Pulih dari Gizi Buruk, Balita di Tangsel Terus Dipantau
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Sejumlah Balita yang mengidap gizi buruk di wilayah Kota Tangerang Selatan (Tangsel), kini sebagian besarnya telah memasuki peningkatan medis. Bocah-bocah itu beranjak pulih dari status gizi buruk menjadi gizi kurang.
Meski secara antropometri dinyatakan pulih, namun pengawasan rutin dalam Pemberian Makanan Tambahan (PMT) terhadap Balita itu terus dilakukan oleh petugas kesehatan dari Puskesmas dan Posyandu setempat.
Seperti yang dialami oleh bocah berinisial MIF (2), putra sulung dari pasangan Sahrul (20), dan Wita Yulianti (18), itu tiap pekan didatangi petugas kesehatan yang ingin mengecek dan memantau kondisi pertumbuhannya.
Keluarga kecil MIF, baru sekira 3 bulan belakangan tinggal di bangunan rumah sederhana yang terletak daerah Bakti Jaya, Setu, Kota Tangsel. Keseharian dari sang ayah, Sahrul, hanyalah seorang pedagang sayuran keliling, sedangkan istrinya, Wita, selalu berada di rumah menemani MIF.
MIF didiagnosa mengidap gizi buruk pada akhir 2017 lalu. Ketika itu, petugas Posyandu dan Puskesmas Kecamatan Setu mendapati kondisi pertumbuhan MIF tak berimbang, dimana beratnya hanya 8,2 kilo dengan usia yang berjalan.
Pihak keluarga sendiri tak menyadari jika MIF ternyata dikategorikan gizi buruk, karena sebelumnya mereka memang tinggal di daerah Rawa Kalong (Perbatasan Kota Tangsel dan Kabupaten Bogor), dan tak pernah memeriksakan kondisi MIF ke Posyandu tempat tinggalnya kala itu.
"Baru tahu waktu dicek di Posyandu di sini (Tangsel), beratnya waktu itu cuma 8,2 kilo. Habis itu dikasih biskuit, susu, dan diarahin supaya menjaga asupan makanan yang bergizi. Alhamdulillah sejak itu, kondisinya terus membaik, beratnya juga sudah naik sekarang," tutur Wita ditemui di rumahnya, Rabu 11 April 2018.
Petugas Nutrisionis Puskesmas Bakti Jaya, Lia Leviyanti, menerangkan, kondisi MIF mengalami peningkatan berarti usai menjalani penanganan khusus. Beratnya pun saat ini telah mencapai batas normal, yakni 9 kilo, dibandingkan periode sebelumnya, Januari-Februari 2018 seberat 8,6 kilo, dan Desember 2017 seberat 8,2 kilo.
"Kalau MIF ini kan memang mengidap gizi buruk itu karena faktor pola asuh dari orang tuanya. Jadi progres penanganannya pun bisa cepat, sekira 3 bulan sejak didiagnosa itu (Desember 2017) sampai sekarang sudah meningkat statusnya, tak lagi gizi buruk. Tapi kita terus memberikan Conceling kepada orang tuanya bagaimana menjaga pola asuh terhadap si anak, selain itu juga asupan PMT terus kita berikan," kata Leviyanti saat memantau perkembangan MIF.
Balita lainnya yang juga sempat mengidap gizi buruk adalah seorang anak perempuan berinisial, SF (2,3), putri bungsu dari 3 bersaudara, Suci Silviani (8), dan Ari Saputra (12). Mereka kini hanya memiliki orang tua tunggal, yakni Ibunya yang bernama Turinah (38). Sementara sang ayah, telah lama memilih untuk berpisah.
Turinah, SF dan kedua kakaknya tinggal mengontrak di Jalan Pembangunan, Serua, Ciputat. Untuk menafkahi ketiga anaknya, tiap hari Turinah harus berjualan gorengan sambil menggendong SF keliling kampung mengendarai sepeda.
Penghasilannya berdagang sebenarnya tak seberapa, dari pagi hari hingga pukul 11.00 WIB, paling banyak mendapat uang sebesar Rp50 ribu. Itu pun harus dibagi setoran kepada pemilik kue. Sisanya, barulah disisihkan untuk membeli beras, lauk pauk, dan kebutuhan lain bagi ketiga anaknya.
