Terkendala Pembebasan Lahan, Pembangunan Depo LRT Bekasi Molor 3 Bulan

Senin, 16 April 2018 - 05:07 WIB
Terkendala Pembebasan...
Terkendala Pembebasan Lahan, Pembangunan Depo LRT Bekasi Molor 3 Bulan
A A A
BEKASI - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebutkan pengerjaan depo kereta api ringan (ligh rail transit/LRT) di Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi diproyeksikan bakal molor tiga bulan. Padahal, target pembangunan dimulai Maret 2018 di lahan 12 hektar.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenhub, Jumardi mengatakan, target itu meleset karena adanya beberapa kendala tekhnis dalam pembangunan depo LRT di Bekasi. ”Tapi kami target pertengahan Juni, pembangunan depo sudah dimulai,” ujarnya, Minggu (15/4/2018).

Menurutnya, penyebab utamanya keterlambatan ini karena adanya penolakan warga di wilayah setempat. Pada awal April 2018, Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi telah mendata ada sekitar 160 bidang lahan milik negara yang dihuni penduduk sekitar.

Meski demikian, kata dia, pemerintah bakal tetap mengganti rugi bangunan milik warga. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Guna Kepentingan Umum. Karena lahan negara, diganti bangunan dan tumbuhan saja.

Dia juga berjanji, bakal mengadakan mediasi dengan warga setempat, asalkan pihak yang bersangkutan merasa keberatan dengan proses ganti rugi bangunannya. Mulai Kamis (12/4) lalu, Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi telah mengumumkan lahan yang bakal terkena dampak pembangunan depo.

Bila tidak ada komplain dari warga selama 14 hari masa kerja, maka proses ganti rugi akan diteruskan ke tim appraisal. Tim independen ini bakal menghitung nilai ganti rugi yang diperoleh warga, seperti bangunan, lahan, tumbuhan, kenyamanan dan sebagainya.

Jumardi menjelaskan, jumlah kebutuhan lahan untuk pembangunan LRT di wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi mencapai 60 hektar dengan nilai pengadaan tanah sekitar Rp1,9 triliun. Dana sebanyak itu, diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di daerah Jatimulya, kata dia, pemerintah membutuhkan lahan sekitar 12 hektar untuk lintasan dan depo LRT. Enam hektar di antaranya lahan milik PT Adhi Karya (Persero) Tbk, namun dikuasai oleh 300 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan, lima hektar lagi milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Berdasarkan catatannya, progres pembangunan LRT secara total sampai April 2018 telah mencapai 36%. Rinciannya, lintas pelayanan I Cawang-Cibubur mencapai 59%; lintas pelayanan II Cawang-Dukuh Atas mencapai 19% dan lintas pelayanan III Cawang-Bekasi Timur mencapai 36%.

Apalagi, proyek senilai Rp31 triliun ini bakal dioperasikan pada 31 Mei 2019 mendatang. Dana yang dikucurkan bukan diperoleh dari APBN saja, tapi dari pinjaman yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai operator kereta. Dari nilai itu, pemerintah menyuntikkan dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp7,6 triliun dan sisanya dicarikan dari pinjaman.

Sementara, PT Adhi Persada Properti menilai, adanya warga yang menempati lahan proyek pembangunan depo kereta api ringan memicu keterlambatan progres pembangunan. Padahal sosialisasi sudah dilakukan oleh Kemenhub dan Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi.

”Saat ini sedang dalam proses penyiapan lahan. Adanya beberapa warga yang menempati lahan tersebut, membuat progres pembangunan depo terlambat,” kata Direktur Utama PT Adhi Persada Properti, Agus Sitaba kepada Koran SINDO di Bekasi.

Menurut dia, ada sekitar enam hektar yang tidak bisa dikembangkan menjadi depo LRT. Padahal lahan di sana milik negara yang diserahkan ke induk perusahannya, yakni PT Adhi Karya (Persero) Tbk dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) selaku pelaksana proyek LRT Jabodebek.

”Keberadaan LRT sangat dibutuhkan untuk menunjang transportasi warga yang tinggal di sekitar DKI Jakarta,” katanya.

Apalagi, Bekasi akan menjadi kota besar sebagai daerah megapolitan bayangan Jakarta. Di Bekasi, juga marak dibangun mega proyek lainnya sangat berpotensi pengembangan sektor properti.

Dia mencatat, di Jatimulya ada sekitar 15 hektar lahan yang belum dikembangkan, untuk depo LRT, pengembangan hunian dan kawasan komersial. Bahkan, posisi lahan yang menjadi satu dengan Stasiun LRT, ke depan akan menjadi pilihan masyarakat dalam mencari hunian.

Soalnya, telah terintegrasi dengan sistem transportasi massal. Saat ini, sebagian lahan sudah dikembangkan melalui pembangunan apartemen (Kawasan LRT City) yang saat ini sudah dihuni oleh masyarakat. ”Kami juga tengah membangun kawasan komersial di wilayah setempat,” ungkapnya.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Islam 45 Bekasi, Harun Al Rasyid menilai, perkembangan Bekasi saat ini, tidak lagi hanya berperan sebagai penopang Jakarta, akan tetapi sedang mengarah pada sebuah kota metropolis.

Gencarnya pembangunan berbagai infrastruktur, terutama di bidang transportasi akan memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi perkembangan. Selain itu, bakal mengubah wajah Kota Bekasi menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

”Keberadaan LRT, tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) serta Jakarta-Cikampek Elevated bakal mengurangi tingkat kemacetan yang setiap hari terjadi di jalan-jalan menuju Jakarta,” kata pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi (DTKB) ini.

Menurut dia, dengan adanya sarana transportasi yang memadai dan nyaman, diperkirakan makin banyak masyarakat yang akan menjadi kaum sub-urban di Bekasi. Dengan meningkatnya jumlah kaum sub-urban ini, kata dia, akan memberikan stimulus bagi perekonomian Bekasi.

Terpisah, Koordinator warga setempat, Sondi Silalahi mengatakan RW yang terkena dampak pembangunan ini yakni 06, 07 dan 08. Bahkan, kata dia, warga tidak pernah mendapat undangan mediasi dari pemerintah terkait rencana pembangunan LRT.

Dia mengklaim, selama ini hanya mendapat undangan sosialisasi tentang rencana pembangunan kawasan LRT di perkampungannya.”Tidak ada undangan mediasi, dan tahu-tahu ada undangan sosialisasi bahwa di sini akan dibangun kawasan LRT,” paparnya.

Sondi menjelaskan, sebetulnya warga mendukung rencana pemerintah yang ingin membangun transportasi massal di tanah negara tersebut. Hanya saja, mereka menginginkan adanya mediasi, sehingga pemerintah bisa mengetahui keluh kesahnya.

Menurut dia, ada sekitar 500 kepala keluarga (KK) yang menempati lahan di sana. Mereka berlatar belakang ekonomi rendah dengan mengandalkan usaha dagang seperti makanan, warung kelontong, bahkan pekerja lepas.”Kami sudah menempati lahan ini hingga 25-30 tahun,” tegasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0797 seconds (0.1#10.140)