian kerja sama antara PT MRT dengan PT KAI selaku pemilik lahan Kampung Bandan yang akan digunakan untuk Depo MRT juga masih dalam pembahasan.
Namun, Sigit enggan menjelaskan lebih detail sudah sampai mana pembahasan ditargetkan oleh PT MRT pada Juli-Agustus itu.
"Kami harap perjanjian kerjasama penggunaan lahan segera diselesaikan agar pembangunan bisa dilaksanakan sesuai target akhir tahun ini," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) bidang perkeretaapian, Aditya Dwilaksana menilai rencana pembangunan MRT fase II, khususnya depo Kampung Bandan di atas lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) belum matang. Apalagi sebelumnya DKI memiliki rencana membangun Depo di kawasan Ancol. Meskipun PT KAI mempersilakan lahannya digunakan untuk Depo, kerja sama bisnis to bisnis antara PT KAI dengan MRT belum ada perjanjian yang pasti.
"MRT harus kerja sama dengan perjanjian matang baik dengan PT KAI ataupun pihak lainnya agar estimasi yang disetujui sudah sesuai dengan rencana yang matang. Jangan smapai PT KAI atau pihak lainnya minta tambahan didalam perjalanannya," pungkasnya.
Adit meminta agar Pemprov DKI dan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) duduk bersama membicarakan kerja sama yang saling menguntungkan. Sebab, kata dia, PT KAI sebagai BUMN yang berorientasi terhadap keuntungan tidak mungkin begitu saja menyerahkan aset tanpa adanya keuntungan. Apalagi umumnya bila bekerja sama dengan pihak ketiga atau perusahaan swasta, keuntungan PT KAI ljauh lebih besar ketimbang kerjasama dengan sesama pemerintah.
Selain itu, lanjut Adit, banyak pembangunan di Jakarta yang dibangun oleh BUMN dan BUMD. Dia khawatir saat dioperasionalkan nanti, baik itu MRT dengan Kereta api atau dengan LRT Jabodetabek dan moda transportasi berbasis angkutan jalan, pengelolaannya tidak terintegrasi. Akibatnya masyarakat yang tidak tahu menahu soal itu merasakan kesulitan dalam menggunakan transportasi massal.
"Masyarakat itu mau naik transportasi masal kalau saling terintegrasi. Bukan hanya fisik, tiket dan jadwal operasionalnya pun harus terintegrasi," pungkasnya.
(mhd)