Kondisi keprihatinan itu, tentu menjadi salah satu pemicu yang menyebabkan perhatian terhadap kesehatan sang anak tak begitu diutamakan. Hingga pada suatu waktu, barulah diketahui jika SF ternyata menderita gizi buruk akibat kekeliruan dalam pola asuh sehari-harinya.
"Waktu lahir normal, tapi waktu usia sekira 6 bulan mulai sakit-sakitan. Awalnya muntaber, terus sembuh, habis itu ya sakit lagi. Saya tahu kalau anak saya kena gizi buruk itu waktu diperiksa di Puskesmas saat usia 1,8 tahun, waktu itu bulan Februari 2017. Beratnya cuma 5 kilo," ujar Turinah.
Petugas Kesehatan dari Puskesmas setempat lantas memberikan penanganan khsusus bagi SF. Pemberian PMT, vitamin dan obat rutin dikirim ke kediamannya. Sejak ditangani, akhirnya kondisi SF berangsur membaik, beratnya pun kini terus bertambah menjadi 8,9 kilo.
"Kalau SF ini kan awalnya memang terkena gizi buruk bukan akibat penyakit penyerta, sudah di cek waktu itu. Setelah kita tangani, akhirnya kondisi SF makin membaik, beratnya juga sudah mengarah ke normal. Tubuhnya yang sebelumnya sangat kurus, sekarang menjadi kurus, berangsur meningkat. Tapi tetap PMT selalu rutin kita berikan," jelas Christi, Nutrisionis Puskesmas Situ Gintung, Serua, Ciputat.
Data yang diperoleh melalui Dinas Kesehatan Kota Tangsel menyebutkan, sejak tahun 2016 ada 94 kasus gizi buruk yang ditemukan, namun seluruhnya berhasil ditangani. Kemudian pada tahun 2017, kembali ditemukan 109 kasus, dengan 72 kasus diantaranya dapat tertangani tuntas.
Sedangkan pada tahun 2018 terjadi penurunan drastis menjadi 59 kasus. Itupun dengan penambahan 37 kasus lama yang belum tuntas penanganannya dari tahun 2017, dan 22 kasus baru di tahun 2018.
Dari 59 kasus gizi buruk di tahun 2018, sebanyak 26 Balita dinyatakan sembuh. Sementara 33 kasus lainnya masih dalam penanganan, dengan rincian 10 kasus akibat penyakit penyerta, dan 23 kasus akibat salah pola asuh.
Meski secara antropometri dinyatakan pulih, namun pengawasan rutin dalam Pemberian Makanan Tambahan (PMT) terhadap Balita itu terus dilakukan oleh petugas kesehatan dari Puskesmas dan Posyandu setempat.
Seperti yang dialami oleh bocah berinisial MIF (2), putra sulung dari pasangan Sahrul (20), dan Wita Yulianti (18), itu tiap pekan didatangi petugas kesehatan yang ingin mengecek dan memantau kondisi pertumbuhannya.
Keluarga kecil MIF, baru sekira 3 bulan belakangan tinggal di bangunan rumah sederhana yang terletak daerah Bakti Jaya, Setu, Kota Tangsel. Keseharian dari sang ayah, Sahrul, hanyalah seorang pedagang sayuran keliling, sedangkan istrinya, Wita, selalu berada di rumah menemani MIF.
MIF didiagnosa mengidap gizi buruk pada akhir 2017 lalu. Ketika itu, petugas Posyandu dan Puskesmas Kecamatan Setu mendapati kondisi pertumbuhan MIF tak berimbang, dimana beratnya hanya 8,2 kilo dengan usia yang berjalan.
Pihak keluarga sendiri tak menyadari jika MIF ternyata dikategorikan gizi buruk, karena sebelumnya mereka memang tinggal di daerah Rawa Kalong (Perbatasan Kota Tangsel dan Kabupaten Bogor), dan tak pernah memeriksakan kondisi MIF ke Posyandu tempat tinggalnya kala itu.
"Baru tahu waktu dicek di Posyandu di sini (Tangsel), beratnya waktu itu cuma 8,2 kilo. Habis itu dikasih biskuit, susu, dan diarahin supaya menjaga asupan makanan yang bergizi. Alhamdulillah sejak itu, kondisinya terus membaik, beratnya juga sudah naik sekarang," tutur Wita ditemui di rumahnya, Rabu 11 April 2018.
