Posisi Wagub DKI, PKS dan Gerindra Jangan Bagi-bagi Kue Kekuasaan
A
A
A
JAKARTA - Perebutan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta antara Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semakin terbuka. Terkait hal ini aktivis mengingatkan agar PKS dan Gerindra sebaiknya memikirkan pengganti Sandiaga Uno yang mampu menutupi kelemahan Gubernur Anies Baswedan dalam mengelola birokrasi.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menegaskan, PKS dan Gerindra sebaiknya tidak 'bagi-bagi kue kekuasaan' dalam menentukan calon Wakil Gubernur DKI. "Tetapi harus mencari orang yangg bisa mengisi kelemahaan Anies," ujar Uchok Sky Khadafi.
Anies Baswedan, kata dia, selaku Gubernur DKI Jakarta sangat lemah dalam membenahi birokrasi yang melayani rakyat. Uchok mencontohkan, saat ini, banyak kepala dinas yang status pelaksana tugas atau Plt, bukan pejabat definitif. Akibatnya, pelayanan publik terganggu dan realiasi anggaran terhambat.
Uchok juga mencontohkan kebijakan yang belum ditepati ketika wakil gubernur masih dijabat Sandiaga Uno, yaitu merevisi lelang konsolidasi. Sandiaga Uno juga dinilai tidak serius untuk menepati janjinya merevisi skema lelang konsolidasi.
Padahal, dengan adanya revisi tentang skema lelang tersebut, berbagai proyek di DKI Jakarta tidak hanya dinikmati oleh segelintir perusahaan swasta besar, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) saja.
Namun dengan revisi skema lelang konsolidasi tersebut, dapat mengakomodasi keberlangsungan bisnis dari pengusaha kelas menengah ke bawah atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Untuk diketahui, kedua partai itu berebut posisi wakil gubernur DKI setelah Sandiaga Uno, yang dulu diusung Gerindra dan PKS pada Pilkada DKI 2017, menyatakan mundur dari jabatan itu karena ingin maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2019.
Dalam perkembangan terbaru terungkap bahwa Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Mohamad Taufik telah menyetujui dua nama kader PKS sebagai penganti Sandiaga Uno. Namun Taufik menyatakan persetujuan itu tidak sah secara administratif.
Persetujuan Taufik yang kemudian dianggap tidak sah itu merujuk pada peristiwa pada 10 Agustus 2018 di ruang tunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat itu merupakan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden usungan Gerindra dan PKS, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Iman Satria membeberkan apa yang terjadi hari itu. Menurut dia, saat itu Wakil Sekjen DPP PKS Abdul Hakim menyodorkan surat kepada Mohamad Taufik.
Surat itu berisi kesepakatan bahwa posisi wakil gubernur akan diisi kader PKS. PKS sudah mencantumkan dua nama kadernya yang akan diajukan sebagai kandidat wagub. Nama yang diajukan (PKS) itu Mardani Ali Sera sama Nurmansjah Lubis.
Mardani Ali Sera merupakan Ketua DPP PKS, sedangkan Nurmansjah Lubis adalah anggota DPR daerah pemilihan DKI Jakarta dari PKS. Mohamad Taufik mengaku menandatangani surat itu. Belakangan, dia mengatakan bahwa penandatangan itu dilakukan agar tidak terjadi keramaian di ruang VIP pada waktu itu.
Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menegaskan, PKS dan Gerindra sebaiknya tidak 'bagi-bagi kue kekuasaan' dalam menentukan calon Wakil Gubernur DKI. "Tetapi harus mencari orang yangg bisa mengisi kelemahaan Anies," ujar Uchok Sky Khadafi.
Anies Baswedan, kata dia, selaku Gubernur DKI Jakarta sangat lemah dalam membenahi birokrasi yang melayani rakyat. Uchok mencontohkan, saat ini, banyak kepala dinas yang status pelaksana tugas atau Plt, bukan pejabat definitif. Akibatnya, pelayanan publik terganggu dan realiasi anggaran terhambat.
Uchok juga mencontohkan kebijakan yang belum ditepati ketika wakil gubernur masih dijabat Sandiaga Uno, yaitu merevisi lelang konsolidasi. Sandiaga Uno juga dinilai tidak serius untuk menepati janjinya merevisi skema lelang konsolidasi.
Padahal, dengan adanya revisi tentang skema lelang tersebut, berbagai proyek di DKI Jakarta tidak hanya dinikmati oleh segelintir perusahaan swasta besar, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) saja.
Namun dengan revisi skema lelang konsolidasi tersebut, dapat mengakomodasi keberlangsungan bisnis dari pengusaha kelas menengah ke bawah atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Untuk diketahui, kedua partai itu berebut posisi wakil gubernur DKI setelah Sandiaga Uno, yang dulu diusung Gerindra dan PKS pada Pilkada DKI 2017, menyatakan mundur dari jabatan itu karena ingin maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2019.
Dalam perkembangan terbaru terungkap bahwa Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Mohamad Taufik telah menyetujui dua nama kader PKS sebagai penganti Sandiaga Uno. Namun Taufik menyatakan persetujuan itu tidak sah secara administratif.
Persetujuan Taufik yang kemudian dianggap tidak sah itu merujuk pada peristiwa pada 10 Agustus 2018 di ruang tunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat itu merupakan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden usungan Gerindra dan PKS, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Iman Satria membeberkan apa yang terjadi hari itu. Menurut dia, saat itu Wakil Sekjen DPP PKS Abdul Hakim menyodorkan surat kepada Mohamad Taufik.
Surat itu berisi kesepakatan bahwa posisi wakil gubernur akan diisi kader PKS. PKS sudah mencantumkan dua nama kadernya yang akan diajukan sebagai kandidat wagub. Nama yang diajukan (PKS) itu Mardani Ali Sera sama Nurmansjah Lubis.
Mardani Ali Sera merupakan Ketua DPP PKS, sedangkan Nurmansjah Lubis adalah anggota DPR daerah pemilihan DKI Jakarta dari PKS. Mohamad Taufik mengaku menandatangani surat itu. Belakangan, dia mengatakan bahwa penandatangan itu dilakukan agar tidak terjadi keramaian di ruang VIP pada waktu itu.
(thm)