Petugas Nutrisionis Puskesmas Bakti Jaya, Lia Leviyanti, menerangkan, kondisi MIF mengalami peningkatan berarti usai menjalani penanganan khusus. Beratnya pun saat ini telah mencapai batas normal, yakni 9 kilo, dibandingkan periode sebelumnya, Januari-Februari 2018 seberat 8,6 kilo, dan Desember 2017 seberat 8,2 kilo.
"Kalau MIF ini kan memang mengidap gizi buruk itu karena faktor pola asuh dari orang tuanya. Jadi progres penanganannya pun bisa cepat, sekira 3 bulan sejak didiagnosa itu (Desember 2017) sampai sekarang sudah meningkat statusnya, tak lagi gizi buruk. Tapi kita terus memberikan Conceling kepada orang tuanya bagaimana menjaga pola asuh terhadap si anak, selain itu juga asupan PMT terus kita berikan," kata Leviyanti saat memantau perkembangan MIF.
Balita lainnya yang juga sempat mengidap gizi buruk adalah seorang anak perempuan berinisial, SF (2,3), putri bungsu dari 3 bersaudara, Suci Silviani (8), dan Ari Saputra (12). Mereka kini hanya memiliki orang tua tunggal, yakni Ibunya yang bernama Turinah (38). Sementara sang ayah, telah lama memilih untuk berpisah.
Turinah, SF dan kedua kakaknya tinggal mengontrak di Jalan Pembangunan, Serua, Ciputat. Untuk menafkahi ketiga anaknya, tiap hari Turinah harus berjualan gorengan sambil menggendong SF keliling kampung mengendarai sepeda.
Penghasilannya berdagang sebenarnya tak seberapa, dari pagi hari hingga pukul 11.00 WIB, paling banyak mendapat uang sebesar Rp50 ribu. Itu pun harus dibagi setoran kepada pemilik kue. Sisanya, barulah disisihkan untuk membeli beras, lauk pauk, dan kebutuhan lain bagi ketiga anaknya.
Kondisi keprihatinan itu, tentu menjadi salah satu pemicu yang menyebabkan perhatian terhadap kesehatan sang anak tak begitu diutamakan. Hingga pada suatu waktu, barulah diketahui jika SF ternyata menderita gizi buruk akibat kekeliruan dalam pola asuh sehari-harinya.
"Waktu lahir normal, tapi waktu usia sekira 6 bulan mulai sakit-sakitan. Awalnya muntaber, terus sembuh, habis itu ya sakit lagi. Saya tahu kalau anak saya kena gizi buruk itu waktu diperiksa di Puskesmas saat usia 1,8 tahun, waktu itu bulan Februari 2017. Beratnya cuma 5 kilo," ujar Turinah.
Petugas Kesehatan dari Puskesmas setempat lantas memberikan penanganan khsusus bagi SF. Pemberian PMT, vitamin dan obat rutin dikirim ke kediamannya. Sejak ditangani, akhirnya kondisi SF berangsur membaik, beratnya pun kini terus bertambah menjadi 8,9 kilo.
"Kalau SF ini kan awalnya memang terkena gizi buruk bukan akibat penyakit penyerta, sudah di cek waktu itu. Setelah kita tangani, akhirnya kondisi SF makin membaik, beratnya juga sudah mengarah ke normal. Tubuhnya yang sebelumnya sangat kurus, sekarang menjadi kurus, berangsur meningkat. Tapi tetap PMT selalu rutin kita berikan," jelas Christi, Nutrisionis Puskesmas Situ Gintung, Serua, Ciputat.
Data yang diperoleh melalui Dinas Kesehatan Kota Tangsel menyebutkan, sejak tahun 2016 ada 94 kasus gizi buruk yang ditemukan, namun seluruhnya berhasil ditangani. Kemudian pada tahun 2017, kembali ditemukan 109 kasus, dengan 72 kasus diantaranya dapat tertangani tuntas.
Sedangkan pada tahun 2018 terjadi penurunan drastis menjadi 59 kasus. Itupun dengan penambahan 37 kasus lama yang belum tuntas penanganannya dari tahun 2017, dan 22 kasus baru di tahun 2018.
Dari 59 kasus gizi buruk di tahun 2018, sebanyak 26 Balita dinyatakan sembuh. Sementara 33 kasus lainnya masih dalam penanganan, dengan rincian 10 kasus akibat penyakit penyerta, dan 23 kasus akibat salah pola asuh.
(mhd)